Untuk pertama kalinya sejak memasuki tempat itu, Rukmana tersenyum. Senyum yang sama sekali tak tampak kalau ia sedang senang. Tapi lebih kepada pernyataan akhirnya kau menanyakan ini.
“Bayu, Pria tua itu mengatakan kalau temanku yang bernama Bayu Aditya tidak boleh keluar rumah dalam dua hari ini atau dia akan mendapatkan kesulitan yang besar.”
“Menarik sekali. Rupanya aku telah menjatuhkan KTP-ku tepat di depannya hingga ia bahkan dapat menyebutkan nama lengkapku dengan lancar.”
Rukmana menggengam tangan Bayu, “Dengarkan aku, bodoh! Kau tentu tak ingin mendapatkan kesulitan, bukan? Dan aku percaya kalau ia bukan pria sembarangan, belum sempat aku mencerna kata-katanya, ia telah menghilang entah ke mana. Kau tahu ‘menghilang’ maksudku, kan?”
“Rukmana. Aku tidak akan kenapa-kenapa. Dan percayalah, ia hanyalah pria bodoh dengan kumis dan jenggot palsu yang akan mengagetkanmu saat kau pulang nanti dengan seruan penuh kemenangan ‘ketipu, kau!’”
“Bayu. Aku serius, lagian apa beratnya, sih, tak keluar rumah selama dua hari ini saja?” Rukmana tampaknya masih belum menyerah.
“Aku punya dua jawaban untuk menjawab pertanyaanmu. Pertama karena aku hari ini berhutang satu janji mentraktir Sutha makan, yang kedua adalah aku tak percaya dengan pria tua yang sangat perhatian padaku itu. Dan kalau kau pulang nanti lalu bertemu dia, aku nitip ucapan terima kasih untuknya. Dan aku tampaknya belum membutuhkan perhatiannya untuk sekarang ini.”
“Bayu, Aku…”
Rukmana memutus ucapannya ketika ia melihat Sutha yang memergoki tangannya dan tangan Bayu sedang bergenggaman.
“Oh, Sori. Sepertinya aku terlalu cepat keluar, ya? Dan harusnya harusnya aku membiarkan kalian berdua untuk sementara waktu,” ucap Sutha dengan wajah yang sulit untuk Bayu berusaha bertahan agar tidak menonjok mukanya.
“Oh. Tidak apa-apa! Kami tidak melakukan apa-apa. Seperti yang kau kira,” sahut Bayu cepat sambil melepaskan genggaman tangan Rukmana.
“Oh. Benarkah? Tapi ngomong-ngomong, apa urusanku?” kata Sutha lagi masih dengan wajah yang penuh senyum mengejek.
Bayu hampir saja bersumpah kalau ia akan menumpahkan air panas ke muka Sutha apabila Rukmana tidak membuyarkan rencana sumpah mengerikannya.
“Bayu. Kuharap kau berubah pikiran,” bisik Rukmana hampir tak terdengar Bayu. Dan Sutha pun sepertinya tak mendengar, ia sibuk menyisir rambut keritingnya sambil menyiulkan lagu yang hanya ia sendiri yang tahu.
“Bayu, Sutha. Sepertinya aku harus pulang. PR-ku banyak sekali. Dan aku juga tak tega bila ibuku harus menutup warungnya sendirian. Aku pamit, ya,” kata Rukmana, masih ada nada tidak puas dalam ucapannya.
“Kupikir Bayu mau membantu, iya kan, Bayu?” tawar Sutha tanpa berpikir suatu hal yang buruk setelah ia mengucapkan itu.
Bayu telah memandang Sutha. Bersiap untuk membunuhnya beberapa kali jika ia tak segera menjauh dari tempat itu. Dan untungnya, Sutha baru saja menyadari hal itu.
“Hei. Aku baru ingat aku meninggalkan rokokku di kamar mandi. Kalian tahu, kan, aku sering merokok di kamar mandi. Kebiasaan buruk memang, tapi…” dia merasa telah terlalu banyak berbicara ketika Bayu telah menggeliatkan lehernya beberapa kali, “Aku harus segera mengambilnya. Terutama jika kau merasa ada ancaman buruk yang siap menyiksamu, Rukmana”
Setelah itu ia dengan langkah cepat menuju kamar mandi.
Rukmana untuk kedua kalinya dalam beberapa jam terakhir tersenyum. Senyum yang sedikit cemas.
“Bayu, aku pulang.”
‘Ya. Aku akan mengantarkanmu sampai depan pintu.”
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Maret 2010“Apa nama kota ini?” tanya seorang pria jangkung yang mengenakan pakaian berwarna ungu.“Palangka Raya,” jawab seorang pria lain yang memegang gulungan mirip peta.“Seumur hidupku, aku belum pernah menjelajahi kota ini. Dan segera setelah tugas ini selesai, aku akan menjelajahi kota ini sampai tak menyisakan sudut kecilnya,” kata pria lain begitu bernafsu.“Kalau kau ingin segera menyelesaikan tugas ini, ayo kita segera menemukan Ganendra Aryasathya.” pria yang membawa peta itu menyahut sambil memandang ke sekitarnya.Empat belas pria itu langsung berjalan beriringan menyebrangi jalan raya. Dengan pria yang menggunakan peta memimpin di depan.“Kau yakin kita akan menemukannya di sini, Gama?” tanya salah seorang rombongan itu.“Kata Ampu Estungkara, kita memang seharusnya menemukannya di
Pencarian itu tampaknya adalah salah satu hari-hari terburuk dan paling menyebabkan dalam hidup mereka. Setelah seharian menyusuri jalan-jalan kota Palangka Raya, dengan harapan yang memenuhi ubun-ubun mereka. Namun, mereka akhirnya kembali berkumpul di tempat yang telah ditentukan sebelumnya, malam harinya.“Aneh sekali. Aku tak mengerti mengapa pandangan batin yang membuatku yakin lenyap begitu saja,” ungkap Arni penuh kekesalan,”Kau juga merasakannya, kan, Tatra?”Tatra mengangguk yang gerakannya lebih mirip menahan kantuk.“Apa yang kita lakukan selanjutnya ini?” Dirga tampak mulai tak bersemangat.Patih Tarkas mengusir nyamuk yang mencoba hinggap di hidungnya, “Sebaiknya kita istirahat dulu. Banyak perbedaan yang terjadi apabila kita memutuskan suatu hal yang cukup penting ketika memikirkannya dalam keadaan yang letih dengan keadaan yang lebih segar.”“Jujur. Aku sebenarnya masih bers
Palangka Raya, Maret 2010 Dua orang pemuda harus menerima kenyataan bahwa mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu di warung mie ayam sambil ngobrol serius dengan pemilik warung. Dan alhasil mereka akhirnya mesti pulang berjalan kaki di malam yang cukup larut ini, karena memang tak ada angkutan kota yang berminat mencari penumpang di jam malam seperti ini. Sutha berjalan bagaikan orang ngantuk, “Sudah kubilang, jangan di warung itu. Kau bersama amang pemilik warung itu punya minat terhadap tema obrolan yang sama dan tak pernah menyadari betapa inginnya temanmu ini untuk pulang.” Bayu tak menjawab gerutuan dari temannya itu. Ia menendang-nendang batu jalanan dengan kedua tangannya diselipkan di saku celananya. “Aku boleh nginap di tempatmu, kan?” Sutha memegang pundak Bayu. Bayu menggumam. Sutha tersenyum, “Baguslah kalau begitu.” Mereka berjalan tanpa berkata-kata, hanya Sutha yang asyik
“Luar biasa. Terawat sekali rumah ini,” komentar Samira. Arni menatap Samira dengan wajah yang mengejek, “Kalau begitu rumahmu juga luar biasa, Kawan.” “Jangan menghina rumahku!” Dahup, Gama, serta beberapa prajurit tertawa. Mereka tiba di depan pintu rumah itu. Dirga mengetuk pintu beberapa kali. Namun tak ada yang menjawab. “Perlu kubantu?” tawar Samira antusias. “Sihir dilarang kalau tidak terdesak, Samira. Apa harus kutato peringatan itu di jidatmu?” larang Tadana, pejabat muda, yang cukup disegani di rombongan itu. Samira bersungut-sungut. Dirga kembali mengetuk pintu. Tapi tetap tak ada jawaban. Susena menghela nafas putus asa, “Kupikir Sang Gahyaka itu salah rumah.” “Ssst, dengarkan.” Dirga memicingkan matanya. Ada suara derap kaki di dalam rumah yang sepertinya mengarah ke pintu. Benar saja, beberapa saat kemudian, terdengar daun pegangan pintu di putar dari dalam. Seorang perempu
Perempuan itu tidak menjawab. Ia menyingkap kain hijau yang menutup nisan ketiga makam itu. Hingga tulisan di nisan itu kini dapat terlihat dengan jelas. Makam pertama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aswathama Arya Lahir 03-01-1963 Wafat 29-03-1995 Makam kedua yang berukuran sama bertuliskan : Terbaring dengan mesra dan damai Aruna Prahesti Lahir 16-07-1966 Wafat 29-03-1995 Dan di makam terakhir yang ukurannya paling kecil tertulis : Terbaring dengan mesra dan damai Ganendra Aryasathya Lahir 25-09-1986 Wafat 29-03-1995 Mereka membaca tulisan di ketiga makam itu berulang-ulang kali berharap ada kesalahan saat mereka membaca n
Bayu tersenyum puas, “Bayangkan. Kita bisa memperbaiki ekonomi kita dengan benda ini.” Ia memandang kedua temannya.Mereka bertiga tampaknya sangat bahagia dengan angan-angan yang sangat terang itu. Membayangkan kehidupan yang lebih terjamin tentunya sangat luar biasa bagi mereka yang telah lama terpuruk dalam kemiskinan.“Sekarang aku akan menawarkan barang ini kepada Amang Ucai. Siapa tahu ia punya minat untuk membelinya.”“Sebaiknya jangan!” cegah Rukmana, “Amang Ucai itu pelit dan licik. Aku melihat beberapa hari yang lalu ia membeli gelang dari seseorang dengan sangat murah. Padahal gelang itu cukup bagus untuk dihargai lebih dari yang ditawarkan Amang Ucai.”“Aku setuju dengan Rukmana,” Sutha menyetujui sambil mengusap-usap kalung itu.“Lalu ke mana kita menjualnya?”“Kepada Kolektor benda berharga!” jawab Rukmana yakin.
“Kami? Algojomu! Dahup, kenapa kau diam saja! Ayo ikat tangan pencuri ini!” kata pria pendek yang tak lain adalah Samira.Dahup langsung bertindak dan mengikat tangan Bayu dengan seutas rantai yang tampaknya sudah diisi dengan sihir aneh oleh Samira.Bayu hanya berdiam saja, ia tampaknya pasrah dan mengira dua orang pria nyentrik yang menyergapnya ini adalah polisi yang telah lama mengincarnya. Tiba-tiba impiannya yang baru saja membumbung tinggi dengan sangat deras menghantam kembali dalam titik terendah harapannya.“Sekarang beritahu kami, dimana kau sembunyikan benda yang kau curi itu?”“Ben..benda yang mana, Pak?”“Kau masih mau membantah? Apa perlu kucabut gigimu baru kau mau mengaku?”Bayu seketika ketakutan, “Saya tidak tahu benda yang bapak maksud sebelum Bapak menjelaskan seperti apa benda itu.”Samira memandang sok serius pada Dahup. Sialnya Dahup malah sedang mempe
“Di mana itu?”“Yang jelas di tempat yang tidak akan kalian temukan jika kita terus duduk berbincang di sini”“Berapa lama kah kami di sana?”“Sampai urusan kalian selesai.. ”“Tapi.....” Rukmana berusaha menahan kepanikannya, “Saya harus sekolah, membantu Ibu saya jualan.”“Bagaimana Gusti?” Gama meminta kebijakan dari Patih Tarkas.“Baiklah. Khusus untuk anak ini,” Patih Tarkas menunjuk Rukmana, “Kuperintahkan kau, Arni, untuk sedikit membuat ibunya sejenak melupakan anaknya, ya semacam menghapus ingatan seperti itu. Bisa?”“Dengan senang hati, Gusti.”Arni lalu mendekati Rukmana menyentuh ubun-ubun gadis remaja itu dengan telapak tangannya. Rukmana bingung sekaligus takut dengan apa yang dilakukan Arni namun ia hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, begitu pula dengan kedua sahabatnya. Arni memejamka