“Aku pulang..”
Nala membenamkan tubuhnya ke atas sofa. Baju ganti yang dibawakan Rose tadi pagi masih baru. Terasa gatal bagi kulit Nala yang sensitif. Namun, wanita itu tetap berbaring sambil meluruskan kaki.Blue mendekatinya. Pria itu mengenakan celemek dan berbau enak. Dari penampakannya bisa diketahui kalau ia sedang memasak.“Halo, sayang..” sapa Blue. Ia meraih tas Nala yang tergeletak di atas lantai dan meletakkannya di meja. “Tak kusangka kau masih sudi pulang ke rumah kita.” sindirnya.“Mau bagaimana lagi? Yang orang lain tahu kau lah suamiku. Akan jadi masalah kalau ada yang mendapati aku serumah dengan Sky,” jawab Nala. Ia masih tidak berniat merubah posisinya yang terlentang.Blue menelan ludah. Posisi Nala membuat jantungnya berdebar. “Sky? Sudah berdamai kalau Bram hanyalah persona buatan?”“Ya, mau bagaimana lagi..”Sebelum pergi, Blue memuaskan dahaga keingintahuannya. Ia menatap kakak iparnya itu lekat-Sky memperhatikan tampilannya di depan cermin. Jas berwarna hitam dengan dalaman kaos polo dan celana yang senada membungkus badannya yang tegap dan atletis. Rambutnya disisir rapi, lurus ke belakang. Matanya sudah diatur sedemikian rupa dan tampak sipit seperti Ferdian yang dikenal karyawan rumah sakit, dan juga Anya. Sentuhan terakhir, dua semprotan parfum, melengkapi keseluruhan penyamarannya malam ini. Ferdian sudah menata hati mengunjungi rumah ayahnya, setelah lebih dari dua dekade pergi dari sana. Dalam perjalanannya yang panjang, ia mengendarai mobilnya dalam keheningan. Ferdian sadar, suasana hatinya sedang kacau dan debaran jantungnya tak menentu. Pria itu menyalakan radio. Lagu pop romantis lawas, Killing Me Softly with His Song mengiringi perjalanannya. “Killing me softly..” Ferdian bersenandung seolah berbicara pada seseorang. Dia tahu tak ada gunanya menunda pertemuannya dengan pria bengis dan tamak itu. Cepat
Pagi itu, tak seperti biasanya, Anya tampak bersemangat bekerja. Biasanya, ia hanya menunggu hasil yang diselesaikan analis. Namun, kali ini gadis itu ikut melakukan pemeriksaan. Dengan penuh semangat, Anya mengotak-atik alat sentrifus darah. Ia bersenandung. Wajahnya tampak cerah meskipun tertutup masker. Perasaannya berbunga-bunga, sampai-sampai ia tak sadar Rizal meninggalkan ruangan itu, mencari anggota tim yang lain.“Pasiennya ada berapa?” tanya Rizal, begitu berada di ruang admin. Nala memperhatikan rekan kerjanya, keheranan.“Di rawat inap umum sekitar 60 orang. Di maternal ada 7 ibu hamil. Ruang intensif kosong, di neo ada 3 bayi. Di IGD ada 4 orang dalam tahap observasi.”“Bukan,” tukas Rizal. “Maksudku, sampel yang kita kerjakan, ada berapa?”Nala mengerjapkan kedua matanya, masih tidak mengerti maksud pembicaraan rekannya yang tidak biasa.“Tadi sudah kubilang, ada empat puluh..”“Empat puluh tiga.” potong R
Kali terakhir Nala bertengkar dan terlibat dalam perkelahian dengan seorang wanita, sekitar akhir masa sekolahnya. Saat itu, wanita itu melakukannya karena lawannya dengan sengaja mendorong teman sebangkunya ke dalam selokan. Pertama-tama, Nala menjambak lawan dengan keras, memelintir lengan, menendang tulang kering, dan mengunci leher. Apa yang ia lakukan saat itu, sama seperti yang ia lakukan pada Anya hari ini. Dalam keadaan kacau dan berantakan, Nala dan Anya dipanggil ke ruang direktur. Haris memperhatikan kedua karyawan yang berada di hadapannya satu persatu sedang berdiri termenung dalam keadaan menundukkan kepala. Mata Anya sembab. Dengan gamblang, bisa dilihat kalau gadis itu sedang berusaha keras menahan air matanya agar tidak mengalir lagi. Sedangkan mata putrinya, Nala, tampak menyala bagaikan api yang siap melahap apa saja yang menghalangi jalannya. Haris berdeham. Pria itu berdiri di balik meja kerjanya, sambil mengetuk-ngetukkan jari.
“Aku pulang..” Bayu dan Blue yang saat itu sedang duduk di lantai ruang tamu mengitari meja, mendongak. “Kok Ibu sudah pulang?” Bayu beberapa kali mengecek jam dinding. Masih terlalu siang bagi Nala pulang bekerja. “Kau sendiri? Tidak sekolah?” “Dia dihukum libur tiga hari.” sahut Blue. “Kupikir kepala sekolah sudah disuap.” “Ya, semacam formalitas agar kesannya Bayu sudah didisiplinkan. Kau sendiri kenapa? Dipecat?” Nala membanting dirinya ke atas sofa. Bayu menggeser tubuhnya. “Aku juga dihukum libur lima hari.” Bayu dan Blue berpandangan, keheranan. “Kau sekolah di mana?” sindir Blue. “Pak Haris yang menghukumku. Ahh. Tadi aku tidak sengaja menjambak rambut Anya sialan itu dan kami berkelahi.” Bayu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia beberapa kali memperhatikan pamannya yang tampak sama terkejutnya.
Sky menghela nafas panjang. Ia memperhatikan mansion megah yang gemerlap oleh lampu pesta di bawah sinar rembulan dari kejauhan. Pria itu pernah bermain di mansion ini bersama saudaranya, Blue, saat masih kecil. Saat itu, mereka berlarian tanpa arah menghabiskan asupan energi berlebih yang dimiliki anak-anak pada umumnya. Tak ada pikiran buruk mengenai masa depan yang menghantui mereka.Mansion mewah itu dibangun oleh kakek buyutnya sebagai sarana hiburan dan perayaan khusus untuk keluarga besar Triadmodjo. Setidaknya, ada puluhan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, perpustakaan, ruang penyimpanan anggur pribadi, dan berbagai ruang hiburan lain seperti teater mini, permainan arkade, biliar, bahkan ruang musik dengan peralatan orkestra lengkap.Di sekeliling mansion, terdapat taman yang indah dan luas. Detailnya dirancang sedemikian rupa dan penuh perhatian. Pohon-pohon tinggi yang rimbun, membingkai privasi taman dan menjaga ketenangan dari dunia luar. Di sepanja
Nala menyilangkan tangan di dadanya. Wanita itu memperhatikan suaminya yang datang menjelang tengah malam bersama seorang perempuan. “Aku masuk dulu,” Rose yang merasa kehadirannya mengganggu, meninggalkan mereka berdua. Gadis itu merebahkan diri di sofa sambil mengambil setangkai anggur hijau dan memakannya satu-satu. Sky yang sudah menghapus penyamarannya sebagai Ferdian, menampakkan bola mata coklatnya yang bergerak kesana kemari. Ia memberikan isyarat meminta pertolongan pada rekan sejawatnya. Namun, Rose dengan sengaja tak menatap kedua pasangan suami istri itu. “Eee…” Sky kehabisan kata-kata. “Tak kusangka pesta penyambutanmu sebagai pacar baru dokterku berjalan cepat.” sindir Nala. “Minimal pulang pagi.” “Siapa pulang pagi?” Blue tampak muncul dari belakang tubuh Sky. “Wah, kau sudah datang rupanya.” “Ayah!!” Bayu berlari memeluk ayahnya, yang membuat Nala tertegun. “Memangnya kalian pernah bertemu?” Bayu dan Sky berpelukan. Dengan mudah, pria itu menggendong tubuh anak
“Kau pasti becanda..” Nala menatap setelan seragam berwarna merah muda menyala yang Rose sodorkan. Linen yang digunakan tampak dibuat dengan kain murah, yang pasti memperlihatkan lekuk badan setiap pemakainya. “Kau jadi ikut, tidak?” Rose membuka baju dan celana yang ia kenakan tanpa basa-basi. Nala yang melihat hal itu langsung panik dan membuang muka. “Apa kau biasa melakukan hal spontan begini?” “Kita sedang di dalam mobil, ngomong-ngomong. Tak ada siapapun selain kau di sini. Lagipula, kita sesama jenis.” Nala mengangguk, menyerah dengan prinsip hidup rekannya yang bebas. Wanita itu pun membuka pakaiannya, mengikuti Rose. Setelah berganti baju, mereka memarkir mobil di depan sebuah ruko kosong. Dari sana, mereka berjalan agak cepat menuju motel. Nala tidak terbiasa mengenakan pakaian ketat di tengah terik matahari. Keringat membanjiri punggung wanita itu. Begitu masuk motel, Rose menyapa karyawan resepsionis y
Sky menarik tubuh Nala yang masih berseragam ketat ke dalam pelukannya. Bau pembersih menusuk hidung pria itu, namun tak menjadi soal. Ia menarik diri, memperhatikan ujung rambut Nala sampai ujung kaki, memastikan kelengkapan anggota tubuh istrinya. “Kau baik-baik saja.” ucapnya, lebih pada dirinya sendiri. Nala mengerjapkan matanya keheranan. Ia menangkap wajah geli Rose yang menghilang di balik pintu kamar mandi. “Ya, aku memang.. baik-baik saja. Apa yang terjadi?” Sky menarik tubuh itu lagi, kali ini menciumnya. Meski dalam keadaan heran, Nala membiarkan Sky mengecup bibirnya mesra. “Ahhh..” pekik Bayu, yang baru saja turun dari lantai dua. Bersama Blue, mereka berdua refleks menutup wajah dengan telapak tangan masing-masing. “Kalian merusak pemandangan.” Nala mendorong pelan suaminya agar melepaskan ciuman mereka dan menyapa Bayu. “Hei, jagoan.” “Apakah kalian butuh kamar?” timpal Blue. “Sedang kosong melompon