Share

Bab 8: Tempat asing

Dalam waktu kurang dari seminggu, Nala, Bayu, dan Blue, sudah menemukan rumah layak huni yang dekat dengan rumah sakit tempat Nala bekerja. Mereka memilih perumahan yang tidak terlalu ramai, dan dekat dengan fasilitas umum agar tidak terlalu sering keluar lingkungan.

Rumah mereka dua tingkat, dengan bagasi dan taman lebar yang menjadi satu dan memiliki banyak kaca di bagian belakang. Dindingnya cukup tinggi, membuat suasana di dalam rumah cukup sejuk, didukung dengan sirkulasi udara yang bagus. Lantai bawah rumah ini terdiri dari ruang tamu yang juga bisa menjadi ruang keluarga, kamar mandi kecil, dan dapur. Sedangkan di lantai atas terdapat satu kamar kecil, satu kamar mandi dan satu kamar besar dengan kamar mandi dalam.

Luas tanahnya tak begitu besar, sekitar separuh luas tanah rumah Nala dan Bram sepuluh tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kota tempat tinggal Nala dulu memang kota kecil yang harga tanahnya cukup murah. Sedangkan kota ini adalah ibukota negara, yang tidak mungkin bisa mendapatkan rumah luas dengan harga yang sama seperti di kota kecil. Apalagi, karena inflasi, harga tanah dan rumah sudah pasti melambung cukup tinggi.

Sebenarnya, ide Nala yang memilih rumah ini. Blue sebenarnya lebih menyukai apartemen, sudah menyediakan fasilitas seperti supermarket, mall, klub dan kolam renang sekaligus. Tapi, ide itu ditolak Nala mentah-mentah. Menurutnya, apartemen dan hotel bentuknya sama saja. Kalau begitu, mereka tidak punya kesempatan menjadi ‘keluarga’ sungguhan dan berinteraksi dengan para tetangga.

Bukankah tujuan mereka kali ini mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang rumah sakit itu?

Nala menyandarkan dirinya ke pintu. Tubuhnya terasa remuk. Sudah nyaris seharian ia membereskan rumah sedangkan Bayu dan Blue malah sibuk berdiskusi boneka figur mana yang harus ditaruh di ruang tamu.

Gambaran itu, entak mengapa membuatnya merindukan masa-masa pindah rumah saat masih berdua dengan Bram. Saat itu, Bram sibuk menekuri kardus yang masih tertutup lakban. Ia tampak kebingungan. Nala memperhatikan hal itu sambil memutar kabel penyedot debu.

“Ada apa, Bram? Kau sedang melamunkan apa?”

Bram berdeham, mengisyaratkan kalau ia sebenarnya sedang berpikir keras, bukan sedang mengosongkan pikiran. “Menurutmu, yang dipajang di dinding ruang tamu boneka figur atau tanaman hias?”

Nala cekikikan. “Aku bukan orang yang suka bercocok tanam.”

Bram menoleh ke arah Nala dan mengedipkan matanya. “Kalau begitu, bagaimana kalau kaktus kecil hias?”

“Kan sudah kubilang kalau aku bukan orang yang telaten.”

Bram menghampiri Nala, membantunya menyalakan penyedot debu dan mulai membersihkan tumpahan gula aren di karpet. “Kan, ada aku.” kata Bram.

Nala menghela nafas panjang. “Yang benar saja, dong. Memindahkan gula ke wadah saja tumpah-tumpah begini.”

Bram mencium pipi Nala, dan merayunya. “Ayolah.. kan kaktus cukup disiram sekali.”

Nara terdiam. Ia menimbang kerugian yang mungkin terjadi saat Bram mulai bercocok tanam. Entah tanamannya mati, atau rak kayunya yang bakal jamuran.

“Pokoknya, kalau ada yang…”

“Tidak akan ada yang tidak beres, kok, sayang..” Bram mencium Nala lagi dan beranjak, lalu membukai lakban kardus-kardus yang bertumpuk-tumpuk satu persatu.

Pemandangan yang dilihat Nala sekarang, kurang lebih sama seperti sebelas tahun yang lalu, membuat Nala jengkel tanpa sebab.

“Bisa tidak tangan dan kaki kalian saja yang gerak? Mulutnya diistirahatkan dulu.”

Blue dan Bayu menatap Nala keheranan. “Tidakkah ibu tahu kalau penempatan yang tidak normal malah menyulut rasa penasaran para tetangga yang berujung pada penyamaran kita yang terbongkar?”

“Bisakah kau ceritakan pada ibu alasan logisnya?”

Bayu berdeham. “Seandainya kita meletakkan boneka figur, pasti tetangga akan bertanya-tanya, ‘wah! Anaknya suka anime, ya?’, dan nanti ibu akan menjawab, ‘ya, anak saya memang suka sekali menonton anime.’ Lalu, percakapan akan berlanjut menjadi, ‘memangnya anak ibu tidak belajar? Pasti anak ibu pintar, ya. Makanya ibu membolehkan anaknya membeli boneka figur ini.’ Kalau sudah begini, nanti ibu bakal ditanyai latar belakang pendidikanku bagaimana. Karena seharusnya, aku ini bocah kelas 4 SD.”

Ya, kau ini bocah kelas 4 SD, Bayu, pikir Nala. Tapi, kenapa pemikiranmu seperti pria berusia 30 tahun?

“Kalau begitu, kita jawab saja kalau boneka itu milik pam-eh, ayahmu.”

“Cukup riskan, bu.” sanggah Bayu. “Kalau begitu, nanti mereka akan bertanya apa pekerjaan paman, atau bisa dibilang, sekarang ia berperan sebagai ayahku. Kalau waktu luangnya terlalu banyak, para tetangga bisa curiga kenapa kita bisa banyak uang dan membeli rumah di kawasan menengah ke atas. Dan kalau waktu luangnya terlihat sedikit, pasti mereka menerka-nerka dimana paman bekerja. Salah jawab sedikit saja, mereka pasti akan menyelidiki dimana alamat perusahaan fiktif yang asal-asalan disebutkan paman.”

“Tapi, aku bisa bilang kalau aku punya klien luar negeri dan seorang pekerja lepas yang memang sudah punya saham dan obligasi yang cukup.” sahut Blue.

“Kalau begitu, nanti bakal ditanya pekerjaan paman sebelum ini apa sampai paman bisa merdeka secara finansial. Indonesia ini negara patriarki. Mereka akan memandang buruk kalau cuma ibu yang terlihat bekerja dan paman malah di rumah bersantai denganku.”

“Warisan orang tua, mungkin?” usul Nala. “Kalau kita bilang semua ini hasil jual sawah, kan, masuk akal.”

Bayu mengangguk pelan. “Sepertinya saran itu cukup masuk akal. Tapi, kita ini berasal dari mana?”

“Sebut saja salah satu kota yang pernah kita singgahi.” saran Blue. “Meskipun kita tidak terlalu tahu pun, mereka pasti memaklumi.”

“Tapi kita tidak bisa asal pilih kota, paman. Ingat. Kekayaan ini hasil menjual sawah. Sedangkan kota yang kita singgahi, bahkan kota kecil tempat aku lahir, sawah luas mana yang dalam satu dekade dijual?”

Sial!, pikir Nala. Ia berpikir kalau anaknya sudah terlalu dewasa di usianya yang masih sepuluh tahun. Bagaimana mungkin wanita sepertinya bisa memiliki anak dengan otak seperti itu.

“Bayu, sepertinya aku sangat menyukaimu.” sahut Blue. Ia menatap Bayu dengan bangga. “Sky sudah memberikan seluruh DNAnya kepadamu sampai DNA ibumu tak memiliki tempat di tubuhmu.”

“Setidaknya bibir tipisnya itu dariku, ya.” Nala memelototi Blue yang mengejeknya. Sayangnya, seluruh tubuh Nala sudah lemas dan kekurangan gula. “Kurasa, aku butuh asupan gula.”

Nala mencoba keluar di situasi tidak menguntungkan itu sesegera mungkin. Tempat tidurnya sudah ia bereskan, jadi ia berencana untuk tidur sebentar setelah mencari minuman manis di kulkas. Keputusan itu ia ambil setelah otaknya terkuras usai berdebat kecil dengan anak semata wayangnya yang kelewat teliti dan kritis.

Dalam hati, Nala tidak yakin harus bersyukur atau tidak dengan sifat Bram yang menurun ke Bayu. Bahkan, rasanya Bayu dua.. atau tiga kali lebih berhati-hati dari Bram.

“Ya, nikmati istirahatmu sana.” Blue mengusir Nala tanpa melihatnya, membuat Nala makin jengkel.

Nala berjalan menuju dapur. Ia melewati foto pernikahannya, dan berhenti sejenak. Ia menatap wajah Bram, suaminya, agak lama. Dalam benaknya, ia punya banyak pertanyaan.

Bagaimana rupa Bram sekarang? Apakah keriputnya membuatnya tak bisa dikenali? Apakah seluruh pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya bisa ia tanyakan dan ia temukan jawabannya?

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menemukan Bram. Meskipun yang ia dapatkan sejauh ini hanyalah kota tempat Bram berada, Nala masih tetap bertekad menemukannya.

Nala harap, dimanapun Bram berada sekarang, semoga selalu dalam keadaan aman dan tak kurang satu hal pun. Nala masih ingin berkumpul dengan Bram sekali lagi untuk waktu yang lama. Ia ingin keluarganya utuh lagi. Nala ingin, Bayu memanggil Mama dan Papa lagi.

Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya, Nala ingin Bayu memanggilnya Mama. Namun, ia rasa, panggilan itu terlalu menyakitkan. Hal terakhir yang ia ributkan dengan Bram adalah soal panggilan Mama dan Papa. Sedangkan, kata pertama yang Bayu ucapkan adalah Papa. Bagaimana mungkin Nala bisa hidup tanpa menderita kalau Bayu memanggilnya Mama?

Saat memikirkan hal ini, hati Nala terasa hangat. Ia tiba-tiba merasa bersyukur dengan kedewasaan mental Bayu, anaknya, yang bisa menerima keadaan rumit dan pelik ini. Berbeda dengan Nala yang dulu dibuang oleh ayah dan ibunya. Saat itu, ia merasa dunia juga membuangnya.

Secercah harapan memang terlihat begitu Nala berada dalam asuhan neneknya yang penyayang dan baik hati. Namun, ketika neneknya meninggal, hampa sudah hidupnya. Hanya Bram yang sanggup meyakinkan Nala agar ia bisa membangun keluarga kecilnya sendiri.

“Kupikir kau butuh gula barusan.” Blue tiba-tiba sudah berada di samping Nala, membuyarkan lamunannya. Wangi kesturi tiba-tiba tercium.

“Apa sudah selesai rapat pentingnya?” ledek Nala, berusaha untuk tetap memfokuskan diri bahwa yang berada di sampingnya adalah Blue, bukan Sky.

“Ya, kurasa ide yang paling bagus bukan meletakkan boneka figur. Kaktus kecil kelihatannya lebih estetik.”

Nala terdiam. Hal-hal kecil seperti ini kembali mengingatkannya pada saat-saat bersama Bram dulu. Tentu saja, semua ini sebuah kebetulan.

“Aku tidak punya waktu untuk merawat makhluk-makhluk kecil begitu.”

Blue mengangguk, “Aku tahu, aku tahu. Aku dan Bayu yang akan merawatnya. Kau tenang saja.”

Nala mendengus kesal. Ia menyembunyikan keterkejutannya saat itu. Blue dan Bayu memang punya darah yang sama dengan Bram. Nala merasa bersyukur bisa tetap merasakan hawa kehadiran suaminya lewat tingkah-tingkah kecil yang dilakukan keduanya.

“Ada apa? Kau merindukan suamimu ya?”

Nala kembali menatap foto suaminya lekat-lekat. Ia tak menjawab pertanyaan Blue. Ia bahkan tak tahu apakah perasaan rindunya ini kepada Bram, atau kepada suaminya. Ia tahu Bram bukan nama asli. Ia juga tahu kalau suaminya pasti sedang memakai identitas orang lain saat ini. Tapi, Nala yakin kalau apa yang ia rasakan 3 tahun bersama Bram, bukanlah sebuah sandiwara. Nala benar-benar yakin kalau perasaan mereka nyata.

“Sky mencintaimu. Itu sudah pasti.”

“Eh, apa?”

Blue berdeham. “Aku yakin salah satu alasan dia pensiun selain ingin punya bengkel sendiri juga karena menemukan belahan jiwanya.”

Nala tersipu. Wajahnya panas dan memerah. Sudah lama tak ada yang membuatnya berdebar kencang begini. “Lalu, Blue..”

“Apa?”

“Memangnya, apa yang dia cari?”

Blue mengangkat bahunya, mengisyaratkan kalau ia pun tak terlalu yakin. “Setelah banyak agen yang mati secara misterius dan beberapa di antaranya menghilang, sepertinya satu-satunya hal yang memungkin adalah Elang Grup sudah menyusupi instansi kami.”

“Kau serius?”

“Iya, aku serius.” Blue menanggapi Nala. “Identitas kami tak pernah terbaca secara gamblang, bahkan di server pusat. Bukankah aneh kalau secara kebetulan hanya agen-agen yang sedang dan yang pernah menyelidiki grup itu yang meninggal?”

“Kalau begitu, Bram dalam bahaya?”

“Bisa dibilang begitu. Tapi, sepertinya Bram tak semudah itu tertangkap. Ia sudah berkali-kali mengirim tanda kalau ia baik-baik saja. Kau tidak sadar, kan?”

“Aku sudah menduganya.” sahut Bayu. Nala terkejut dan memperhatikan Blue dan Bayu bergantian.

“Apa maksudnya ini? Kalian berhubungan dengan Bram tanpa sepengetahuanku?’

“Tidak, bu. Bukan begitu.” Bayu menenangkan. “Ayah itu orang yang pintar dan cerdik. Pasti ayah sudah memperkirakan pekerjaan yang mungkin dilakukan ibu untuk mengintai ayah cuma sebagai teller bank, karena itu masih berhubungan dengan jurusan kuliah yang pernah ibu ambil.”

Sebenarnya, Bayu juga merasa kalau ayahnya sering mengawasi mereka bertiga di suatu tempat. Ia sering punya firasat kuat akan hal itu. Seperti pertemuannya dengan sosok pria berpakaian serba hitam di hotel, beberapa hari yang lalu.

“Kau benar, Bayu.” potong Blue. “Dia seolah-olah selalu menarik uang tepat di tempatmu, Nala, meskipun ada banyak meja teller. Kurasa, sebelum mengambil antrian, ia sudah memperkirakan akan lewat teller mana. Dia, secara khusus, memilihmu.”

Nala mengangguk. Selama ini, mereka mengetahui dan mengikuti jejak Bram saat ia menarik banyak uang tunai. Karena itulah Nala menjadi teller. Blue yang menyarankan penyamaran ini.

Saat itu, Nala selalu terkecoh dengan samaran Bram. Karena Nala berpikir, itu adalah orang lain yang bukan bertangan kidal. Nala baru menemukan keanehan sesaat setelah orang aneh itu meninggalkan sobekan tiket kereta.

Dari sobekan itu, Blue tahu itu milik kakaknya. Karena saat kertas itu disinari dengan sinar ultraviolet, muncul sebuah kata yang berisi nama kota. Esoknya, mereka selalu pindah ke kota yang tertulis di kertas itu. Hal ini berlangsung setidaknya belasan kali.

“Semudah itu..” kata Blue. “..semudah itu ia mengirimkan pesan rahasia kepada kita, dan kau tidak pernah mengerti?”

Nala terpaku. Dalam hati, ia mengutuk dirinya yang terlampau lamban dan kurang cakap dalam hal memecahkan teka-teki.

“Ya, sudah. Itu dibahas nanti saja. Ibu, Paman, apa rencana kita disini? Bagaimana kalau kita membahas strategi sandiwara kita di kehidupan bertetangga ini? Yang.. kayaknya, sih, rumit..”

Bayu benar. Mereka bertiga harus mencari cara bertahan hidup di tengah lingkungan asing di sekitar mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status