"Mah, beneran gak marah?" tanyaku memastikan.
Aku takut Ela sedang melakukan prank. Pura-pura tak tahu status itu, padahal sedang mempersiapkan kejutan yang bikin spot jantung. Naudzubillah, jangan sampai kisah hidupku berakhir tragis seperti suami-suami dalam Novel rumah tangga yang pernah aku baca.
"Mamah kapan sih, bisa marah sama pria tampan kaya ayah. Ya, meskipun perutnya sedikit buncit, hahaha."
Ela lagi-lagi tertawa. Dia terus saja mengeluarkan kata-kata manis seperti biasanya. Sementara tangan kanan dengan sigap memotong buah mangga. Lalu, memasukannya ke dalam blender.
"Mamah, udah jadi belum. Zahwa haus ni. Tenggorokan rasanya seperti Padang sahara," celoteh putriku sambil duduk di bangku meja makan.
"Sabar, sayang. Minum dulu air es di kulkas. Biar hatimu gak panas."
"Maksudnya apa, mah?" tanyaku merasa janggal. Kata-kata Ela seakan sebuah sindiran untukku. Apa aku yang terlalu baper?
"Itu Yah, anak kita lagi panas hatinya. Melihat orang yang dia sayang, mesra-mesraan sama cewek lain."
Prank!
Tak sengaja aku menyenggol wadah blender yang sedang diisi buah mangga. Irisan mangga segar, berjatuhan ke lantai.
"Aduh, ayah ... kamu kenapa, sih. Udah sana istirahat. Ayah pasti lelah. Bahaya kalau tetap di sini, nanti dapur mamah acak-acakak kaya kena tsunami," ucap Ela dengan nada meledek.
Dia memang begitu. Apapun kesalahan yang aku lakukan, tak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Dia paling pandai merespon keadaan dengan hati yang riang. Entah terbuat apa hati istriku ini. Mungkin, hatinya sama seperti rainbow cake. Sangat berwarna dan manis.
"Iya Ayah, ni. Gak tau Awa lagi haus. Malah direcokin, Mamahnya."
"Ma-maaf, sayang. Ayah cuman gak paham, maksud ucapan Mamah."
"Tentang apa?"
"Tentang hati Zahwa yang cemburu. Maksudnya? apa anak kita pacaran."
"Owalah. Ayah kaget, yah. Pasti takut anak kita pacaran dan kena pergaulan bebas. Tenang Ayah. Maksud mamah, itu loh, artis idola anak kita yang namanya Lee min ho, mesra-mesraan sama pacarnya. Jadi, anak kita cemburu. Iya, tidak Nak?"
"Betul tuh. Ayah aneh, ih. 'Kan ayah tau, anak ayah ini baik hati dan gak nakal. Mana mungkin pacaran. Apalagi tidur bareng sama yang bukan muhrimnya," jawab Zahwa.
Perkataanya menusuk sampai hati. Zahwa memang sedang tidak menyindirku. Namun, hatiku begitu tersentil. Aku harus apa? kenapa sikap mereka seakan berubah. Apa aku yang terlalu ketakutan. Khawatir perselingkuhaku terbongkar.
"Sudah, sudah. Kalian tunggu di ruang tamu. Mamah mau fokus bikin jus."
"Nah, betul, tuh. Jangan lama-lama, Mah."
"Siap Tuan Putri."
"Ayok, Yah. Jangan ganggu Mamah."
Zahwa menarikku ke ruang depan. Aku hanya bisa termenung di sofa. Sedangkan anakku, sibuk bermain ponsel sambil menchargernya. Ternyata, ponsel mereka lowbet. Pantas saja tak bisa dihubungi. Namun, aneh, kenapa bisa berbarengan.
"Hp, Mamah ko gak di cas, Nak?"
"Mana Awa tahu."
"Gak ada yang aneh 'kan dari Mamah?"
"Gak," jawabnya singkat.
Zahwa berubah dingin. Apa dia yang sudah melihat statusku. Kacau. Kalau hal tersebut benar-benar terjadi. Mau aku simpan dimana muka ini. Aku yang menyuruh anak gadisku tidak pacaran, apalagi berzina. Namun, aku sebagai ayahnya malah melakukan perbuatan laknat tersebut.
"Kamu kenapa, Nak? Ayah udah bikin salah?"
"Iya."
"Ma-maksudnya apa, Nak. A-ayah salah apa?"
"Ih, ayah berisik, sih. Awa lagi stalking I*******m artis idola Awa. Jangan ganggu."
"Oh."
Aku bisa sedikit bernapas lega. Istri dan anakku mungkin tidak tahu status itu. Sepertinya, storiku tak sengaja terbuka. Untung sudah aku hapus. Mereka tak akan bisa melihatnya lagi.
Zahwa masih asik dengan ponselnya. Rasa khawatir sudah sedikit hilang. Aku ambil tas yang masih tergeletak di meja, dan membawanya ke kamar. Segera aku mandi. Untuk menyegarkan jiwa dan raga. Agar tidak stres dan membayangkan hal-hal buruk.
"Ayah, tolong!"
"Yah, buruan ke sini!"
Baru saja mau merebahkan tubuh di atas kasur. Suara cempreng Ela mengagetkanku. Bukan hanya itu, terdengar barang berjatuhan dari ruang tamu. Hatiku gusar. Segera berlalu menemui Ela.
"Yah, Zahwa, Yah!" teriak Ela makin keras.
"Ya Allah, Zahwa."
Mataku melotot sempurna. Ela segera memelukku dengan ekspresi ketakutan. Anak kami, meracau tak karuan. Wajahnya sangat menyeramkan. Hijab yang dia kenakan, mengsol tak jelas. Bantal, sofa sudah berjatuhan ke lantai. Vas bunga yang terbuat dari kaca, pecah dan jatuh berserakan di dekat pintu.
"Hey, suami tukang selingkuh, hahaha." Aku telan Saliva canggung. Ada apa dengan putriku?
"Ayah, anak kita kesurupan. Kayanya kamu bawa jin dari tempat kerja, yah. Anak kita jadi gini, nih."
"Mana mungkin, Mah. Ayah tidak pergi ke alas Roban. Tidak mungkin bawa demit."
"Terus kenapa dengan anak kita, Ayah. Aduh, kalau follower anak kita tau, dia gak bakal diendors lagi."
Tanganku hanya bisa tepuk jidat. Istriku ini memang kocak. Di tengah suasana menegangkan, masih saja melawak. Heran.
"Hey, Sudah tua, masih genit saja. Sini kau, aku siram air keras."
"Argh!"
Byur!
Segelas jus mangga mengguyur badanku. Baru saja badanku wangi sabun mandi. Berubah jadi bau mangga. Dasar demit tidak tahu kondisi dan situasi. Seenaknya saja, mengotori bajuku.
"Ayah, jangan! Sadar yah, Zahwa anak kita."
Hampir saja tanganku melayang di pipi Zahwa. Beruntung, Ela mengingatkanku. Bahwa bukan anakku yang kurang ajar. Akan tetapi, setan atau jin yang sedang menguasai tubuhnya.
"Mah, cepat panggil Pak Ustad. Biar anak kita diruqiyah."
"Oke Pah. Mamah keluar dulu minta bantuan. Ingat, jaga anak kita. Jangan kasar, bagaimanapun Zahwa sedang dikendalikan makhluk astral."
"Iya, Mah, cepat. Keluar lewat pintu belakang."
Ela berlalu menuju pintu dapur. Pintu depan dihalangi jin dalam tubuh anakku. Makhluk itu terus menangis tak karuan. Kemudian, terududuk bak suster ngesot.
"Suamiku jahat, hiks, hiks. Dia menghianatiku. Aku akan mencekiknya agar abadi bersamaku," rintihnya menyayat hati.
"Nak, sadar Sayang. Ini Ayah. Lawan setan itu, Nak."
Perlahan aku dekati anakku. Berjongkok di sampingnya. Dia masih menunduk. Bercucuran air mata. Mengeluarkan tangisan yang menusuk kalbu. Hatiku sedih, dan bingung setengah mati. Bagaimana caranya menyadarkan putirku.
"Tenang, Nak," ucapku berusaha mengelus punggungnya.
"Arrgh!"
"Hahaha, rasakan suami penghianat."
Si*l. Setan itu memukul benda pusakaku dengan tangan kosong. Pukulannya begitu kuat. Aku terjengkang sambil merintih kesakitan.
"Kemari kau!"
Belum cukup menyakiti aset berhargaku. Demit itu mulai mendekat. Matanya melotot. Tangannya mengepal kuat.
"Sadar, Nak. Ini Ayah."
"Selamat menuju neraka, penghianat!" teriaknya sambil mencekik leherku. Kilatan amarah terlihat jelas dari sorot matanya. Nampaknya, Zahwa benar-benar dikuasi setan yang brutal.
"Za-zahwa, le-pas-kan."
"Za-zahwa, le-pas-kan.""Ayah, jangan mati duluan. Ustaz, cepet tolong suami saya."Tiba-tiba Ela datang membawa seorang pria yang umurnya lebih muda dariku. Nampak dewasa karena kumis tebal seperti Pak Raden. Dia langsung menarik anakku. Dengan sekuat tenaga, akhirnya cengkraman demit terlepas juga."Ayah, masih bisa napaskan?""Masihlah, Mah. Untung mamah datang tepat waktu. Kalau tidak, Ayah sudah jadi perkedel.""Jangan dong Yah, gak enak perkedel rasa daging ayah.""Hust, mamah, nih."Aku hanya menggeleng, berusaha sabar. Aneh, istriku nampak tidak setakut diriku. Meskipun, sesekali dia cemas. Namun, dia lebih santai. Yang paling aneh, kenapa setan itu hanya menyerangku? Dia seakan ingin memakanku hidup-hidup. Sedangkan Ela, sama sekali tidak diliriknya. Harusnya, demit itu bersikap adil. Agar tidak hanya aku yang kelimpungan. S*al, hari ini hidupku begitu apes. Niat berlibur bersama pujaan hati, malah hampir mati. Rencana bahagia, purna sudah. Yang tersisa, hanya rasa penuh tan
"Oh, Ayah lagi ngobrol sama temen kerjanya. Namanya siapa Mbak?" sambung Ela."Nadia."Nadia menampakan raut tak suka. Gawat. Jangan sampai terjadi perang dunia ketiga. Bisa hancur reputasiku. Apalagi, posisi sekarang sedang berkumpul. Jika sampai ada keributan, lalu direkam dan viral, bisa habis riwayatku. Bukan hanya karir yang hancur, tetapi nyawaku diujung tanduk. Bapak tak segan menghajar habis-habisan, kalau perselingkuhan ini diketahuinya."Oh, Mbak Nadia. Kenalkan saya, Nurlaila Pertiwi. Panggil saja Ela. Istrinya Ayah Ilyas purnama, kanda tercinta sepanjang hidup dikandung badan, hehehe," cerocos Ela mengulurkan tangan pada Nadia."Oh. Kamu Ela.""Mbak udah kenal saya? pasti suami saya suka ceritain tentang istrinya di kantor, yah. Ih, Ayah soswet banget."Ela mendaratkan ciuman di pipi kananku. Aku hanya bisa mematung. Pipi Nadia berubah memerah. Mungkin, dia menahan gejolak cemburu."Mbak Nadia sendirian aja? suaminya gak diajak?""Saya gak punya suami.""Kemana suaminya, M
POV ElaSebagai seorang istri dan ibu, aku berprinsip untuk mempunyai hati sekuat baja. Kuat menghadapi segala badai cobaan yang menerpa. Di depan suami dan anak, aku berusaha menjadi sosok jenaka. Tak mau menunjukan kesedihanku. Terus ceria dan menghibur mereka. Agar nyaman dan betah di rumah. Namun, ternyata usahaku membuat suami selalu bahagia, malah dibalas penghianatan."Rafli, kamu di sini? bukannya ikut tugas kerja di luar kota, sama suamiku?" Tiga bulan lalu, tak sengaja aku bertemu dengan sahabat karib suami. Saat hendak pergi ke pasar. Dia sedang menservis mobilnya di bengkel dekat pasar."E-Ela. Kamu ngapain di sini?""Ya mau belanjalah, Raf. Masa mau dugem, hahaha. Ada-ada saja bapak duda, nij," jawabku tak canggung.Kami memang dekat. Rafli sering berkunjung ke rumah. Orangnya asik diajak bergibah. Dekat dengannya, aku merasa muda lagi. Seakan berbincang dengan sahabat semasa kuliah."Bisa aja, La. Udah kepala empat, masih suka ngelawak.""Biar awet muda Pak Duren."Itu
"Ma-maksud kamu apa, Nak? sudahlah, lupakan masalah status wa Ayah. Dia pasti salah kirim. Paling itu rekan kerjanya.""Gak usah ngelak, Mah. Awa udah gede. Paham tentang masalah kaya gini.""Hehehe, sudahlah. serius amet ngomongnya, kaya pejabat negara. Nanti pala kita botak lagi. santai aja, Awa. Mamah baik-baik aja." Aku rangkul anakku. "Awa sudah tau semuanya Mah. Ayah selingkuhkan sama nenek sihir yang namanya Nadia."Mataku membeliak tak percaya. Sejak kapan Zahwa tau semuanya. Kenapa selama ini dia nampak biasa-biasa saja? ternyata anakku menyimpan beban masalah orang tuanya. Dia tetap tegar. Semoga anakku memang kuat, bukan pura-pura menerima. Namun, melampiaskan kekecewaannya dengan jalan yang salah. Seperti pergaulan bebas, apalagi ... Ya Tuhan, hilangkan pikiran negatifku."Awa tau dari mana?""Tak penting Awa tahu dari mana. Bagus kalau Mamah sudah tahu. Kita bisa susun rencana untuk memberi pelajaran pada Ayah dan nenek gayung itu," serunya penuh kilat kebencian."Sayan
"Hahaha, Ayah, ko, tegang gitu? kaya ketauan poligami aja.""Ma-mah, lebih baik Nadia suruh pulang aja. Gak enak sama tetangga," bujuk suamiku.Raut wajahnya masih tegang. Suamiku ini, bernyali melempem saja, berencana punya dua istri. Padahal, aku belum cakar-cakaran dengan Nadia. Namun, Suamiku sudah panik setengah mati."Gak papa, Ayah. Cuman semalem doang. Sekalian Ayah bernostalgia. Mbak Nadia ini 'kan sahabat sekaligus mantan Ayah pas SMA.""Betul itu, Mas. Istrimu ini sangat baik. Dia tak akan cemburu, meskipun kita punya kisah masa lalu," jawab Nadia penuh percaya diri."Oh tentu, Mbak. Masa lalu 'kan sudah berlalu. Yang terpenting, aku istri Ayah. Kami juga sangat bahagia. Benar tidak Ayah?"Aku yakin, Nadia curiga kalau aku mengetahui perselingkuhannya. Dia terus memancing. Agar membongkar apa yang aku ketahui tentang mereka."Ya pasti bahagia dong. Apalagi ada Awa."Putriku datang, langsung memposisikan diri di tengah. Merangkul aku dan Ayahnya. Nadia mengungkapkan cemburu.
"Arrgh! tikus ....""Tolong ...."Brak!Nadia berteriak nyaring. Disusul suara pintu yang dibanting. Lalu, benda kaca yang jatuh. Isi kepalaku membayangkan ekspresi ketakutan Nadia yang sangat lucu. Rasanya geli sendiri, jika diposisinya. Sekujur tubuh di peluk bahkan di cium tikus-tikus kecil. Zahwa mengikuti tingkahku yang konyol dan aneh. Hebat sekali dia, bisa memikirkan rencana sekeren ini. Beruntung, anakku tipe gadis tangguh. Dia bahkan berani menghamburkan sepuluh tikus sekaligus di dalam selimut Nadia."Mas Ilyas, ada tikus," teriak Nadia masih menggema."Mah, kayanya Ayah udah bangun dan nyamperin nenek gayung. Ayok, kita lihat. Awa gak sabar lihat ekpresinya. Pasti rambutnya awut-awutan.""Masa sih, Nak? gak mungkinlah. Paling kamar tamu kita yang berantakan.""Ih, mamah gak tau, ya. Tadi tuh, Awa sudah siapkan satu tikus kecil alias bencil, yang unyu-unyu, di atas kepalanya.""Astagfirullohaladzim, hahaha," tawaku pecah seketika. Inginku guling-guling, sambil cekikikan se
POV Ilyas"Hahaha, Tante cantik kalah. Ayah lebih sayang kami. Sana pulang Tante. Jam tiga pagi gini, masih ada go car, ko," sahut anakku.Nadia memang ceroboh. Dia menggali kuburannya sendiri. Seenaknya menginap di rumahku, dan malah membongkar skandal kami.Sia-sia aku menyembunyikan pernikahan ini. Aku sudah menyimpannya serapat mungkin. Tak ada orang terdekat yang tahu. Bahkan, Rafli saja tidak tahu soal pernikahan siriku dengan Nadia. Namun, aku kaget ketika istri dan anakku mengaku mengetahuinya. Mereka tahu dari mana? nanti, aku akan menanyakannya pada Rafli."Nadia, cepat pergi!" "Mas kamu apa-apaan, sih? gak bisa seenaknya ngusir kaya gini. Aku juga istri kamu, Mas.""Berisik, pergi cepat!""Bagaimana Mbak, sakit dibentak? aduh, aduh. Mangkanya kalau punya muka cantik, hatinya jangan burik. Jadi, sakit deh," ucap Ela. Heran, anak dan istriku sama sekali tak menitikan air mata, ataupun ngamuk-ngamuk seperti di sinetron televisi. Hanya ada raut dongkol. Apa mereka memang mene
POV Ela"Gitu, dong, Yah. Makasih, tanda tangannya."Segera aku rebut surat-surat yang sudah ditanda tangani. Ini bukan hanya lembaran rapot. Namun, ada surat perjanjian jual rumah yang sudah aku selipkan. Aku sengaja menjualnya pada sahabatku. Rumah ini termasuk harta gono gini, karena dibeli setelah kami menikah. Jadi, saat menjualnya, aku harus mencantumkan tanda tanganku dan Ayah. Uang hasil penjualannya akan aku gunakan untuk membuka usaha. Meskipun, aku masih tak tahu, bisnis apa yang cocok untukku. Setidaknya, dengan uang satu milyar hasil penjualan rumah, bisa digunakan untuk menyambung hidupku dan Zahwa."Tumben, bilang makasih segala, Mah. Itukan cuman rapot.""Hehehe, emang kenapa sih, Yah. Kali-kali Mamah berterimakasih karena Ayah sudah berjuang mencari uang. Sampai anak kita bisa sekolah.""Oh, gitu. Gimana kalau Ayah ikut nganterin Mamah ke Surabaya. Sekalian mampir ke rumah Bapak. Nanti ayah minta libur ke kantor tiga hari.""Gak usah Ayah. Besok Ayah kerja dulu. iNan