POV Ela
Sebagai seorang istri dan ibu, aku berprinsip untuk mempunyai hati sekuat baja. Kuat menghadapi segala badai cobaan yang menerpa. Di depan suami dan anak, aku berusaha menjadi sosok jenaka. Tak mau menunjukan kesedihanku. Terus ceria dan menghibur mereka. Agar nyaman dan betah di rumah. Namun, ternyata usahaku membuat suami selalu bahagia, malah dibalas penghianatan.
"Rafli, kamu di sini? bukannya ikut tugas kerja di luar kota, sama suamiku?"Tiga bulan lalu, tak sengaja aku bertemu dengan sahabat karib suami. Saat hendak pergi ke pasar. Dia sedang menservis mobilnya di bengkel dekat pasar.
"E-Ela. Kamu ngapain di sini?"
"Ya mau belanjalah, Raf. Masa mau dugem, hahaha. Ada-ada saja bapak duda, nij," jawabku tak canggung.
Kami memang dekat. Rafli sering berkunjung ke rumah. Orangnya asik diajak bergibah. Dekat dengannya, aku merasa muda lagi. Seakan berbincang dengan sahabat semasa kuliah.
"Bisa aja, La. Udah kepala empat, masih suka ngelawak."
"Biar awet muda Pak Duren."
Itu panggilanku untuknya. Duren yakni duda keren. Rafli seumuran denganku. Beda dengan suamiku, yang berumur dua tahu lebih tua dari kami. Soal rupa, tentu Rafli lebih tampan. Badannya atletis seperti Syahrukan. Berkulit sawo matang, manis kaya durian musang king, dari Malaysia. Dibumbui karisma kepemimpinan yang melekat padanya. Namun, anehnya dia masih betah menjadi duda. Padahal, istrinya sudah lama meninggal.
"Bisa aja kamu, La."
"Ya bisa, 'kan pake 'A' kalau pake 'U' jadinya bisu. Tambah 'L' jadi bisul." Kami tergelak bersama.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Duren. Kenapa kamu di sini? gak jadi ikut suamiku ke luar kota?"
Rafli tak menjawab. Dia menatapku dengan iba. Dari raut wajahnya, aku yakin, ada yang disembunyikan.
"Jujurlah Bapak Duren. Kita tak tahu kapan malaikat Izroil menjemput. Umur sudah kepala empat, bisa jadi kamu yang duluan, aku belakang. Atau kebalikannya, aku belakangan kamu duluan. Jadi, katakan saja, jangan dipendam," bujukku berpidato bak Mamah Dedeh.
"Baiklah Ela, aku mau biacara serius. Ayok, kita cari tempat duduk sambil minum es teh. Biar nantinya hati kamu gak panas."
Aku hanya mengernyitkan dahi. Tak paham apa maksud Rafli. Dengan memasang wajah polos bagaikan bayi, aku mengekor pasrah. Kami duduk di sebuah kafe yang tidak jauh dari bengkel. Rafli memesan minuman es thai tea dan lemon tea.
"Ayok bicara, Raf. Waktuku tidak banyak. Kamu tahu 'kan, ibu-ibu sepertiku harus buru-buru ke pasar. Biar bisa nyari diskonan cabe, bawang, tomat dan kawan-kawan."
"Iya, La. Aku mau jujur. Semoga, kamu bisa sabar mendengar kenyataan pahit ini. Pikirkan matang-matang keputusan yang nantinya akan diambil."
Rafli makin membuat pikiranku melayang-layang tak karuan. Dia pikir, aku sedang mengikuti pemilu presiden? sampai menyuruh berpikir penuh pertimbangan. Pemilihan presiden masih dua tahun lagi. Heran. Mungkin Duren kurang belaian perempuan cantik. Jadi ngomongnya ngelantur.
"Sejak awal, aku sudah melarang perbuatan Ilyas. Tapi cinta masa lalu, malah membodohinya. Sebenarnya, Ilyas tidak ada kerjaan di luar kota. Dia hanya beralasan supaya bisa liburan dengan selingkuhannya."
"Hahaha, Duren, ampun, deh. Masih pagi udah ngeprank. Kamu sekarang jadi youtuber? mana kameranya?" tanyaku sambil mengamati seisi kafe. Melabai-lambaikan tangan mencari kamera."La, aku serius. Ini buktinya. Maaf, aku baru bisa memberitahumu sekarang."
Sebuah foto dari galeri ponsel Rafli, terpampang jelas. Aku raih benda pipih itu, dengan tangan gemetar. Berkali-kali aku perbesar gambarnya. Untuk memastikan apa yang aku lihat. Ada Foto Ayah yang sedang bermesraan dengan perempuan di atas kasur. Mereka hanya ditutupi sehelai selimut.
"Raf, kamu becandakan?" tawa terpaksa, aku tampilkan. Berusaha menampik bukti yang ada.
"Maaf, Ela. Kenyataannya memang begitu. Maaf, aku baru cerita."
Prank!
Tak sengaja, tanganku menyenggol gelas. Tatapanku menerobos lurus. Jantung berpacu dua kali lipat lebih cepat. Nyeri menjalar dari aliran darah ke setiap urat-urat nadi. Air mata bergulir deras di pipi.
"Ela, tenangkan dirimu."Brugh!
Meja aku pukul dengan kasar. Sampai air di gelas Rafli muncrat ke mukanya. Rafli menampakan raut ketakutan. Beruntung, suasana kafe masih sepi. Aku tak sampai di demo para pengunjung karena membuat kegaduhan.
"Duren, maaf aku tak sengaja. Tolong bayar tagihan minumnya pake duit kamu. Aku pergi dulu."
Dengan hati berkecamuk. Aku melangkah pulang. Tak jadi belanja ke pasar. Biar saja nanti membeli makanan di warteg.
Suasana rumah sepi. Zahwa ada tugas kerja kelompok di rumah temannya. Aku leluasa mengekspresikan sakit di dalam dada. Aku Menangis sejadi-jadinya. Melempar bantal, guling, dan selimut ke sembarang tempat. Lampu hias kamar, yang terbuat dari kaca, pecah berkeping-keping. Sama seperti hatiku.
"Ayah jahat! kurang apa aku, Yah? kondisi suka maupun duka aku berusaha tak mengeluh. Makan atau tidak bisa makan, aku tetap setia. Tapi kau malah berdusta, dan menciptakan luka, hiks, hiks," jeritku menggema.
Aku menangis dengan posisi memeluk lutut. Bahu terguncang hebat. Seceria apapun diriku. Aku tetap manusia biasa. Perlu meluapkan sakit hati yang dirasa.
Hampir satu jam aku mengeluarkan rasa sakit ini. Berusaha menenangkan diri. Jangan sampai Zahwa melihat kondisiku. Aku berjanji, akan tetap ceria. Demi anakku.Kurang lebih satu semester lagi, Zahwa naik kelas tiga SMA. Kalau sekarang aku memutuskan kabur ke rumah ibu di Surabaya, Sekolahnya akan terganggu. Aku juga harus mengumpulkan banyak bukti. Untuk bekal membongkar skandal suamiku di depan ibu dan mertua. Sekuat tenaga, aku akan bertahan.
Setelah kejadian itu, aku berusaha tetap menjadi sosok Ela seperti biasanya. Ceria dan penuh canda tawa. Sampai Ayah sama sekali tak menyadari, bahwa perlahan aku menjaga jarak dengannya. Selalu berdalih jika dia meminta servis batin. Aku juga sedang berpikir keras untuk mencari ide usaha. Agar nantinya, merdeka secara finansial. Saat menjadi janda.
"Mah, Sini, Mah. Ini Ayah 'kan?" tanya Zahwa setelah tiga bulan aku memendam luka.
Kami sedang berolahraga bersama mengitari komplek. Saat aku membeli minuman, Zahwa tak sengaja melihat status ayahnya di ponselku.
"Za-zahwa, sini ponsel Mamah. Kamu salah liat kali. Minum nih, biar gak burem matanya, hihi," ucapku berusaha mencairkan suasana.
"Mamah ini, mataku masih sehat. Jelas-jelas tadi status Ayah sama perempuan lain. Masa status duda sebelah."
"Kamu kebanyakan baca novel KBM yang lagi booming sih, status janda, tetangga, calon suami. Jadi, kebayang-banyang," jawabku berusaha mengelak.
Aku sudah biasa melihat stori mesra suamiku dengan Nadia. Rafli yang selalu mengirimkannya. Belakangan ini, aku juga diam-diam membuka privasi stori w******p milik suamiku.
"Apa Mamah sudah tahu semuanya?"
Apa maksud anakku? apa dia sudah tahu sebelumya tentang ini semua? tidak ... aku harap tidak.
"Ma-maksud kamu apa, Nak? sudahlah, lupakan masalah status wa Ayah. Dia pasti salah kirim. Paling itu rekan kerjanya.""Gak usah ngelak, Mah. Awa udah gede. Paham tentang masalah kaya gini.""Hehehe, sudahlah. serius amet ngomongnya, kaya pejabat negara. Nanti pala kita botak lagi. santai aja, Awa. Mamah baik-baik aja." Aku rangkul anakku. "Awa sudah tau semuanya Mah. Ayah selingkuhkan sama nenek sihir yang namanya Nadia."Mataku membeliak tak percaya. Sejak kapan Zahwa tau semuanya. Kenapa selama ini dia nampak biasa-biasa saja? ternyata anakku menyimpan beban masalah orang tuanya. Dia tetap tegar. Semoga anakku memang kuat, bukan pura-pura menerima. Namun, melampiaskan kekecewaannya dengan jalan yang salah. Seperti pergaulan bebas, apalagi ... Ya Tuhan, hilangkan pikiran negatifku."Awa tau dari mana?""Tak penting Awa tahu dari mana. Bagus kalau Mamah sudah tahu. Kita bisa susun rencana untuk memberi pelajaran pada Ayah dan nenek gayung itu," serunya penuh kilat kebencian."Sayan
"Hahaha, Ayah, ko, tegang gitu? kaya ketauan poligami aja.""Ma-mah, lebih baik Nadia suruh pulang aja. Gak enak sama tetangga," bujuk suamiku.Raut wajahnya masih tegang. Suamiku ini, bernyali melempem saja, berencana punya dua istri. Padahal, aku belum cakar-cakaran dengan Nadia. Namun, Suamiku sudah panik setengah mati."Gak papa, Ayah. Cuman semalem doang. Sekalian Ayah bernostalgia. Mbak Nadia ini 'kan sahabat sekaligus mantan Ayah pas SMA.""Betul itu, Mas. Istrimu ini sangat baik. Dia tak akan cemburu, meskipun kita punya kisah masa lalu," jawab Nadia penuh percaya diri."Oh tentu, Mbak. Masa lalu 'kan sudah berlalu. Yang terpenting, aku istri Ayah. Kami juga sangat bahagia. Benar tidak Ayah?"Aku yakin, Nadia curiga kalau aku mengetahui perselingkuhannya. Dia terus memancing. Agar membongkar apa yang aku ketahui tentang mereka."Ya pasti bahagia dong. Apalagi ada Awa."Putriku datang, langsung memposisikan diri di tengah. Merangkul aku dan Ayahnya. Nadia mengungkapkan cemburu.
"Arrgh! tikus ....""Tolong ...."Brak!Nadia berteriak nyaring. Disusul suara pintu yang dibanting. Lalu, benda kaca yang jatuh. Isi kepalaku membayangkan ekspresi ketakutan Nadia yang sangat lucu. Rasanya geli sendiri, jika diposisinya. Sekujur tubuh di peluk bahkan di cium tikus-tikus kecil. Zahwa mengikuti tingkahku yang konyol dan aneh. Hebat sekali dia, bisa memikirkan rencana sekeren ini. Beruntung, anakku tipe gadis tangguh. Dia bahkan berani menghamburkan sepuluh tikus sekaligus di dalam selimut Nadia."Mas Ilyas, ada tikus," teriak Nadia masih menggema."Mah, kayanya Ayah udah bangun dan nyamperin nenek gayung. Ayok, kita lihat. Awa gak sabar lihat ekpresinya. Pasti rambutnya awut-awutan.""Masa sih, Nak? gak mungkinlah. Paling kamar tamu kita yang berantakan.""Ih, mamah gak tau, ya. Tadi tuh, Awa sudah siapkan satu tikus kecil alias bencil, yang unyu-unyu, di atas kepalanya.""Astagfirullohaladzim, hahaha," tawaku pecah seketika. Inginku guling-guling, sambil cekikikan se
POV Ilyas"Hahaha, Tante cantik kalah. Ayah lebih sayang kami. Sana pulang Tante. Jam tiga pagi gini, masih ada go car, ko," sahut anakku.Nadia memang ceroboh. Dia menggali kuburannya sendiri. Seenaknya menginap di rumahku, dan malah membongkar skandal kami.Sia-sia aku menyembunyikan pernikahan ini. Aku sudah menyimpannya serapat mungkin. Tak ada orang terdekat yang tahu. Bahkan, Rafli saja tidak tahu soal pernikahan siriku dengan Nadia. Namun, aku kaget ketika istri dan anakku mengaku mengetahuinya. Mereka tahu dari mana? nanti, aku akan menanyakannya pada Rafli."Nadia, cepat pergi!" "Mas kamu apa-apaan, sih? gak bisa seenaknya ngusir kaya gini. Aku juga istri kamu, Mas.""Berisik, pergi cepat!""Bagaimana Mbak, sakit dibentak? aduh, aduh. Mangkanya kalau punya muka cantik, hatinya jangan burik. Jadi, sakit deh," ucap Ela. Heran, anak dan istriku sama sekali tak menitikan air mata, ataupun ngamuk-ngamuk seperti di sinetron televisi. Hanya ada raut dongkol. Apa mereka memang mene
POV Ela"Gitu, dong, Yah. Makasih, tanda tangannya."Segera aku rebut surat-surat yang sudah ditanda tangani. Ini bukan hanya lembaran rapot. Namun, ada surat perjanjian jual rumah yang sudah aku selipkan. Aku sengaja menjualnya pada sahabatku. Rumah ini termasuk harta gono gini, karena dibeli setelah kami menikah. Jadi, saat menjualnya, aku harus mencantumkan tanda tanganku dan Ayah. Uang hasil penjualannya akan aku gunakan untuk membuka usaha. Meskipun, aku masih tak tahu, bisnis apa yang cocok untukku. Setidaknya, dengan uang satu milyar hasil penjualan rumah, bisa digunakan untuk menyambung hidupku dan Zahwa."Tumben, bilang makasih segala, Mah. Itukan cuman rapot.""Hehehe, emang kenapa sih, Yah. Kali-kali Mamah berterimakasih karena Ayah sudah berjuang mencari uang. Sampai anak kita bisa sekolah.""Oh, gitu. Gimana kalau Ayah ikut nganterin Mamah ke Surabaya. Sekalian mampir ke rumah Bapak. Nanti ayah minta libur ke kantor tiga hari.""Gak usah Ayah. Besok Ayah kerja dulu. iNan
"Apa Ilyas selingkuh?" lagi-lagi, mereka kompak bertanya."Ayah, jahat, Mbah. Ayah sudah menikah diam-diam. Ayah sakitin, Mamah, dan Awa."Tangisan Zahwa begitu menyayat hati. Aku tak tega mendengarnya. Air mata mengalir bak banjir bandang. "Tenang, cucu Mbah. Keluarkan kekesalan, kamu, Ndok. Lalu jelaskan pelan-pelan sama Mbah. Biar Mbah Uti dan Mbah Kakung paham," ucap Ibu Nia berpindah posisi di samping Zahwa. Kemudian, mengelus halus pundaknya."Mbah, harus kasih Ayah pelajaran. Biar kapok. Ayah lebih milih nenek gayung dibandingkan Awa dan Mamah, hiks, hiks."Dadaku sesak. Perkataan Zahwa bagai ribuan peluru yang menghujam jantung dan tengkorak kepala. Nyeri tak terkira. Sekuat apapun anakku, dia hanya seorang anak remaja yang belum siap menerima kenyataan pahit ini."Coba ceritakan dengan jelas semuanya, Awa."Bapak Mertua mulai menampakan raut geram. Tangannya mengepal kuat. Dia pasti terbakar emosi. Mengetahui kelakuan buruk putranya. Zahwa melepaskan diri dari pelukan kakek
POV IlyasAda yang aneh dari Ela dan Zahwa. Tak biasanya mereka pergi mendadak ke Surabaya. Aku berusaha menepis firasat buruk yang hadir. Mencoba tetap berpikir positif, dan lebih baik memanfaatkan keadaan. Waktunya aku bersenang-senang dengan istri muda. Ada untungnya juga, Ela berlibur ke Surabaya. Aku punya kesempatan bermesraan lebih lama, bersama pujaan hati."Kapan Mas bakal mengakui aku sebagai istri?" tanya Nadia. Kami sedang tidur bersama di rumahku. Nadia yang ingin tidur di sini. Dia takut sendirian di apartemennya."Tunggu Mas, mendapatkan harta Bapak. Baru kita bebas.""Kapan? menunggu bapakmu mati?""Dek, jangan bicara seperti itu.""Lagian, Mas ngeselin. PHP terus sama aku.""Bukan PHP, kamu tentu tahu alasannya.""Ya sudah, beliin aku rumah besar kaya si Ela.""Sabar, Mas belum bisa ngumpulin uang. Nunggu dapet bonus Lagi. Uang penjualan rumah kamu, kenapa gak di pake dulu, nanti Mas tambahin.""Gak mau. Ngapain aku punya suami, kalau rumah aja beli pake duit sendiri.
"Pak, Bu, buka pintunya." Dini hari menjelang subuh, aku sampai di Surabaya. Beruntung masih ada penerbangan malam hari. Setelah menyusun rencana dengan Nadia, aku segera melakukan perjalanan menuju rumah Bapak.Ela sudah berbuat licik. Maka, aku akan bertindak demikian. Perlakuannya yang semena-mena tak bisa dibiarkan. Aku baru sadar, Ela bukan perempuan biasa. Dia pintar memanipulasi keadaan."Ayah ....""Zahwa, maafkan Ayah, Nak." Aku peluk putriku. Supaya dia ikut bersimpati. Agar aktingku lebih meyakinkan.Maafkan Ayah, Nak. Perasaan ini begitu rumit. Ayah menyayangimu, tapi tidak dengan Mamahmu. Cinta tak bisa dipaksakan. Kadang membuat orang yang merasakan, harus egois dalam mengambil tindakan. Begitulah posisi Ayah sekarang."Ih, peluk-peluk segala. Mana bau apek lagi. Ayah kaya drama India, aja. Lagian, ngapain ke sini? Mbah uti dan Mbah Kakung, gumoh alias eneg liat Ayah.""Ayah mau memperbaiki semuanya, Nak. Ayok, kita masuk.""Halah, jambu, yah.""Jambu?""Janjimu, janji