"Za-zahwa, le-pas-kan."
"Ayah, jangan mati duluan. Ustaz, cepet tolong suami saya."
Tiba-tiba Ela datang membawa seorang pria yang umurnya lebih muda dariku. Nampak dewasa karena kumis tebal seperti Pak Raden. Dia langsung menarik anakku. Dengan sekuat tenaga, akhirnya cengkraman demit terlepas juga.
"Ayah, masih bisa napaskan?"
"Masihlah, Mah. Untung mamah datang tepat waktu. Kalau tidak, Ayah sudah jadi perkedel."
"Jangan dong Yah, gak enak perkedel rasa daging ayah."
"Hust, mamah, nih."
Aku hanya menggeleng, berusaha sabar. Aneh, istriku nampak tidak setakut diriku. Meskipun, sesekali dia cemas. Namun, dia lebih santai. Yang paling aneh, kenapa setan itu hanya menyerangku? Dia seakan ingin memakanku hidup-hidup. Sedangkan Ela, sama sekali tidak diliriknya. Harusnya, demit itu bersikap adil. Agar tidak hanya aku yang kelimpungan. S*al, hari ini hidupku begitu apes.
Niat berlibur bersama pujaan hati, malah hampir mati. Rencana bahagia, purna sudah. Yang tersisa, hanya rasa penuh tanda tanya, dan keresahan yang luar biasa.
"Bu, tolong ambilkan segelas air," perintah seorang sosok pria seperti ustaz.
Tanpa banyak berkata, istriku berlari ke dapur. Sedangkan, Zahwa masih dalam cengkramannya. Dia terus berteriak tak karuan. Menunjuk dan melotot ke arahku. Oh tuhan, dosa apa aku. Kenapa setan dalam tubuh Zahwa begitu membenciku. Padahal, kami belum pernah kenalan.
"Ini, Ustaz."
Ustaz meraih segelas air putih. Lalu, dia bacakan ayat kursi, dan entah apa lagi. Suaranya samar-samar.
"Loh, ko airnya malah di minum Pak ustad?" tanyaku.
Ustaz bukan menjawab hanya menganggukkan kepala. Gelas dia letakan di samping. Kedua tangan sibuk memegaangi pundak anakku dari belakang. Tangan kanannya mengibas-ngibas ke kanan. Aku bingung, apa yang dia maksud. Sedangkan Ela, sudah menepi menjauh dariku.
"Arrgh!"
Seisi air dari mulut Ustaz itu menyembur ke arahku. Wajahku basah lagi.
"Allahu Akbar!" teriak ustaz itu, sambil mengusap wajah anakku.
Sekian detik kemudian, Zahwa pingsan. Dengan sigap, ustaz aneh itu menyanggah tubuh anakku.
"Zahwa, bangun Nak." Ela merangkul tubuh anak kami, dan meletakan bagian kepala di pahanya.
"Mamah."
Ela memeluk erat tubuh Zahwa. Begitu pula denganku. Rasanya lega. Akhirnya, sosok astral bisa keluar. Ela merangkul anak kami, agar duduk di sofa. Tak lupa, mempersilahkan ustaz duduk bersama.
"Ustaz terima kasih, sudah menyadarkan anak saya," ucapku sedikit sungkan.
Masih kesal karena disembur air olehnya. Aku juga sama sekali tak mengenalnya. Dia bukan ustaz di komplek ini.
"Sama-sama, Pak. Tapi, saya harus menyampaikan kabar buruk."
"Maksud Ustaz?"
"Jadi, gini Pak. Anak Bapak kemasukan sosok hantu yang sakit hati dan benci pada seorang suami."
"Lah, kenapa ganggu keluarga saya?" tanyaku benar-benar tak mengerti.
"Saya juga tidak tahu alasan makhluk gaib itu mengikuti Bapak. Namun, dari hasil terawangan saya, sosok tadi adalah seorang perempuan, tepatnya istri pertama yang bunuh diri. Karena suaminya berselingkuh. Arwahnya penasaran, sehingga mengantui setiap pria yang hatinya serong atau condong untuk berbuat demikian."
"Tapi kenapa suami saya ustaz? jelas-jelas ayah orangnya setia. Rumah tangga kami hampir 20 tahun. Tak mungkin dia mendua, benarkan Ayah?" tanya Ela melirikku.
"I-iya, Mah," jawabku gugup.
"Pak ustad jangan sok tahu. Anda ini seorang ustaz atau paranormal. Seenaknya mengarang cerita. Saya suami setia. Mana mungkin berniat selingkuh."
"Maaf Pak, saya tidak tahu soal itu. Namun, saya hanya menyampaikan apa yang saya ketahui."
"Anak saya sudah sadar. Lebih baik Ustaz pergi saja."
Sengaja aku mengusir pria itu. Takut pembicaraan makin melebar. Bahaya jika skandalku dengan Nadia terbongkar. Cinta terlarang ini, sudah aku jaga hampir 10 bulan. Tak rela jika kandas hanya karena hal aneh.
"Tapi, Pak kita harus bersihkan rumah ini dari aura negatif."
"Caranya gimana?" tanya anakku.
"Rumah ini harus mengadakan pengajian. Undang semua rekan kerja Bapak. Karena kata istri Bapak, kejadian ini diakibatkan kedatangannya setelah kerja di luar kota.""Halah, gak usah mengada-ngada. Pergi sana."
"Ih, Ayah ko, sensi, sih. Emang kenapa kita ngadain pengajian. 'Kan bagus, Yah. Sekalian ajang silaturahmi."
"Benar kata Zahwa, Yah. Toh, caranya tidak aneh-aneh. Masih sesuai syariat agama. Sekalian syukuran karena Ayah diangkat jadi manajer lima bulan lalu. 'kan, pas itu kita gak jadi ngadain syukuran."
"Tapi, Mah-"
"Setuju saja, Yah. Awa tak mau diganggu sosok serem itu lagi. Ih, tadi tuh rasanya kaya diajak terbang, tapi gak bisa turun. 'Kan ngeri banget."
"Ya sudah, terserah kalian."
Demi kebaikan anakku, lebih baik menuruti ustaz aneh itu. Aku harus memikirkan cara, agar Nadia tidak hadir.
"Kapan acaranya harus dilaksanakan, ustaz?"
"Besok, Bu. Harus secepatnya."
"Nah, kebetulan, besok tanggal merah. Cocok."
"Ya sudah, mamah atur semuanya. Soal undangan, biar Ayah yang mengabari rekan kerja via online."
"Siap Ayah."
Baiklah, aku bisa tenang. Nadia tak akan datang. Aku pastikan, undangan ini tak akan sampai di telinganya.
*****
Keesokan harinya, anak dan istriku sibuk mengatur pengajian nanti malam. Mulai dari membereskan rumah, memesan catring, dan jajan basah. Sedangkan aku, sibuk di kamar. Pura-pura menyelesaikan pekerjaan. Padahal, aku sedang menghubungi Nadia. pujaan hatiku sedang marah. Dia merajuk tak mau mengangkat telpon.
[Mas sudah kirim 5 juta buat kamu beli jajan. Jangan marah lagi, yah, sayang]
Jurus jitu aku keluarkan. Sebuah pesan dengan foto bukti transfer via m-banking aku kirim.
[Yeh, gitu dong, Sayang. Tapi ini belum cukup membayar kekecewaan aku kemarin. Pokoknya, aku minta kalung berlian.]
Saat jari hendak membalas pesan, Ela masuk kamar tanpa ketuk pintu. Refleks, ponsel aku buang sembarang tempat. Untung, masih jatuh di kasur.
"Ayah, bantuin Mamah sebentar. Sekalian jangan lupa hubungin teman-teman Ayah."
"Iya siap, Mah."
"Ya udah ayok, bantuin dulu. Geser-geserin bangku. Mamah gak kuat. Nanti bahaya kalau lengan jadi berotot."
"Siap Dinda."
Mau tak mau, aku bantu Ela. Mengurus ini dan itu. Waktu tersita begitu banyak. Sampai tak terasa, adzan magrib berkumandang. Aku sudah rapi, menyambut tamu di depan rumah. Ela masih di kamar. Dia belum selesai dandan dari tadi. Sementara, Rekan kerjaku, satu per satu berdatangan.
"Mas, kamu kenapa gak bisa dihubungin. Zahwa sakit apa?" tanya Nadia yang tiba-tiba muncul."Dek, kenapa kamu ke sini?"
"Ih, Mas malah balik bertanya."
"Ayah, lagi ngobrol sama siapa?"
Ela mendekat ke arahku dan Nadia. Dia menggandeng mesra tanganku, dan tersenyum ramah pada Nadia. Di sisi lain, Nadia menampakan raut bingung. Matanya menatapku penuh tanda tanya.
"Oh, Ayah lagi ngobrol sama temen kerjanya. Namanya siapa Mbak?" sambung Ela."Nadia."Nadia menampakan raut tak suka. Gawat. Jangan sampai terjadi perang dunia ketiga. Bisa hancur reputasiku. Apalagi, posisi sekarang sedang berkumpul. Jika sampai ada keributan, lalu direkam dan viral, bisa habis riwayatku. Bukan hanya karir yang hancur, tetapi nyawaku diujung tanduk. Bapak tak segan menghajar habis-habisan, kalau perselingkuhan ini diketahuinya."Oh, Mbak Nadia. Kenalkan saya, Nurlaila Pertiwi. Panggil saja Ela. Istrinya Ayah Ilyas purnama, kanda tercinta sepanjang hidup dikandung badan, hehehe," cerocos Ela mengulurkan tangan pada Nadia."Oh. Kamu Ela.""Mbak udah kenal saya? pasti suami saya suka ceritain tentang istrinya di kantor, yah. Ih, Ayah soswet banget."Ela mendaratkan ciuman di pipi kananku. Aku hanya bisa mematung. Pipi Nadia berubah memerah. Mungkin, dia menahan gejolak cemburu."Mbak Nadia sendirian aja? suaminya gak diajak?""Saya gak punya suami.""Kemana suaminya, M
POV ElaSebagai seorang istri dan ibu, aku berprinsip untuk mempunyai hati sekuat baja. Kuat menghadapi segala badai cobaan yang menerpa. Di depan suami dan anak, aku berusaha menjadi sosok jenaka. Tak mau menunjukan kesedihanku. Terus ceria dan menghibur mereka. Agar nyaman dan betah di rumah. Namun, ternyata usahaku membuat suami selalu bahagia, malah dibalas penghianatan."Rafli, kamu di sini? bukannya ikut tugas kerja di luar kota, sama suamiku?" Tiga bulan lalu, tak sengaja aku bertemu dengan sahabat karib suami. Saat hendak pergi ke pasar. Dia sedang menservis mobilnya di bengkel dekat pasar."E-Ela. Kamu ngapain di sini?""Ya mau belanjalah, Raf. Masa mau dugem, hahaha. Ada-ada saja bapak duda, nij," jawabku tak canggung.Kami memang dekat. Rafli sering berkunjung ke rumah. Orangnya asik diajak bergibah. Dekat dengannya, aku merasa muda lagi. Seakan berbincang dengan sahabat semasa kuliah."Bisa aja, La. Udah kepala empat, masih suka ngelawak.""Biar awet muda Pak Duren."Itu
"Ma-maksud kamu apa, Nak? sudahlah, lupakan masalah status wa Ayah. Dia pasti salah kirim. Paling itu rekan kerjanya.""Gak usah ngelak, Mah. Awa udah gede. Paham tentang masalah kaya gini.""Hehehe, sudahlah. serius amet ngomongnya, kaya pejabat negara. Nanti pala kita botak lagi. santai aja, Awa. Mamah baik-baik aja." Aku rangkul anakku. "Awa sudah tau semuanya Mah. Ayah selingkuhkan sama nenek sihir yang namanya Nadia."Mataku membeliak tak percaya. Sejak kapan Zahwa tau semuanya. Kenapa selama ini dia nampak biasa-biasa saja? ternyata anakku menyimpan beban masalah orang tuanya. Dia tetap tegar. Semoga anakku memang kuat, bukan pura-pura menerima. Namun, melampiaskan kekecewaannya dengan jalan yang salah. Seperti pergaulan bebas, apalagi ... Ya Tuhan, hilangkan pikiran negatifku."Awa tau dari mana?""Tak penting Awa tahu dari mana. Bagus kalau Mamah sudah tahu. Kita bisa susun rencana untuk memberi pelajaran pada Ayah dan nenek gayung itu," serunya penuh kilat kebencian."Sayan
"Hahaha, Ayah, ko, tegang gitu? kaya ketauan poligami aja.""Ma-mah, lebih baik Nadia suruh pulang aja. Gak enak sama tetangga," bujuk suamiku.Raut wajahnya masih tegang. Suamiku ini, bernyali melempem saja, berencana punya dua istri. Padahal, aku belum cakar-cakaran dengan Nadia. Namun, Suamiku sudah panik setengah mati."Gak papa, Ayah. Cuman semalem doang. Sekalian Ayah bernostalgia. Mbak Nadia ini 'kan sahabat sekaligus mantan Ayah pas SMA.""Betul itu, Mas. Istrimu ini sangat baik. Dia tak akan cemburu, meskipun kita punya kisah masa lalu," jawab Nadia penuh percaya diri."Oh tentu, Mbak. Masa lalu 'kan sudah berlalu. Yang terpenting, aku istri Ayah. Kami juga sangat bahagia. Benar tidak Ayah?"Aku yakin, Nadia curiga kalau aku mengetahui perselingkuhannya. Dia terus memancing. Agar membongkar apa yang aku ketahui tentang mereka."Ya pasti bahagia dong. Apalagi ada Awa."Putriku datang, langsung memposisikan diri di tengah. Merangkul aku dan Ayahnya. Nadia mengungkapkan cemburu.
"Arrgh! tikus ....""Tolong ...."Brak!Nadia berteriak nyaring. Disusul suara pintu yang dibanting. Lalu, benda kaca yang jatuh. Isi kepalaku membayangkan ekspresi ketakutan Nadia yang sangat lucu. Rasanya geli sendiri, jika diposisinya. Sekujur tubuh di peluk bahkan di cium tikus-tikus kecil. Zahwa mengikuti tingkahku yang konyol dan aneh. Hebat sekali dia, bisa memikirkan rencana sekeren ini. Beruntung, anakku tipe gadis tangguh. Dia bahkan berani menghamburkan sepuluh tikus sekaligus di dalam selimut Nadia."Mas Ilyas, ada tikus," teriak Nadia masih menggema."Mah, kayanya Ayah udah bangun dan nyamperin nenek gayung. Ayok, kita lihat. Awa gak sabar lihat ekpresinya. Pasti rambutnya awut-awutan.""Masa sih, Nak? gak mungkinlah. Paling kamar tamu kita yang berantakan.""Ih, mamah gak tau, ya. Tadi tuh, Awa sudah siapkan satu tikus kecil alias bencil, yang unyu-unyu, di atas kepalanya.""Astagfirullohaladzim, hahaha," tawaku pecah seketika. Inginku guling-guling, sambil cekikikan se
POV Ilyas"Hahaha, Tante cantik kalah. Ayah lebih sayang kami. Sana pulang Tante. Jam tiga pagi gini, masih ada go car, ko," sahut anakku.Nadia memang ceroboh. Dia menggali kuburannya sendiri. Seenaknya menginap di rumahku, dan malah membongkar skandal kami.Sia-sia aku menyembunyikan pernikahan ini. Aku sudah menyimpannya serapat mungkin. Tak ada orang terdekat yang tahu. Bahkan, Rafli saja tidak tahu soal pernikahan siriku dengan Nadia. Namun, aku kaget ketika istri dan anakku mengaku mengetahuinya. Mereka tahu dari mana? nanti, aku akan menanyakannya pada Rafli."Nadia, cepat pergi!" "Mas kamu apa-apaan, sih? gak bisa seenaknya ngusir kaya gini. Aku juga istri kamu, Mas.""Berisik, pergi cepat!""Bagaimana Mbak, sakit dibentak? aduh, aduh. Mangkanya kalau punya muka cantik, hatinya jangan burik. Jadi, sakit deh," ucap Ela. Heran, anak dan istriku sama sekali tak menitikan air mata, ataupun ngamuk-ngamuk seperti di sinetron televisi. Hanya ada raut dongkol. Apa mereka memang mene
POV Ela"Gitu, dong, Yah. Makasih, tanda tangannya."Segera aku rebut surat-surat yang sudah ditanda tangani. Ini bukan hanya lembaran rapot. Namun, ada surat perjanjian jual rumah yang sudah aku selipkan. Aku sengaja menjualnya pada sahabatku. Rumah ini termasuk harta gono gini, karena dibeli setelah kami menikah. Jadi, saat menjualnya, aku harus mencantumkan tanda tanganku dan Ayah. Uang hasil penjualannya akan aku gunakan untuk membuka usaha. Meskipun, aku masih tak tahu, bisnis apa yang cocok untukku. Setidaknya, dengan uang satu milyar hasil penjualan rumah, bisa digunakan untuk menyambung hidupku dan Zahwa."Tumben, bilang makasih segala, Mah. Itukan cuman rapot.""Hehehe, emang kenapa sih, Yah. Kali-kali Mamah berterimakasih karena Ayah sudah berjuang mencari uang. Sampai anak kita bisa sekolah.""Oh, gitu. Gimana kalau Ayah ikut nganterin Mamah ke Surabaya. Sekalian mampir ke rumah Bapak. Nanti ayah minta libur ke kantor tiga hari.""Gak usah Ayah. Besok Ayah kerja dulu. iNan
"Apa Ilyas selingkuh?" lagi-lagi, mereka kompak bertanya."Ayah, jahat, Mbah. Ayah sudah menikah diam-diam. Ayah sakitin, Mamah, dan Awa."Tangisan Zahwa begitu menyayat hati. Aku tak tega mendengarnya. Air mata mengalir bak banjir bandang. "Tenang, cucu Mbah. Keluarkan kekesalan, kamu, Ndok. Lalu jelaskan pelan-pelan sama Mbah. Biar Mbah Uti dan Mbah Kakung paham," ucap Ibu Nia berpindah posisi di samping Zahwa. Kemudian, mengelus halus pundaknya."Mbah, harus kasih Ayah pelajaran. Biar kapok. Ayah lebih milih nenek gayung dibandingkan Awa dan Mamah, hiks, hiks."Dadaku sesak. Perkataan Zahwa bagai ribuan peluru yang menghujam jantung dan tengkorak kepala. Nyeri tak terkira. Sekuat apapun anakku, dia hanya seorang anak remaja yang belum siap menerima kenyataan pahit ini."Coba ceritakan dengan jelas semuanya, Awa."Bapak Mertua mulai menampakan raut geram. Tangannya mengepal kuat. Dia pasti terbakar emosi. Mengetahui kelakuan buruk putranya. Zahwa melepaskan diri dari pelukan kakek