Share

Kamu?

Kutatap wajah Mas Adji lekat-lekat, dia sekarang tertidur pulas di atas ranjang,memiringkan badannya ke arahku yang berada di sampingnya. Rasanya tidak ada celah antara dua orang ini, antara Mas Adji dengan pengusaha viral itu. Apakah mungkin, mereka orang yang sama? Argh, bodohnya aku menyamakan pengusaha terkenal dengan suamiku yang hanya bekerja sebagai pedagang sayur keliling ini.

Aku bangkit dari ranjang, lalu duduk di bangku kerjaku. Berusaha berpikir matang untuk merencanakan tugas yang baru diberikan atasan tadi sore. Kubuka situs laman pada g****e, mencari berita tentang pengusaha yang baru saja viral. Kuketik pada pencarian “Kusuma Adjipto Saherza” dan seketika pula munculah foto pengusaha yang sedang viral itu. Ku screenshoot beberapa gambar yang tertera. Dengan cekatan tanganku menggoreskan tinta pulpen pada kertas, mencatat semua informasi yang tertera pada web.

“Aduh, laper!” Aku memegangi perutku yang berbunyi tanda meminta jatahnya. Arlojiku telah menunjukkan pukul satu malam. Aku belum bisa tertidur karan kepikiran tugas dan total bonus yang akan kuterima jika berhasil menjalankan tugas ini.

Aku pun pergi ke dapur untuk mencari makanan, mungkin masih ada. Mas Adji tidak akan pernah tidak menyisakan makanan untukku jika dia tahu kalau aku belum makan di rumah. Kubuka lemari yang biasa menjadi tempat Mas Adji menyisakan makanan untukku. Benar, ada di dalamnya makanan satu piring penuh dengan lauk.

Aku pun mengambil nasi dalam rice cooker dan membawa makananku itu kembali ke dalam kamar.

“Nay, masih kerja?” tanya Mas Adji yang telah duduk di bibir ranjang.

“Iya, Mas,” jawabku datar sembari menyuap nasi ke mulutku menggunakan sendok.

“Ga istirahat dulu?” tanyanya lagi.

“Tanggung, Mas. Kamu tidur aja!”

“Ada yang bisa Mas bantu? Biar pekerjaannya cepat selesai,” tawarnya lagi.

Mas Adji, mau bantu pekerjaanku. Itu dia katakan setiap kali mengetahui aku belum tidur tengah malam karna masih sibuk bekerja. Meski setiap kali aku menghinanya karna tidak akan mungkin dia mengerti dengan pekerjaanku. Komputer? Dia tidak akan paham. Kali ini, aku ingin mengetesnya, membuktikan bahwa dia itu tidak bisa melakukan apa pun. “Bener, kamu mau bantu Naya?” tanyaku yang sebenarnya menguji.

Mas Adji beranjak dari bibir ranjang, lalu menuju ke arahku yang sedang duduk di kursi menatap layar laptop.

“Coba, apa yang bisa Mas bantu? Kali aja, Mas tahu?” ujarnya sembari memijat bahuku.

“Eum, ini Mas. Emang kamu tahu cara gunain laptop?” Sengaja laptop kumatikan, ingin kulihat bagaimana Mas Adji menggunakan laptop sembari aku mengulum tawaku.

“Eum, emangnya kamu lagi nyelesain tugas apa dari kantor?” Mas Adji menekan tombol on pada laptop. Aku terperangah, kok bisa? Kan Mas Adji ga pernah nyentuh laptop. Hiduplah laptop dan muncul foto pengusaha viral itu. Sengaja, aku mau lihat ekspresinya saat melihat orang yang sangat mirip dengannya itu. Dan pastinya aku berkesempatan untuk menghina kastanya lagi dan lagi.

Mas Adji mengangkat keningnya, menatap wajah pengusaha yang sedang viral itu. “Nay, ini siapa?” tanyanya memicingkan mata ke arahku.

“Bacalah, Mas!”

Mas Adji terlihat mengeja. “Pengusaha viral tahun ini,” ejanya. “Ganteng, ya, Nay. Mirip aku.”

Mataku membulat, baru kali ini dia memuji dirinya sendiri di depanku. Selama menikah dengannya, inilah kali pertama dia bertingkah sedemikian rupa. “Apaan, sih. Ga lah. Dia ganteng, kalau Mas Adji enggak.” Aku menarik laptopku.

“Masa sih gantengan dia? Buktinya saat ini aku yang jadi suamimu, kan? Berarti gantengan aku, dong.” Mas Adji berbangga diri.

Suasana menjadi cair, wajahku yang biasanya terlihat kecut saat bicara dengannya kini tertawa renyah. Sudah lama sekali tidak seperti ini, dulu waktu awal pernikahan kami selalu tertawa bersama. Tapi, setelah hidup bersama, dan ibu dengan Kak Andin datang tinggal di rumah kami, kebutuhan ekonomi semakin melunjak. Saat itu pula aku mempermasalahkan pekerjaan Mas Adji yang tidak mau mencari pekerjaan jauh lebih bagus dengan gaji yang tinggi pula. Tapi, mana bisa? Dia bukan manusia yang berpendidikan sepertiku.

“Nay, selalu lah tersenyum seperti ini!” Mas Adji mengelus lembut pipiku.Aku terdiam, mata kami saling menatap dalam.

“Argh, Mas. Apaan sih, sudah sana. Aku mau nyelesain kerjaanku!” Wajahku kembali seperti sedia kala, kecut.

“Kamu cepetan istirahatnya!” Mas Adji kembali ke atas ranjang dan merebahkan badannya memunggungiku.

Aku menatapnya dari bangku. Terlihat hentakan napasnya berirama. Sebenarnya ada rasa menyesal di hatiku karna selalu menghinanya, tapi entah kenapa saat aku melihat wajahnya dengan kepolosannya itu, aku malah ingin selalu menghinanya habis-habisan.

***

"Ma, Naya berangkat ke kantor!" teriakku dari depan rumah yang telah siap menunggangi kendaraanku.

"Iya, hati-hati." Mama keluar dari dalam rumah.

"Kak Andin mana, Ma? Perasaan dari kemarin siang ga nongol?" tanyaku sembari mencium punggung tangan Mama.

"Kayak ga tau sama kakakmu aja, Nay. Dia tidur di kamar setiap waktu."

"Coba Mama suruh Kakak cari kerja aja, atau cari suami yang kaya raya gitu."

"Sudah, ah. Nay cepetan berangkat ke kantor! Sudah jam berapa ini."

"Iya, iya. Naya berangkat dulu."

***

Aku tidak langsung pergi ke kantor, aku pergi berjalan-jalan dahulu dengan harapan menemukan sosok pengusaha viral itu lagi. Entah di mana? Tapi, semoga saja ketemu.

Aku berkeliling di mall tempat kemarin aku bertemu dengannya, kali aja kan dia kembali lagi ke mall ini. Setelah berkeliling sembari memilah-milih pakaian tapi tak kunjung jua aku menemukan dia lagi di sini.

"Terimakasih, Mbak," ucapku saat kasir memberikan bungkusan belanjaanku padaku. Aku memutuskan untuk keluar dari mall ini dan mencarinya di tempat lain.

Entah nasib apakah yang akan menimpaku kali ini, tapi semoga saja nasib baik yang beruntung.

Kutatap arlojiku yang telah menunjukkan pukul dua belas siang. Cuaca di luar restoran ini terlihat menyala karna panasanya sinar matahari. Aku menyeruput ice creamku yang kupesan pada restoran ini. Mencoba mencari inspirasi serta jalan agar mendapatkan ide yang cemerlang dalam menyelesaikan tugas.

"Hai," ucap seorang lelaki yang berdiri di seberang mejaku, berbaju kaos casual dengan wajah yang tertutup oleh topi.

Apa dia sedang menyapaku? Aku menengok ke kanan dan ke kiri.

"Hai, juga. Siapa ya?" tanyaku berusaha mengintip wajahnya.

"Kosong?" tanyanya menunjuk kursi yang berseberangan denganku.

Aku mengangguk membenarkan. "Iya."

"Boleh saya duduk di sini?" tanyanya lagi.

"Tentu, silakan saja!"

Dia pun duduk pada kursi itu, lalu dia mengulurkan tangannya ke arahku. "Maaf untuk yang kemarin."

"Maaf?"

"Apa kau tidak mengenaliku?" Langsung saja dia membuka sedikit topinya yang menampakkan sebagian dari wajahnya.

Aku terperangah tak percaya. "Kamu?"

Bersambung.....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Billen Loing
penasaran.... ceritanya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status