“Bayu pulaanngg..”
Blue dan Bayu memasuki rumah yang sudah kosong. Selembar selimut diletakkan di atas sofa. Cangkir teh tampak kosong dan ada secarik kertas di bawahnya. Terdapat sebuah tulisan di bawah catatan yang ditinggalkan Blue pagi ini.‘Aku pakai taksi online. Aku lupa harus pergi ke rumah sakit sekarang. Makan malam Bayu kuserahkan padamu.’“Wah, sepertinya kita bebas, nih.”“Kenapa, paman? Ibu pergi kemana?”Blue menyodorkan kertas itu ke Bayu, selagi ia merebahkan diri ke sofa. “Dasar wanita ceroboh.”“Memangnya sudah mau pembukaan?” Bayu melepas kaos kakinya dan meletakkan tasnya. Ia juga mulai melonggarkan dasinya. “Sepertinya, Ibu akan sibuk sekali.”“Memulai sebuah rumah sakit baru memang sulit juga, sih.” aku Blue. “Harus teliti dan cukup detail saat membuat standar prosedur operasional, membuat peraturan manajerial, mengatur keamanan, dan memastikan semua tetap bekerja saling berkesinambungan mengingatHampir dua puluh lima tahun yang lalu, Nala kecanduan drama korea. Ia selalu memimpikan hidupnya akan diwarnai serangkaian kisah ajaib dan hangat seperti yang dialami tokoh utama wanita di dalamnya. Terkadang, kisah hidup Nala terasa jauh lebih ringan daripada masalah yang dialami tokoh dalam drama, membuat hati Nala sedikit terhibur dan bersyukur. Sayangnya, tokoh yang seperti itu, selalu dibarengi dengan pertemuan manis. Nala, saat masih SMA, benar-benar anak culun yang jarang bergaul dengan lawan jenis. Neneknya bahkan sering meledek. Meskipun begitu, Nala hanya berlagak sebal. Ia tahu, cara meledek neneknya lebih terdengar seperti penghiburan baginya.Saat bertemu Bram, hidup Nala berubah drastis. Kesehariannya menjadi lebih berbunga-bunga dan selalu menantikan hari esok. Biasanya, Nala hanya akan menikmati hari-harinya sebagai kewajiban sebelum maut menjemput. Ia berusaha keras untuk tetap waras di tengah kesendiriannya. Tumpukan laporan keuangan adalah satu
“Ibu pulang.. eh, ups..” Nala memelankan suaranya begitu melihat sebagian lampu di rumahnya padam, menandakan kalau penghuninya sudah tidur. Nala berjalan ke ruang makan, dan mendapati sebuah piring yang ditutup. Nala membukanya dan bau semerbak nasi goreng tampak menggodanya. Ia pun mencuci tangannya di wastafel sebelum menikmati makanan yang sudah sengaja Blue sisakan itu.Nala menggerakkan kakinya agak cepat di suapan pertama, menandakan betapa enaknya masakan Blue. Bram juga pernah membuatkannya sop buntut dan rasanya luar biasa lezat. Blue pun, sebelum ini juga pernah memasakkannya pasta dan beberapa makanan lain. Nala ingin memberikan terimakasihnya kepada ibu mereka, yang telah menurunkan keahlian memasak yang hebat itu kepada kedua anaknya. Nala sangat beruntung.“Wah, apa seenak itu?” tanpa sadar karena keasyikan mengisi perut, Blue mengagetkan Nala.Nala nyaris tersedak dan buru-buru mencari gelas berisi air. Blue membantunya.
Dua puluh dua tahun yang lalu.Seorang remaja dengan rambut keriting melingkar, sedang mengayunkan sebuah ayunan. Ia menghibur seorang anak kecil laki-laki yang masih berusia sekitar lima tahun. Di pangkuan bocah itu, ada boneka sapi usang yang tangannya putus sehingga isinya keluar. Mata si bocah tampak sembab, seperti baru saja menangis lama. Meskipun ayunan membuatnya nyaman, tapi sesekali ia agak sesenggukan.“Sudah, ya..” kata remaja laki-laki sambil tetap menjaga agar ayunan tetap berayun. “Kemal sudah selesai, kan, nangisnya?”“Tapi.. hiks.. tangan sapiku putus, kak..”Remaja itu tersenyum. “Nanti minta tolong Bunda saja, ya? Siapa tahu Bunda bisa perbaiki.”“Kakak yakin tidak akan menghukum Cepu?”Remaja itu tersenyum kecil. Ia nyaris tertawa mendengar tingkah lugu Kemal, adik asuhnya. “Cepu itu anjing liar, Kemal. Dia masih belum paham aturan dasar beretika. Kalau Kemal rajin merawat dan mengajarinya sopan santun, k
Masih dua puluh dua tahun yang lalu.Sky menendang sebuah batu yang tak bersalah. Ia berjalan setidaknya sudah nyaris sepuluh kali mengitari bukit tempat tinggalnya. Karena bosan, ia memutuskan untuk turun dan berjalan-jalan di desa seberang. Desa tempat Kemal berasal.Sudah nyaris sebulan ibunya dimakamkan, namun yang terlihat justru karangan bunga yang tak ada gunanya. Ia justru kehilangan momen berduka karena hatinya membuncah. Ia merasakan dendam mengalir di setiap nadinya, menyatu dalam darahnya. Ayahnya tidak datang. Sky menunggu pria paruh baya menyebalkan itu datang dan bersimpuh untuk meminta ampunan di depan jasad istri pertamanya untuk yang terakhir kalinya. Namun, pria keparat itu tidak datang. Bahkan, mungkin, tidak akan pernah datang. Ayahnya itu ternyata memang sudah membuang ibunya sejak pertama kali mereka memutuskan membangun panti asuhan itu. Bahkan, adik Sky, sejak hari itu, tak pernah datang lagi ke panti. Mereka sudah tak p
Masih dua puluh dua tahun yang lalu.Tok! Tok! Tok!Seorang remaja laki-laki berambut lurus dan berkulit putih, tampak meringkuk di pojokan kamar. Ia menggenggam sebuah raport yang sedikit robek dan nyaris lepas dari sampulnya dengan erat. Matanya terfokus pada satu titik, pada sebuah pola yang ada di batu granit yang menutupi kamarnya. Tapi, pikirannya tak berada di sana.“Tuan muda!” seru sebuah suara dari balik pintu. Sedari tadi, pintu tak kunjung terbuka. Meskipun sudah diketok beberapa kali, tetap tak ada jawaban yang terdengar. Nampan yang berisi makan siang, tampak tak tersentuh dan dibiarkan begitu saja di depan pintu kamar, mengindikasikan bahwa remaja itu tak mengisi perutnya, entah sejak berapa lama.Suara ketukan menghilang. Samar-samar, terdengar suara seorang wanita membentak si pelayan.“Sudah kubilang, jangan berisik!” bentak wanita itu. “Kalau dia mau mati, abaikan saja! Siapa suruh tidak mau makan?! Aku lebih
Blue membereskan piring-piring bekas sarapan ke dalam meja cuci. Ia juga mengelap meja dan mendekatkan hidungnya, mengendus apakah meja granit itu berbau aneh atau tidak.“Aku buru-buru. Berangkat dulu, oke?” pamit Nala. Dari kejauhan, Blue bisa melihat kalau sudah ada taksi yang parkir. “Kalau bisa, hari ini belikan aku sepeda motor baru, ya. Terjebak macet di dalam taksi itu tidak enak.”“Ya, ingatkan aku lagi.” seru Blue. “Akan kucarikan yang bagus.”Setelah Nala menghilang dari halaman depan, Blue keluar dari kamar mandi dengan seragam merah putihnya. Tangannya tampak basah.“Ibu sudah pergi?”“Ya, barusan taksinya sudah menjemput.”“Kalau begitu, kita seharusnya juga sudah pergi.”Blue mengangguk. Ia segera menyelesaikan tugas bersih-bersihnya dan mengantar Bayu sekolah. Saat ini, entah bagaimana ia merasa kalau peran yang dimainkannya mirip seperti yang dilakukan ibunya saat ia masih kecil, seorang ibu rumah tangga
Sinar mentari hangat menusuk kulit Bayu. Hari ini, ia pergi ke sekolah dalam keadaan kekenyangan karena Nala memasak kari. Meskipun karenanya ia harus bangun pagi hari membantu ibunya memotong sayuran, setidaknya, perutnya merasa puas. Apalagi masih ada sisa yang bisa ia nikmati sebagai makan malam. Bayu tak sabar menanti momen itu.Di sisi lain, ia juga memikirkan pesan yang disampaikan pamannya, Blue, agar tetap waspada dalam menggunakan peralatan elektronik yang ada di SD Matahari. Ada kemungkinan, Elang Grup sedang mencari bibit jenius baru yang bisa mereka kirimkan untuk belajar ke luar negeri dan meneruskan penelitian mereka yang tidak manusiawi. Bagi Bayu, bersikap was-was setiap saat memang bukan hal baru. Seumur hidupnya dihabiskan untuk bergerak tanpa menarik perhatian, berlatih untuk tidak membuat aura kehadirannya terasa. Yang ia khawatirkan, malah justru interaksi bersama sesama rekan sekelas yang masih naif dan enerjik. Bayu tidak tahu bagaimana haru
Tiga orang bocah tampak berjalan melewati lorong, menuju gerbang sekolah. Tiga bocah itu adalah Bayu, Aldo, dan Joana. Mereka sepakat mencari keberadaan teman sekelas mereka yang sudah seminggu membolos, Shasti.Setelah bel istirahat pertama berdering, Aldo menggeser kursinya agar lebih berdempetan dengan Bayu. Tangannya penuh dengan kue-kue yang sudah dingin. Bayu mencicipi beberapa, dan memuji rasa kue itu. Dalam waktu singkat, meja Bayu dan Aldo sudah dipenuhi oleh berbagai macam jenis kue, baik kue kering dan kue basah. Favorit Bayu adalah kue sus cokelat. Bayu pernah dihadiahi sus cokelat oleh pamannya yang sedang dalam perjalanan dinas ke Perancis. Meskipun sudah dingin dan agak hancur, sus cokelat itu benar-benar enak. Sama seperti kue buatan Sarah. Bayu senang karena tak perlu menunggu pamannya pergi ke Perancis lagi untuk mencicipi kue sus itu.Joana, yang biasanya tidak tertarik dengan percakapan laki-laki, juga ikut bergabung. Ia juga tampak menikmati ku