“Bram, tunggu! Kau harus dengarkan aku!!” panggil Widi, istri dari Bramasta Araya yang merupakan gitaris handal dengan terburu.
“Apa?” tanya Bram dengan nada tak bersemangat.
“Kau harus lihat ini,”
“Apa?” ulang Bram yang sudah siap naik pentas untuk konser terakhirnya di tur 7 kotanya kali ini. “Aku tak punya banyak waktu, katakan cepat!”
“Kita harus mempersiapkan acara 3 bulanan anak kita,”
Wajah Bram langsung berkerut mendengar permintaan istrinya itu. “Kenapa harus ada acara seperti itu?”“Ayahku yang minta! Kita harus merayakan kehamilanku ini. Kau tak boleh tak datang,”
Hah!
Bram menghela nafasnya berat lalu menggelengkan kepalanya. “Kenapa urusan begini kau tanyakan sekarang,”“Ayahku yang minta, kita tak boleh tak menjalankan tradisi ini,”
“Hah! Kau pasti bercanda,”
“Tidak! Aku tak bercanda. Acara ini sakral untuk ayahku, jadi kamu harus pulang mempersiapkan semua ini!”
“Ih! Sejak kapan urusan tak penting seperti itu harus jadi urusanku?!”
“Aku tak mau tau, kita harus menuruti permintaan ayahku. Aku sudah hamil 3 bulan, ini saatnya fans-mu tahu soal pernikahan kita! Kalau tidak keluarga besarku bisa marah padamu dan tak akan memberikan restu mereka!”
Bukannya berbahagia atas kabar yang baru dia dengar, Bram justru membekap mulut Widi dengan tangannya yang kasar kemudian mendekatkan bibirnya ke daun telinga kekasihnya yang seketika jadi ketakutan.
“Kau harus diam. Jangan apa yang tau soal ini!”
“Eh!”
“Kalau ada yang tau aku akan merusak masa depanku dan kau taukan apa jadinya,” ancam Bram dengan wajah yang seketika jadi serius.
“Ih!” Widi berusaha melepas bekapan suami sirinya itu namun tak bisa. “Ini permintaan ayahku!”
“Iya, kau tak mau aku sampai kita tak punya masa depan untuk anak itu kan?!” Bram semakin marah.
Widi mengangguk lalu meraih tangan Bram yang semakin erat menyumbat mulutnya dan saat Bram melonggarkan tangannya, Widi melanjutkan kata-katanya, “aku bisa dinego. Pokoknya kamu bertanggung jawab atas anak ini. Aku cuma tak mau anakku lahir tanpa ayah,”
“Bagus!” Bram tersenyum tipis membuat Widi percaya kata-kata gitaris tampan ini.
“Tapi kalau kau sampai lari, kau juga tau apa yang akan aku lakukan, kan?!”
“Apa?” Bram melebarkan kembali matanya.
“Aku akan katakan ayahku kalau kau pengguna narkoba dan kau tau apa yang bisa dilakukan ayahku selaku pemilik perusahaan rekaman tempatmu bernaung!”
Deg!
Jantung Bram seperti ditikam sembilu. Dia sungguh tak menyangka jika wanita yang dinikahi secara sini ini ternyata bisa juga membuat dadanya sesak.“Bagaimana? Kau mau main-main denganku?” tanya Widi membuat Bram hanya bisa menghela nafasnya.
“Iya, aku pasti akan datang dan memenuhi permintaan ayahmu untuk menjelaskan statusmu di hadapan fansku,” bisik Bram lagi. “Pokoknya ijinkan dulu aku menghabiskan kontrak kerja dengan promotor dulu. Setelah kontrak tur kali ini selesai, aku pasti akan katakan soal pernikahan kita!”
“Bagus! Sekarang kembalilah ke konser dan aku tunggu semua janjimu atau ancamanku akan rasakan akibatnya,”
Bram mengangguk tanda setuju lalu membiarkan Widi pergi dari hadapannya dan sesaat kemudian pria tampan ini pun mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali menuju backstage.
Memang setahun terakhir, gitaris kenamaan ini sedang mereguh kejayaanya dan tentunya Widi, putri yang merupakan putri tunggal pemilik perusahaan rekaman yang memiliki peran besar dibalik semua ini.
Dia bersama Band kampusnya, D’Klok mendapatkan kontrak eksklusif dari terbesar di Indonesia membuatnya mendapatkan kesempatan konser di banyak kota di Indonesia dengan perjanjian selama tour berlangsung Bram tak boleh terikat pernikahan dengan siapapun.
Tentu dia tak mau merusak kesempatan ini sehingga meminta dengan sangat pada Widi untuk merahasiakan pernikahannya meski itu membuat keluarga besar istri rahasianya marah besar.
“Bram kau harus siap,” bisik Kholil, manager band yang sudah siap di tangga menuju panggung.
“Iya, siap!” seru Bram seperti biasa.
Konser dimulai dan riuh penonton mulai terdengar.
Pria yang memang senang jadi center of attention itu mulai memainkan gitarnya dengan ciamik hingga teriakan para groupies mulai menggelegar membuat semangat Bram semakin menggila.
Tubuhnya memang lelah tapi semua teriakan itu membuat semangatnya kembali menggebu.
Satu jam pertama telah Bram jalani dan ini waktunya dia beristirahat di backstage. Dengan langkah gontai Bram melangkah turun dari panggung lalu mendekati kursi tunggu.
“Bram!” panggil kru yang memberi kode pada gitaris ini. “Masuk ke toilet, teman-temanmu sudah di dalam,”
“Siap?!” tanya Bram lalu mendekati pintu toilet yang berjarak beberapa langkah dari tempat duduknya.
Dia tak menyangka jika gerak-geriknya sedang diawasi sepasang mata elang yang sudah siap mencari bukti akan ketergantungannya pada benda haram yang selama beberapa bulan ini sudah menjadi teman baiknya.
Krek!
Bram kemudian masuk ke dalam toilet tempat teman-temannya sedang asik dengan benda haram ‘sabu’ yang memang biasa mereka gunakan untuk menjaga stamina.“MMM! Fly!” bisik teman Bram sambil menatap langit-langit toilet. “Kelihatannya kau lelah, Bram. Gak mau nyoba,”
Bram menggelengkan kepalanya lalu memiliki duduk bersandar tembok untuk menopang punggungnya yang lelah. “Aku tidur saja sebentar. Habis itu kita selesaikan konser ini,”
“Cupu!” teriak rekan band Bram yang laluin lalu terkekeh.
Bram memang tau teman-temannya menggunakan benda haram ini, tapi meski tau efeknya akan membuatnya sangat bersemangat, tapi pria baik ini memilih hanya jadi penonton setiap kali teman-temannya menggodanya.
“Geng, cepat!” panggil kru backstage sambil menggedor pintu karena gitaris ini tak juga keluar dari kamar mandi. “Jangan lama-lama, kita harus kembali konser!”
Bram terperanjat, dia segera mengumpulkan kesadarannya dan bangkit. “Ah, aku terlalu terlama di sini,” bisiknya sembar melangkah keluar dari toilet.
“Kenapa, Bro?” tanya kru yang menggedor pintu.
“Aku pusing, tapi aku sudah lebih baik,” kekeh Bram lalu meraih gitar yang diletakkan di atas kursinya kemudian menghadap ke cermin ruang tunggu berukuran besar.
“Kau yakin kau siap?” goda teman Bram lalu terkekeh.
“Mmm! Aku sudah siap,” tambahnya lalu menegakkan punggungnya yang pegal.
“Yakin kau sudah siap?” tanya kru backstage sekali lagi sambil menepuk-nepuk bahu Bram dengan kuat.
“Siap! Kau tak usah khawatir!”
“Bagus kalau kau sudah siap!” Kru menepuk bahu Bram sekali lagi kemudian menuntun langkah Bram yang masih belum sepenuhnya sadar menuju panggungnya malam ini.
Malam itu, Bram menutup konser dengan sangat indah. Semua penonton mengelu-elukan namanya membuat tak ada lagi orang yang meragukan kepiawaiannya dalam memainkan senar gitar.
Setelah malam itu, Bram segera bergegas pulang, dia terlalu lelah dengan hingar bingar pekerjaannya hingga butuh tempat untuk pulang.
“Kau pulang kemana?” tanya supir yang membawa mobil band dini hari itu.
“Aku pulang ke rumah nenekku saja,”“Tak ke rumah Widi?”
“Tidak! Aku lelah, aku butuh tempat yang tenang untuk tubuhku,”
“Baik, terserah kau saja kalau begitu!” Supir kemudian mengarahkan mobil ke sudut Kota Bandung tempat rumah nenek Bram berada. “Tar kalau Neng Widi tanya aku bilang kalau kau tidur di rumah nenekmu ya,”
“Iya, aman! Dia mana mungkin cemburu pada neneku,” kekeh Bram sambil bersandar ke jok mobil yang sudah kosong karena teman-temannya sudah turun duluan.
Mobil tiba di rumah reot di pinggiran Kota Bandung, langit masih gelap saat Bram turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah wanita tua yang begitu dia sayangi.
“Enin!” panggil Bram di subuh hari saat wanita paruh baya yang merawatnya pasca perceraian kedua orang tua gitaris berbakat itu baru saja selesai sholat subuh.
“Ujang, ya?!” (Panggilan anak laki-laki dalam bahasa Sunda)
“Iya, Ening. Ini Bram. Buka pintu,” pinta Bram dan Enin segera membukakan pintu rumah sederhananya di pinggiran Kota Bandung dengan lembut.
Dia memang lebih senang tinggal di rumah sederhana ini bersama neneknya ketimbang tinggal di rumah mewah yang disewa perusahaan rekaman untuknya karena di rumah ini dia menemukan cinta sejati dari wanita tua yang selalu mendidiknya sejak kedua orang tuanya berpisah.
“Kok pulang ke sini?”
“Iya, nanti siang Bram baru pulang ke rumah Widi,” jelas Bram sambil melangkah masuk ke dalam rumah setelah pamit pada supir yang mengantarkannya.
“Sudah sholat, Jang?” tanya Enin dengan lembut.
“Mmm!” jawab Bram yang sudah tak tahan lagi dengan rasa kantuk di matanya.
“Alhamdulillah. Enin gak minta apa-apa. Ujang mau sholat aja Enin udah senang,”
“Mmm!” Bram melangkah dengan gontai menuju kamarnya lalu membaringkan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidurnya sebelum kemudian suara dengkurannya terdengar nyaring.
Melihat cucunya kembali tidur dengan wajah yang kelelahan, Enin segera kembali ke atas sajadahnya lalu menengadahkan tangannya tinggi kemudian berdoa. “Bismillah hirohman nirohim. Ya Allah jaga selalu cucuku. Aku yang salah mendidik putriku ini tak ingin semua kesalahan putriku terulang pada Bram yang masih muda belia. Ya Allah kabulkanlah,”
Tilulit!
Ponsel Bram berdering dan matanya segera membaca pesan singkat dari Widi.‘Tidur nyenyak, Sayang. Ingat kau punya tanggung jawab dirahimku. Ok kau tak pulang sekarang, tapi besok hadapi ayahku untuk rencananya,”
“Cuih! Dasar betina. Tak bisa apa dia tak usah mengingatkanku untuk hal yang menyebalkan itu!” kesal Bram lalu mematikan ponselnya dan kembali mencoba tidur, hal yang sangat mahal baginya saat ini. “Menyesal aku menikahi wanita bawel itu. Mentang-mentang ayahnya pemilik perusahaan rekaman di tekannya aku terus,” tambah Bram sambil mencoba menutup matanya yang memang sudah sangat mengantuk.
Enin yang baru selesai sholat dan mendengar perkataan Bram lalu melangkah mendekati pintu kamar cucunya yang terbuka. Sesaat matanya melirik ke arah Bram yang wajahnya pucat.
Sudah seminggu ini wajah pucat itu jadi perhatian, tapi sungguh Enin tak berani bertanya banyak pada pria yang sangat dia sayangi ini.
“Apa dia sedang sakit, ya? Belakangan ini dia tidur terus,” gerutu Enin sambil terus memperhatikan cucu satu-satunya itu. “Apa aku tanyakan pada perawat kelurahan saja, ya?”
Kecurigaan ini memang pantas diucapkan, maklum cucunya jadi sering mengeluh sakit kepala, mood swing dan yang paling parah dia selalu tidur dalam waktu yang lama. Dia bisa tidur 13 jam sehari dengan keluhan yang selalu sama, yaitu lelah.
Enin yang khawatir akhirnya pergi ke puskesmas tanpa sepengetahuan Bram untuk menanyakan pada perawat tentang keadaan cucunya tanpa membawa Bram.
Perawat yang sudah kenal Enin kemudian memberikan multivitamin pada wanita paruh baya itu untuk diberikan kepada Bram sebagai pengobatan awal.
Setelah konsultasinya, Enin kemudian kembali ke rumahnya untuk bertemu dengan cucu kesayangannya itu.
“Jang,” panggil Enin sambil mengguncang bahu Bram yang sudah tidur hingga jam 12 siang. “Ujang udah tidur kelamaan. Bangun, Jang. Sholat Dhuhur dulu!”
“Mmm!” Bram mulai bergerak lalu membuka matanya perlahan. “Badan Bram sakit semua,”
“Ujang, Sayang. Ini Enin bawakan multivitamin dari puskesmas. Kata perawat, Ujang pasti kelelahan,”
“Hah!” Mata Bram melebar. “Kenapa Enin pergi ke puskesmas? “ Bram langsung memasang wajah tak senang.
“Eh! Memangnya kenapa kalau Enin ke puskesmas?”
“Jangan, Nin! Jangan!”
“Iya, tapi kenapa?” Enin merasa sangat heran.
“Hah! Enin cerita apa?” Bram terus memutar otak agar eninnya tak bercerita banyak pada siapapun tanpa membuat neneknya ini curiga.“IH! Orang Enin cuma bilang kamu sering kelelahan aja, gak ngomong yang lain.”“Benar?!”“Ya, bener, atuh. Masa Enin bohong. Memangnya kenapa? Takut amat?” Enin kembali melihat keanehan di diri cucunya itu.“Mmm!” Bram memejamkan matanya berusaha terlihat tenang. “Enin jangan bilang siapa-siapa soal Bram. Bram ini kan artis, ya. Jadi harus hati-hati. Cuma takut kalau ada yang kepo terus bikin hoax,”“Iya, Enin juga paham. Jangan takut kelewatan gitu. Ujang banyak-banyak istigfar. Enin teh sayang ke Ujang. Masa Enin tega nyebar-nyebarin berita yang bikin Ujang kena masalah,”Bram tersenyum simpul pada Neneknya dan berusaha menganggap semuanya baik adanya.“Tapi emang Ujang Cuma kelelahan, kan?”“Kenapa Enin bilang gitu?” Bram yang baru saja merasa tenang kembali merasa insecure.“Soalnya namanya artis kan banyak godaannya. Enin cuma gak mau, Ujang teh keper
“Dengar Enin dulu, Bram!”“Tapi, Nin!” Bram kembali terlihat cemas. “Sudah! Tak usah takut. Enin akan ada di sisimu, Jang. Tak apa, ya Enin bukakan pintu untuk mereka?” “Kamu harus tanggung jawab, Jang. Kamu tau kalau kamu salah kan,”Bram memanggil yakin dan Enin kemudian berdiri menuju pintu untuk menyambut tamunya. Dengan berani Enin kemudian membukakan pintu. “Selamat siang, kami dari kepolisian. Benar Bramasta Araya tinggal disini?” sapa seorang polisi berbaju preman yang tersenyum ramah pada nenek tua itu. “Benar, Pak. Cucu saya ada di dalam,” tegas Enin lalu membuka pintu rumahnya lebar untuk tiga orang anggota polisi yang berdiri di depan pintu rumahnya.“Terima kasih kerjasamanya. Kami harus bawa Bram ke kantor polisi sekarang,”“Iya!” Enin meraih tangan polisi yang berjalan paling awal. “Pak, tapi Ujang Bram saya jangan digebugin, ya!”“Digebukin?” Polisi itu menatap Enin dengan wajahnya yang tertunduk.“Iya, Pak. Enin sayang sekali sama ujang sholeh ini, mungkin dia nak
“Kami rasa cukup,” tutur polisi kemudian meminta rekanya membawa masuk kembali Bram dan teman-temannya ke ruang tahanan sementara.Riuh para wartawan yang masih ingin mewawancarai semua anggota band itu terdengar, mereka terus menyalakan lampu blitz kamera untuk mendapatkan gambar yang mereka butuhkan yang harus tayang hari ini juga.Saling dorong terus terjadi hingga akhirnya Bram masuk ke dalam ruangan dimana dia dan keempat temannya yang lain selain Kholil sudah masuk.“Karir kita usai,” bisik Bram dengan mata terpejam sembari membayangkan masa depannya yang kini jadi suram karena pengaruh buruk managernya.“Iya, tapi ya mau gimana lagi, Bro. Kalau gak gini kita tak akan pernah kuat menghadapi konser berjubel yang sudah kita tanda tangani bersama,”“Kau benar,” sahut Bram mengingat kembali jalur karir musiknya yang memang begitu padat sehingga untuk bisa tidur nyenyak saja sangat sulit bagi mereka.“Kalian siap-siap ke RSKO!” seru Swarna memasuki ruangan tempat Bram berada.“Apa se
“Pasti! Ayahmu boleh kabur dari tanggung jawabnya. Ibumu boleh menolakmu, tapi percaya sama Enin, cinta Enin mah tulus untuk Ujang. Enin gak akan ninggalin Ujang asal ujang tetap sayang sama diri ujang,”Bram kembali meneteskan air matanya, ketulusan wanita paruh baya ini sungguh membuatnya semakin merasa jika hidupnya kini hanya pantas dipersembahkan untuk Enin.Dia terus memohon kepada Allah semoga tubuhnya yang begitu rapuh ini bisa kembali mendapatkan kekuatan seperti saat semua kejadian bodoh ini belum berjalan.“Sekarang Ujang sholat. Percaya sama Enin, Cuma Sholat yang bisa membantu Ujang keluar dari semua ujian ini,”Deg! Jantung Bram serasa ditikam belati, dia teringat jika selama ini satu-satunya hal yang dia lupakan adalah menyembah tuhannya.“Kenapa?” tanya Enin melihat perubahan ekspresi wajah cucunya.“Maafkan Bram, Nin. Sepertinya Ujang lupa melakukan ini,” “Jadi Ujang teh ngak pernah sholat di RSK apa itu?”Bram melebarkan senyumnya membuat Enin semakin marah padan
"Jangan banyak menunda! Pergi sekarang!" teriak Enin pada cucunya yang tak juga bergerak dari tempatnya."I--iya. Aku akan pergi!" tegas Bram memberanikan diri.Dengan langkah gontai, Bram bergegas menuju kamarnya dan memesan taksi online yang datang tak lama kemudian. Dengan informasi dari sang nenek dia pun bergegas pergi untuk menemui istrinya yang kabarnya sedang mengalami masalah dengan kandungannya."Ini rumah sakitnya," lirih Bram setelah taksi yang dia kendarai berhenti di halaman Rumah Sakit Advent, Bandung dan dia bergegas turun setelah membayar.Baru saja langkahnya mengayun yakin memasuki rumah sakit tiba-tiba..."Hey, sedang apa kau di sini?!" teriak Dory, sepupu Widi yang melihat sosok Bram datang tanpa diundang."Dory! Hey," Bram mencoba ramah para pria tinggi besar berambut klimis itu."Hey? Hahahaha! Sapaan apa itu?""Kau di sini?" tanya Bram lalu mengulurkan tangannya.Plas!Dory menepis uluran tangan Bram yang ingin bersalaman dengannya."Kenapa denganmu?" "Kau pik
"AAH! Ayah!" teriak Widi berkali-kali dengan wajah yang begitu kesakitan.Bram bersiap untuk melangkah masuk tapi tangan mertuanya segera menariknya. "Jangan! Kau disini saja!""Tapi...""Aku tau kau berniat baik pada putriku tapi percayalah, ini akan jadi urusanku hingga cucuku lahir!""Kenapa aku tak boleh masuk?"Pria tua itu menggelengkan kepalanya cepat lalu mendorong tubuh Bram yang sangat ingin bertemu Widi disaat sakitnya. "Pergilah!"Mendengar kata yang singkat dan begitu jelas itu, Bram menatap nanar wajah Widi yang seakan sulit dia sentuh untuk saat ini, meski permintaan ayah mertuanya begitu sulit, tapi dia mengalah.Pria tampan itu memilih melangkah mundur kemudian membiarkan Hartono masuk ke dalam kamar Widi tanpa dirinya.Kepala Bram tertunduk lalu memutar badan menuju lift untuk meninggalkan Widi yang terlihat sangat kesakitan."Maafkan aku, Widi," bisik Bram menahan sakit di dadanya. Sakit! Ini sangat sakit, tak cuma karena dia tak bisa menemui Widi, tapi juga karen
“Kalau begitu kejadiannya, aku akan membantumu mencari pelakunya!” “Sungguh Ayah akan membantuku?”“Bram, kau ini bagaimana sih? Aku sekarang ini ayahmu. Aku harus mengungkap semua ini agar saat kau menduduki posisi CEO, jalanmu akan lapang!”Bram mengangguk penuh semangat mendengar janji dari ayah mertuanya itu. Diapun segera menjabat tangan Hartono berbesar hati untuk melanjutkan hidupnya yang sempat berantakan karena kasus narkoba yang menimpanya.“Kau harus semangat, Nak! Aku akan mendukungmu apapun yang terjadi demi masa depan kau dan putriku!”“Terima kasih, Ayah! Aku tau ini tak mudah bagimu tapi aku sangat senang dengan dukungan yang kau katakan barusan,”“Iya, sekarang temui Widi. Katakan padanya kau tak akan meninggalkannya lagi. Hanya itu yang aku mau sekarang,”“Baik! Aku akan menemuinya setelah jam istirahatnya selesai,”Hartono menatap menantunya itu dengan lembut berharap banyak pada pria yang kini ada tak jauh dari hadapannya. Dia terus berharap segera menemukan orang
"Nyonya!" teriak seorang perawat yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Widi yang masih begitu lemas setelah melahirkan."Ada apa?" tanya Widi dengan penuh awas. "Katakan saja,""Tapi, Nyonya!""Apa?" tanya Widi sekali lagi. "Katakan ada apa?" ucapnya penuh penekanan."Pak Hartono, kondisinya dia telah meninggal," ucapnya dengan bibir bergetar."Ayah!" tangis Widi seketika pecah dan tak ada yang bisa menghentikan. Tangisan wanita yang baru melahirkan itu segera bertaut dengan tangisan bayi Widi yang masih berada di kamar perawatannya.Semua orang yang sedang berada di sana tak berani menyentuh Widi karena mereka tau kesedihan ini tak akan bisa tergantikan oleh apapun.Setelah kesedihan di ruang perawatan Widi, beberapa orang anggota keluarga pengusaha dapur rekaman itu satu persatu mulai berdatangan.Tentu Widi butuh penghiburan namun yang ada mereka justru datang untuk menyalahkan Bram yang dianggap keluarga wanita kaya ini sebagai penyebab kematian Hartono yang sebelum kasus gitaris ta