Sementara di diskotek, Vano terlihat tengah dicecar berbagai pertanyaan oleh Axel. Pemuda itu nampak sangat tidak menyukai Axel yang terkenal dengan sikap kasarnya.
Sejak satu jam yang lalu mereka duduk di meja bartender sambil menunggu chat dari Mami Kumala.
"Jadi, temen lu baru dapet pelanggan baru?" tanya Axel yang sudah ke sekian kalinya.
Vano berdecak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang sangat membosankan baginya. Dia sangat mengenal Axel, yang sejak dulu tidak menyukai Raffa—sahabatnya.
"Astaga ... itu mulu yang lu tanyain, Bang! Enggak ada yang lain apa?" ucap Vano sambil menggelengkan kepalanya berulang.
"Ada sih yang mau gue tanyain ke elu. Tapi gue enggak yakin, lu mau jawab jujur apa enggak." Axel menyeringai, seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Apaan?"
"Temen lu dukunnya orang mana? Pakek sus
Paginya Raffa terbangun dari tidurnya dengan perasaan tak karu-karuan. Bayangkan saja, dia yang biasanya menghabiskan malam bergelora dengan para pelanggannya. Semalaman dia dan Belinda tidur bersama, tetapi cuma saling memeluk satu sama lain, tanpa melakukan apa-apa.Alhasil, Raffa yang notabene sang pemain, harus menahan diri untuk tidak menyerang Belinda habis-habisan. Mati-matian dia menekan hasratnya yang tersulut tanpa tersalurkan. Kemolekan tubuh perempuan di sampingnya ini sangat menggoda. Sayangnya, Raffa tidak dapat menyentuh atau berbuat lebih.'Cantik, tapi sayang enggak bisa gue icip.' Raffa membatin sambil memandangi wajah Belinda yang tertidur di lengannya dengan nyaman.Nampak sangat polos dan menggemaskan. Saking gemasnya, Raffa kembali mencuri ciuman dari bibir Belinda yang sangat menggoda.Setelah mengecupnya, dengan hati-hati Raffa mengangkat lengannya.
Hari ini Raffa mungkin sedang berbaik hati. Entah kena angin apa dia menawarkan diri untuk mengantar Belinda pulang. Hal itu tentu saja membuat Vano jadi terheran-heran, lantaran sahabatnya itu tidak pernah sekali pun mengantar para pelanggannya pulang."Eh, lu serius mau nganter si Tante Belinda pulang?" Vano bertanya kepada Raffa yang sekarang ini sedang berganti baju di kamarnya.Sedangkan Belinda menunggu di luar. Perempuan itu tengah menikmati sarapan yang khusus dipesankan Raffa."Seriuslah," ucap Raffa sembari menyisir rambutnya yang sudah diberi gel rambut. "emangnya kenapa? gue liat lu kayak orang enggak percaya gitu." Dia menyemprotkan parfum ke seluruh badan.Raffa terlihat sangat tampan dan menawan. Walau hanya memakai kaos berkerah dengan celana kinos selutut berwarna hitam. Penampilan pemuda itu cukup menarik perhatian para wanita di luar sana.
Raffa menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang Panti Asuhan yang letaknya tidak jauh dari rumahnya yang dulu. Pemuda itu menatap seorang perempuan paruh baya yang tengah berbincang di halaman Panti Asuhan tersebut.Dadanya terasa sesak, lantaran dia hanya bisa memandang dari jauh sosok yang melahirkannya itu. Sosok ibu yang hampir tiga tahun terakhir ini tidak dapat disapa mau pun di peluk."Ibu ..." Cuma itu yang bisa Raffa ucapkan. Kerinduan pada sang ibu sedikit demi sedikit terobati, manakala dia mendatangi tempat ini.Tempat di mana ibunya selalu berkunjung setiap satu bulan sekali. Raffa ingat betul, pada waktu pertama kali dia menginjakkan kaki ke Panti Asuhan Muara Bunda. Pada waktu itu hari ulang tahunnya yang ke 10 tahun. Hingga detik ini dia masih menyimpan memori kenangan indah bersama ibunya."Mungkin lain waktu Raffa menemui Ibu. Semoga Ibu mau memaafkan
Sementara di rumah Belinda.Perempuan itu langsung memerintahkan asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya untuk membersihkan kamar tamu. Dia juga memasak makanan kesukaan suaminya dengan penuh semangat. Meski di hatinya merasa sedih, dengan kemungkinan yang akan terjadi. Suaminya entah mau menyentuh masakannya atau tidak. Seperti yang sudah-sudah.Belinda terus mendesah frustrasi, bukankah seharusnya dia merasa senang? Suaminya datang untuk menemuinya setelah hampir tiga bulan lamanya tidak bertemu."Seandainya Mas Bima seperti suami-suami di luaran sana. Mungkin aku tidak akan merana setiap hari. Menunggu kedatangannya hampir tiap malam, yang aku tahu itu tidak akan pernah terjadi." Belinda terus bermonolog sendiri sambil menata makanan di meja dengan dibantu asisten rumah tangganya yang lain."Mbak, saya mau mandi dulu. Tolong ini nanti diterusin, ya?" ucapnya semba
Tengah malam Belinda terbangun. Dia melirik ke sisi tempat tidurnya yang kosong. Lagi-lagi, Bima menyakiti hatinya dengan tak kasat mata. Harusnya malam ini dia menghabiskan malam penuh gelora bersama suaminya itu. Melepas rindu dalam balutan hangatnya cinta sejoli yang baru bertemu.Namun, semua kehangatan itu nampaknya memang tak dapat dirasakan olehnya. Dicintai dan disayangi oleh Bima mungkin cuma ada dalam angan-angan Belinda. Bagaimana mungkin, dia bisa merasakan semua itu, jika Bima saja tak pernah sudi tidur satu kamar dengannya semenjak menikah.Pria itu memilih tidur di kamar lain dan tidak peduli dengan perasaan istrinya yang hampir tiap hari mengharapakan sentuhan dan kasih sayangnya.Malam-malam dingin seperti ini, Belinda selalu menghabiskannya sendiri. Itu sudah jadi kebiasaannya. Bersuami pun percuma, bila dia tidak pernah dianggap keberadaannya.
Di meja makan, Belinda dan Bima terlihat seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu atap. Duduk di meja yang sama, tak lantas membuat hubungan mereka jadi baik. Bima sibuk dengan sarapannya sementara Belinda sibuk dengan urusannya sendiri. Meski ekor matanya tak henti melirik sang suami yang sudah berpenampilan rapi.Bima terlihat gagah dan berwibawa. Usianya memang terbilang cukup matang. Namun, ketampanan wajah Bima tak diragukan lagi. Dewasa dan tegas, itu kesan pertama Belinda waktu pertama kali bertemu lelaki berusia 48 tahun tersebut."Aku akan pulang hari ini," ucap Bima membelah kesunyian di ruang makan luas ini. Seperti biasa, tanpa menatap wajah Belinda sama sekali.Biasanya Belinda akan sedih dan kecewa mendengar penuturan Bima. Namun, kali ini tidak lagi. Dia seolah telah kebal dan terbiasa mulai detik ini."Aku titip salam buat Mbak Marina," ujarnya, yang terkesan tidak peduli denga
Raffa mengajak Belinda makan ke tempat yang biasa dia kunjungi. Sebuah Restoran yang letaknya tidak jauh dari apartemen pemuda itu. Situasinya lumayan ramai pengunjung, dan banyak dari mereka para pasangan muda mudi.Keduanya memilih duduk di rooftops yang ada di atas gedung tersebut. Pemandangan malam ibu kota nampak jelas terlihat dari atas sini, hingga Belinda tak henti berdecak kagum sejak tadi.Semilir angin malam tak mengurangi kebahagiaan Belinda sedikit pun. Padahal, dengan pakaian yang yang seperti itu, pastinya dia merasa kedinginan.Senyuman Belinda jelas memukau Raffa yang sedari tadi menatapnya. Diam-diam pemuda itu mengagumi sosok perempuan yang malam ini tampil sangat cantik itu. Raffa belum pernah melihat senyuman sepolos senyuman Belinda.'Cantik.' B
Belinda menggeleng."Bukan. Bukan itu alasannya.""Terus apa dong?""Aku ini cuma berstatus istri kedua dari suamiku.""What's? Serius?" Raffa melebarkan mata tak percaya."Iya. Aku istri kedua. Istri pertama suamiku ada di Bandung." Belinda menjawab dengan tenang tanpa beban. Dia seolah tidak malu mengakui bahwa dirinya hanyalah berstatus sebagai istri kedua.Sementara Raffa jelas saja terkejut. Namun, terkejut dalam arti lain. Pemuda itu sempat terdiam sesaat. Tak ingin bereaksi berlebihan, lantaran lawan bicaranya kini terlihat sangat sedih."Sudahlah. Jangan dibahas lagi. Lebih baik kita bahas hal yang lain." Raffa beranjak dari tempatnya duduk. Dia hendak berlalu dari sana, bermaksud mengambil air minum untuk Belinda.Kemudian tiba-tiba Belinda meraih tangannya lalu berkata,"Malam ini temani aku berpetualang. Ajak aku ke duniamu. Aku ingin merasakan hal yang belum pernah sama sekali aku rasakan selama ini. Apa kamu