Share

Mirip Seratus Persen

“Iya, Pak. Saya akan usahakan secepatnya!” ujarku dari sudut ponsel.

Setelah selesai berbincang dengan atasan perusahaan. Aku mendesah pelan lalu duduk di kursi dengan lemas. Apa yang harus aku lakukan? Argh, ini suatu kesialan yang sangat berarti.

“Assalamu’alaikum,” ucapan dari pintu.

Suara Mas Adji yang baru saja pulang berjualan. Males banget deh liat dia pulang kerja, apalagi bau badannya yang semerbak memenuhi ruangan, rasanya ingin muntah.

Jegleg..

Pintu kamar dibuka oleh Mas Adji. Seperti biasanya, aku menutup hidungku dengan tangan. Tak ingin aku menghirup sedikit pun bau badannya yang kecut dan pastinya sangat menyiksa pernapasan. Apalagi peluhnya yang terkucur membasahi pelipis sampai pakaiannya dan tidak lupa daki yang terlihat mengggumpal di sekitaran lehernya. Iyuu, nggak banget untukku yang selalu cantik memesona dan harum ini.

“Sayang, alhamdulillah hari ini dagangan sayur Mas laku semua.” Mas Adji memegangi pundakku.

Ku tatap penampilannya pada pantulan cermin yang berada di hadapanku. Mataku mengerjap pada tangan Mas Adji yang mana tangannya memegang kedua bahuku. Ish, kukunya hitam-hitam, kotor.

“Mas, kamu apa-apaan sih, kamu mau aku sakit?” Langsung saja aku bangkit dari dudukku, melepaskan pegangan tangan. Mas Adji yang kotor itu.

“Enggak, Nay,” ucapnya lembut.

“Enggak gimana? Itu liat aja kuku kamu, tangan, baju, muka kamu kotor semua. Belum bersih-bersih pegang aku. Gimana kalau aku terkena bakteri, jadi sakit?” hardikku dengan wajah tangan memerah seperti udang rebus.

“Iya, maafkan, Mas,” tuturnya. “Kalau gitu, Mas mau mandi dulu. “Mas Adji berlalu dari hadapanku, mengambil sebuah handuk yang tersusun rapi di atas kasur. Siapa yang merapikan semuanya? Ya, Mas Adji, aku mah mana sempat dan tidak akan mau. Mas Adji tidak pernah mempermasalahkan tentang aku yang tidak bisa masak, tidak bisa bersih-bersih rumah dan lainnya, karna dia tahu wanita karir tidak pantas melakukan itu semua.

Tas kecil selempang wadah Mas Adji menaruh uang hasil jualannya tergeletak di atas meja. Aku mengerjap pada ucapannya barusan, kalau dagangannya hari ini laris manis. Berarti, saat ini uangnya banyak, dong. Aku tersenyum licik, perlahan kubuka resleting tas selempang milik Mas Adji itu dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi.

“Wah, banyak juga ya.” Mataku berbinar indah menatap sejumlah uang yang berada dalam tas selempang Mas Adji. Warnanya beragam; merah, biru, hijau, kuning serta uang pecahan lainnya.

“Bisa, nih. Buat shopping. Hilangin stress,” aku terkekeh pelan menutup mulutku dengan beberapa jumlah uang yang ku pegang seperti bentuk kipas. Shooping Im coming!

Tapi, tunggu. Benda apa ini? Ku ambil benda keras yang hampir berbentuk persegi. “Wah, ini kan kartu debit. Punya siapa? Mas Adji kan ga punya debit. Apalagi, ini bukan kartu debit sembarangan, kayaknya punya orang kaya,” celeotehku dalam hati. Baru saja aku ingin memerhatikan sisi lainnya, tiba-tiba juga Mas Adji mengambil kartu debit itu dari tanganku.

“Anu, Nay. Ini tadi Mas dapat di jalan. Kayaknya punya orang tercecer, Mas mau ke tempat Pak RT dulu buat ngasih tahu ini,” jelas Mas Adji yang sama sekali tidak aku perduli kan. Mood yang tadinya indah, kini hancur kembali saat melihat wajah Mas Adji yang polos itu.

“Terserah lah, Mas. Aku mau shopping,” tuturku sembari menghitung uang milik Mas Adji.

“Jangan dihabiskan, ya, Nay. Mas mau buat modal jualan besok!” pinta Mas Adji menatap ke arahku yang asyik menghitung uang.

“Nih, ambil! Sama istri sendiri kok pelit.” Aku menyerahkan uang pecahan pada Mas Adji, sedangkan uang seratus ribuan serta lima puluh ribu ku ambil. Tanpa mendengar celetukannya, aku beranjak dari kamar tak lupa kuambil dahulu tas mahal milikku yang berada di atas meja kerja.

“Nay, mau kemana?” tanya Mama yang baru saja selesai memasak di dapur.

“Shopping, Ma,” jawabku santai sembari menatap wajahku pada layar ponsel untuk mengoles lipstik pada bibir mungilku.

“Shopping? Ikut, dong!”

Argh, Mama paling nggak bisa denger kata shopping, pasti mau ikut aja kerjaannya. Satu lagi, Kak Andin, untung dia tidak terlihat berkeliaran di rumah, mungkin sedang tiduran di kamar. Kalau tidak, pasti wajah memelasnya akan sama seperti Mama. “Ga bisa, Ma. Naya mau shopping terus ketemu sama atasan kantor. Mama tau kan, saat ini perusahaan dalam bahaya.”

Mama memonyongkan bibirnya, “Ya sudah, pergi sana!”

“Makasih, Ma. Naya sayang Mama. Naya berangkat dulu!” ucapkan girang.

Dengan cepat aku menuju kendaraanku yang selalu terparkir di depan rumah. Kendaraan jenis matic keluaran terbaru yang dibelikan Mas Adji, secara kredit. Setiap bulan, Mas Adji harus menyiapkan uang pembayaran untuk kredit kendaraan ku ini. Aku tidak perduli, yang terpenting aku tidak terlihat seperti orang susah yang harus ke tempat kerja naik angkot. Tidak terbayang, gimana baunya dalam angkot itu, bisa-bisa aku muntah.

Dengan pakaian yang rapi serta berkelas pastinya, dengan rambut yang sedikit bergelombang dengan perpaduan warna ungu yang akan nampak jika bagian luar rambut yang berwarna hitam di kasih jepitan rambut, maka tampaklah rambutku yang berwarna ungu itu. Ala look artis yang sedang viral sekarang. Wajahku memang cantik, tak jarang para lelaki menggodaku.

Senyumku mengembang, menatap pakaian mewah yang terpampang dalam mall. Inilah surgaku, inilah napasku. Shopping, tempat perbelanjaan. Ah, rasanya beban di kepala hilang begitu saja. Aku berjalan mengitari pakaian yang tersusun indah dan rapi. Semua warna dan merk serta desain tersedia di sini.

Brug...

Aww, apa-apaan ini?

“Maaf, maaf, Mbak. Saya tadi tidak lihat. Maaf,” ucap lelaki yang sedang berdiri di depanku. Wajahnya tertutup karna sekarang dia sedang nenagkup kedua telapak tangannya yang menutupi sebagian wajahnya.

Sepertinya orang kaya. Dilihat dari pakaiannya dan barang belanjaannya yang banyak. Di sini semua mahal, orang kalangan bawah tidak akan mampu membeli meski hanya satu barang saja.

“I-iya, Pak. Tidak apa, lagian saya juga yang salah,” jawabku.

Saat tangannya menyingkir dari wajahnya. Apa? Bagaimana bisa? Kenapa bisa seperti ini?

Mulutku mengaga sempurna, mataku terbelalak tak percaya.

“Kalau begitu saya pamit, Mbak. Buru-buru.” Dia berlalu dari hadapanku.

Rahangku rasanya tak bisa mengantup lagi. Ingin menghentikan orang itu, tapi tak bisa. Bagaimana bisa ada orang yang sangat mirip wajahnya dengan Mas Adji. Tidak mungkin, ini pasti mimpi dan sebentar lagi aku akan bangun ke dunia nyata.

Tapi, ini nyata, buka mimpi. Mataku mengerjap pada sekitar. Sayangnya lelaki tadi telah keluar dari ruangan ini. Atau dia yang tadi pagi kami lihat di berita televisi? Ya ampun, bodohnya aku. Kenapa tadi tidak mengajaknya berkenalan.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status