Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Kota itu tampak lebih bising dari biasanya. Para lelaki dewasa dan pemuda-pemuda hilir-mudik dengan bergesa-gesa. Sedangkan para perempuannya menampakkan wajah cemas dan tegang. Burung-burung yang biasanya betah bermain lama-lama di jalan-jalan tanah kering kota itu seperti enggan untuk sekedar menancapkan kuku-kuku kakinya di permukaan tanah. Mereka lebih memilih hinggap di pohon-pohon atau tempat yang tinggi sambil mengawasi keadaan kota dari sana. Tidak jauh dari dermaga pantai di pusat kota, sebuah komplek istana besar yang angkuh berdiri dengan tenang seolah tak peduli dengan aktivitas yang terjadi di dekatnya. Ratusan Pria berseragam keprajuritan berdiri di setiap sudut komplek itu, sudut yang dianggap penting dan perlu untuk dijaga. Semuanya tampak menyeramkan dan tak berpikir panjang untuk bertindak tegas pada siapa saja yang dianggap mengganggu kenyamanan komplek istana itu. Komplek istana itu tepatnya mempunyai beberapa bangunan. Bangunan utamanya a
Siapakah gerangan pemilik nama tersebut?Menilik dari namanya, ia adalah seorang laki-laki. Apakah ia seorang yang berbadan tegap layaknya para pahlawan pada umumnya? Bermata tajam bagai elang yang tak gentar menghadapi siapapun musuhnya? Berwajah rupawan yang menggetarkan hati para wanita? Menggunakan senjata kokoh dan tajam sebagai perisai ketangguhannya?Kalaupun Ampu Estungkara serius, entah kekuatan hebat yang seperti apakah yang dimiliki oleh Ganendra Aryasathya itu. Dan kenapa harus orang dari dunia awam? Dunia-nya sendiri sepertinya belum kekurangan para pahlawan dan ksatria tangguh untuk diberikan takdir sebagai pemilik sesuatu yang berharga itu.Pusaka itu sendiri sudah lama menjadi sengketa dan objek rebutan para penguasa lainnya. Ia adalah seuntai kalung permata yang konon dikabarkan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat walaupun hingga saat ini belum pernah ada yang bisa membuktikan hal itu. Kalung Gajahsora namanya. Kalung Gajahsora merupakan pusak
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010Siang hari yang begitu terik. Kendaraan bermotor berseliweran bergantian di lintasan jalanan yang begitu panas. Puluhan petugas parkir dengan segala kesusah payahannya terus mengatur sistem keluar masuk kendaraan. Sesekali mereka melap keringat yang mengucur dari mukanya dengan topi atau rompi orange-nya. Peluit-peluit saling susul menyusul memberikan suara cemprengnya, berharap mendapatkan lembaran-lembaran rupiah dari itu,Saat itu padahal telah hampir sore, sekitar pukul tiga lewat. Suasana di kawasan itu memang sangat ramai di jam-jam seperti ini hingga malam hari. Tak salah jika warga Palangka Raya menyebutnya pasar besar, karena semua yang diperlukan tersedia di pasar ini. Dan di jam-jam seperti itu, biasanya para pedagang mulai sibuk menggelar dagangannya.Puluhan bahkan ratusan gerobak besar beraneka muatan memenuhi sepanjang rute pasar. Para pedagang memang menyimpan barang dagangann
“Lumayan juga..” pemuda itu berkata lagi, kali ini sambil menyulut rokok.Pemuda yang diajaknya berbicara tak menyahut.“Sudah makan kau?”Pemuda yang menghitung uang itu menatap temannya sambil tersenyum, “Kau mau makan?”“Hahahaha! Kau pikir rokok ini bisa membuatku kenyang..”“Berhentilah merokok. Aku tak tega melihat paru-parumu terpilin-pilin asap rokokmu itu”Pemuda yang merokok itu, menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan tenang, “Kau yang harusnya ikut merokok. Bukan pria sejati kau”“Hei, aku hanya kasihan dengan paru-paruku. Jaga kesehatanmu, Sutha.”“Bayu, Bayu… Aku ini pencopet, kau juga begitu. Kita ini ada di dunia kriminalitas. Masa’ para pelaku kriminalitas tidak merokok.”“Tapi para pelaku kriminalitas kan juga perlu merawat kesehatannya. Kau pikir kita mencopet untuk apa? Untuk makan,
Untuk pertama kalinya sejak memasuki tempat itu, Rukmana tersenyum. Senyum yang sama sekali tak tampak kalau ia sedang senang. Tapi lebih kepada pernyataan akhirnya kau menanyakan ini.“Bayu, Pria tua itu mengatakan kalau temanku yang bernama Bayu Aditya tidak boleh keluar rumah dalam dua hari ini atau dia akan mendapatkan kesulitan yang besar.”“Menarik sekali. Rupanya aku telah menjatuhkan KTP-ku tepat di depannya hingga ia bahkan dapat menyebutkan nama lengkapku dengan lancar.”Rukmana menggengam tangan Bayu, “Dengarkan aku, bodoh! Kau tentu tak ingin mendapatkan kesulitan, bukan? Dan aku percaya kalau ia bukan pria sembarangan, belum sempat aku mencerna kata-katanya, ia telah menghilang entah ke mana. Kau tahu ‘menghilang’ maksudku, kan?”“Rukmana. Aku tidak akan kenapa-kenapa. Dan percayalah, ia hanyalah pria bodoh dengan kumis dan jenggot palsu yang akan mengagetkanmu saat kau pulang nan
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010“Apa nama kota ini?” tanya seorang pria jangkung yang mengenakan pakaian berwarna ungu.“Palangka Raya,” jawab seorang pria lain yang memegang gulungan mirip peta.“Seumur hidupku, aku belum pernah menjelajahi kota ini. Dan segera setelah tugas ini selesai, aku akan menjelajahi kota ini sampai tak menyisakan sudut kecilnya,” kata pria lain begitu bernafsu.“Kalau kau ingin segera menyelesaikan tugas ini, ayo kita segera menemukan Ganendra Aryasathya.” pria yang membawa peta itu menyahut sambil memandang ke sekitarnya.Empat belas pria itu langsung berjalan beriringan menyebrangi jalan raya. Dengan pria yang menggunakan peta memimpin di depan.“Kau yakin kita akan menemukannya di sini, Gama?” tanya salah seorang rombongan itu.“Kata Ampu Estungkara, kita memang seharusnya menemukannya di
Pencarian itu tampaknya adalah salah satu hari-hari terburuk dan paling menyebabkan dalam hidup mereka. Setelah seharian menyusuri jalan-jalan kota Palangka Raya, dengan harapan yang memenuhi ubun-ubun mereka. Namun, mereka akhirnya kembali berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebelumnya, malam harinya.“Aneh sekali. Aku tak mengerti mengapa pandangan batin yang membuatku yakin lenyap begitu saja,” ungkap Arni penuh kekesalan,”Kau juga merasakannya, kan, Tatra?”Tatra mengangguk yang gerakannya lebih mirip menahan kantuk.“Apa yang kita lakukan selanjutnya ini?” Dirga tampak mulai tak bersemangat.Patih Tarkas mengusir nyamuk yang mencoba hinggap di hidungnya, “Sebaiknya kita istirahat dulu. Banyak perbedaan yang terjadi apabila kita memutuskan suatu hal yang cukup penting ketika memikirkannya dalam keadaan yang letih dengan keadaan yang lebih segar.”“Jujur. Aku sebenarnya masih bers