“Ru-rumah? Apa maksudmu?” Gemi menatap Nakula dengan sorot bingung.
Namun pertanyaan terakhir Gemi tidak dijawab, sebab Nakula lekas keluar dari mobil dan berputar ke sisi pintu yang lain untuk mempersilakan Gemi turun.Gadis itu menurut, dia turun dari mobil dan berdiri tegap. Wajahnya mendongak menatap sebuah rumah mewah bergaya Georgia, yang nyaris sempurna dikatakan versi mini dari sebuah istana Eropa.Rahang Gemi jatuh. Dia menatap pemandangan itu dengan ekspresi syok.“Ayo masuk, Nona.” Nakula tiba-tiba saja memimpin jalan ke depan, sementara Gemi yang baru saja sadar dari keterkejutannya langsung mengejar pria itu.“Tunggu! Nakula, apa maksudmu? Rumah ini milikmu? Kamu mau membohongiku, ya?”Langkah kaki Gemi yang lebih pendek nyaris kesusahan mengejar Nakula. Lantas dia terpaksa berlari lebih cepat, tidak memedulikan fakta bahwa dirinya sedang mengenakan sepatu hak tinggi.Karena diliputi syok dan bingung, Gemi jadi tidak hati-hati sehingga ujung sepatunya terantuk kerikil kecil. Gadis itu limbung ke depan, nyaris ambruk mencium tanah. Namun untungnya Nakula memegangi lengannya tepat waktu.“Ups, hampir saja,” desis Nakula, lega. “Anda tidak papa, Nona?”Cengkeraman tangan Nakula kuat, tetapi terasa lembut. Pria itu membantu Gemi menegapkan tubuh lalu memeriksa kondisinya. Tatapan mata memindai Gemi dari ujung kepala hingga kaki, sementara tangannya yang hangat masih memegangi pundak gadis itu.Pria ini berdiri begitu dekat, sehingga untuk sekilas saja, Gemi dapat mencium aroma kayu dan rempah manis yang menguar dari tubuh Nakula. Tiba-tiba saja dia mengingat momen pernikahannya beberapa waktu lalu; ciuman itu.Namun, sinyal kebuasan dalam kepala Gemi mengetuk kesadarannya lagi. Gadis itu langsung merasa malu sekaligus gengsi karena membiarkan dirinya terlena dengan pengawalnya sendiri.Akhirnya dia melayangkan protes ke Nakula sambil mendorong tubuh pria itu agar menjauh; “Nggak papa matamu! Dari tadi kamu mengabaikan panggilanku, dasar sial!”“Maaf, saya hanya ingin Anda cepat masuk rumah karena cuaca sangat dingin.” Lalu Nakula tiba-tiba menekuk lengan kirinya dan menghadapkannya pada Gemi, seolah berharap gadis itu akan menggandengnya. “Kalau begitu, ayo. Sekarang saya temani Anda masuk.”Gemi terpaku, secara tidak sadar pipinya merona karena Nakula bertingkah sebagai seorang pasangan. Mulanya dia ogah menerima ajakannya, tetapi saat Gemi melangkah, tubuhnya nyaris terjungkal lagi karena hak tinggi sepatunya hampir copot.“Sepatu keparat,” desisnya.Nakula terkekeh tipis, tetapi langsung pura-pura diam saat Gemi menatapnya sengit. “Sudah saya bilang, ayo pegang tangan saya.”“Ingat ya, aku begini bukan karena mau terlihat mesra.” Gemi mencibir sambil memasang wajah kesal.“Percayalah, Nona. Orang-orang di dalam rumah saya tidak akan peduli soal itu.”"Orang-orang?” Gemi menghentikan langkah dan mendongak pada Nakula. “Hei, pengawal. Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Memangnya rumah ini sungguh-sungguh milikmu?”"Ini warisan dari orang tua saya,” Nakula menjawab tenang.“Kamu ini… memang orangtuamu sekaya apa? Siapa mereka?”Nakula tidak menjawab, dan Gemi menjadi dongkol. Akan tetapi gadis itu tetap mencecarnya dengan pertanyaan, “Lalu orang-orang yang tadi kamu maksud itu siapa, hah? Apa di rumah ini ada orang selain kamu?”“Tentu saja ada,” kata Nakula.Tanpa terasa mereka sudah naik ke undakan rumah dan berdiri di serambinya yang mewah dan mengilat. Gemi kebingungan sejenak. Dia mengguncang lengan Nakula untuk meminta perhatian, bersamaan dengan pintu depan yang tiba-tiba terbuka dari dalam.Rupanya seorang pria tua berseragam formal membuka pintu tersebut untuk mereka.“Selamat datang, Tuan dan Nyonya Yudistira.” Pria itu tersenyum ramah menyambut keduanya. “Mari masuk ke dalam. Semua pelayan sudah menunggu Anda berdua.”Nakula menunduk memandang Gemi yang masih menampakkan raut wajah syok. “Beliau adalah Pak Janu Wirawan, ketua para pelayan di rumah ini. Mari masuk.”Gemi tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. Dia membiarkan dirinya digiring masuk ke dalam foyer ruangan berisi hampir selusin pelayan perempuan dan laki-laki yang berbaris di sisi kanan dan kiri, seraya membungkuk kepada mereka berdua. Semua pelayan mengenakan pakaian seragam berwarna merah dan emas, senada dengan nuansa rumah Nakula yang begitu megah.Rumah Gemi sebetulnya hampir sama megahnya dengan rumah Nakula—kendati dia harus mengakui pelayan di rumahnya tidak sebanyak dan sededikatif ini. Akan tetapi yang paling membuat Gemi tidak menyangka adalah fakta bahwa pengawalnya memiliki semua akses kemewahan ini.Sikap Nakula anehnya juga sedikit berbeda ketika dia sudah berada di rumahnya. Biasanya pria ini akan bersikap lembut dan melayani Gemi seperti seorang putri. Akan tetapi, di tempat ini, Nakula justru bagaikan pangeran yang lahir dari bejana emas. Dialah yang menerima pelayanan, dimanjakan, dan dianggap istimewa oleh semua orang.Para pelayan mendekati Gemi dan Nakula lalu meminta barang-barang bawaan mereka dengan sopan. Nakula membiarkan seorang pelayan membukakan jas yang dikenakannya dan melonggarkan kancing di bagian lengannya. Bahkan ada seorang pelayan yang menunggu Nakula dan Gemi melepas sepatu untuk dibawa pergi.Gemi menjadi merinding sekaligus takut. Apa-apaan pelayanan ini? Dia tidak sedang berada di dalam istana kerajaan, bukan?“Nona Gemi.” Nakula tahu-tahu berpaling padanya. Dia tidak tersenyum. Wajahnya menunjukkan ketenangan dan keanggunan seorang pangeran. “Ayo kita ke kamar.”Kamar Gemi rupanya telah disiapkan di lantai dua, bersebelahan dengan kamar utama milik Nakula. Ruangan di dalamnya, megah dan mewah seperti biasa.Gemi kembali dibuat shock, sebab ukuran kamarnya di sini dua kali lipat lebih besar dari kamar Gemi di rumah orang tuanya. Namun gadis itu berusaha tenang dan kalem. Dia berputar menghadap Nakula yang ikut masuk ke kamar.“Nah, Nakula….” Gemi melipat tangannya di depan dada dan bersikap angkuh seperti biasa. “Sepertinya sejak dulu aku sudah tertipu dengan penampilanmu. Melihat bagaimana pelayan di luar sana memperlakukanmu, aku semakin curiga bahwa kamu bukan orang biasa. Sebenarnya siapa kamu, hah? Mengapa kamu menipuku?”“Saya sama sekali tidak bermaksud menipu Nona.”“Aaagh, terserah! Cepat katakan terus terang! Untuk apa orang kaya sepertimu menjadi pengawal anak menteri sepertiku, hah? Jangan-jangan ini salah satu rencanamu untuk melakukan kejahatan, ya? Kamu pasti punya niat licik, bukan?”Diamnya Nakula membuat Gemi dibanjiri cemas. Ragu-ragu, Gemi bertanya dengan lirih;“Aku benar, ya? Kamu… sungguh-sungguh punya rencana jahat pada keluargaku?”‘“Kamu sungguh-sungguh punya rencana jahat pada keluargaku?”Nakula menatap Gemi dengan raut penuh teka-teki. Rahang pria itu mengeras, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu di ujung lidah. Akan tetapi tatapannya terlihat redup dan sayu, bukan raut penuh ancaman seperti yang diwaspadai Gemi. Sebenarnya apa niat pria ini? Emosinya sama sekali tidak terbaca, dan itu membuat Gemi kesal. “Hei,” Gemi menggerutu kali. “Kalau sampai kamu punya niat buruk pada keluargaku, aku enggak akan diam saja. Kamu pikir karena aku perempuan, aku enggak bisa melakukan pembalasan pada pengawal rendahan sepertimu?”Rendahan? Kata itu terdengar salah. Gemi sekejap merasa malu, tetapi berusaha tidak mengoreksi ucapannya dan tetap bersikap angkuh. Pokoknya dia tidak boleh terlihat lemah di depan Nakula. “Saya sama sekali tidak memiliki niat buruk.” Nakula membalas singkat. “Bohong!” Gemi menyulut protes. “Kalau kamu lahir dari keluarga yang begini kaya, untuk apa kamu melamar menjadi pengawal di keluarga
Makan malam di rumah Nakula menjadi momen pertama yang menggelisahkan. Gemi harus memaksa dirinya tenang ketika melihat para pelayan tiada habisnya datang sambil membawa piring-piring makanan. Salah seorang di antara mereka bahkan bertugas mengisi gelas Gemi yang kosong. “Aku akan melayani diriku sendiri,” kata Gemi yang sudah tidak tahan lagi melihat pelayan itu mondar-mandir di sekitarnya. Nakula yang menangkap kejengkelan di mata Gemi berkata, “Anda tidak suka dengan pelayan saya? Ingin menggantinya?”Saat mengatakan kalimat terakhir, raut wajah sang pelayan yang dimaksud Gemi langsung merengus panik. Dia menunduk sopan sambil perlahan melangkah mundur. “Bukan gitu. Aku hanya enggak biasa dilayani sampai seperti ini.” Gemi berkata terus terang lalu secara halus mengusir pelayan di sampingnya dengan lirikan mata. Dia kembali menatap Nakula yang memberinya pandangan datar, kemudian terbit kejengkelan yang lebih besar. “Nakula, aku penasaran dengan sesuatu.”“Silakan tanyakan apa pu
Situasi sungguh tidak terkendali. Setelah seorang pelayan mengadukan penemuan mayat kepada Nakula, pria itu mendesak maju ke dapur untuk membuktikan kesaksian itu. Nakula menyalip beberapa pelayan yang berdiri di dekat konter dapur, lalu menatap lantai di bawah wastafel cuci, tempat seorang pelayan perempuan muda terbujur lemas di antara kepingan piring yang pecah dan makanan yang tumpah. Kulit pelayan itu telah berubah menjadi kebiruan, dan muncul busa dari sudut mulutnya. Matanya membelalak ngeri seolah dia meregang nyawa dalam keadaan tersiksa luar biasa. Gemi menjerit syok. Tubuhnya gemetar sementara dia melihat Nakula berlutut di samping sang pelayan untuk memeriksa laju napas dan denyut nadinya. “Dia sudah tewas,” kata Nakula, seketika mengundang sentakan kehebohan dan jerit mendalam dari semua orang yang berdiri di sekitarnya. Diselingi rasa takut dan bingung, Gemi menghadap para pelayan lain dan berkata, “Gimana ceritanya dia bisa meninggal?”“Saya yang pertama menemukanny
Setelah menyaksikan insiden mengerikan di dapur tadi, dan mendengarkan betapa ricuhnya pihak yayasan rumah sakit yang datang untuk mengautopsi mayat tersebut, Gemi diserang rasa gelisah sampai tidak bisa tidur. Nakula masih keluar karena sedang berbicara bersama pihak forensik, tetapi Gemi di sini sudah kepalang rindu—bukan, maksudnya menunggu-nungu kedatangan Nakula lantaran dia takut sendirian. Dan setelah berlama-lama merenung, Gemi mendengar pintu kamarnya dibuka. “Nona. Kenapa Anda belum tidur?”“Enggak papa. Gimana tadi tentang obrolanmu? Kamu dapat informasi dari para petugas forensik?”“Racun arsenik,” kata Nakula selagi dia duduk di sebelah Gemi. “Ada di dalam kue kering yang disediakan untuk Anda. Pelayan itu memakannya dan efeknya langsung muncul dalam beberapa detik. Racun itu menyumbat pernapasan dan melumpuhkan otak—salah satu dari jenis racun terampuh untuk membunuh korbannya sebelum dia bisa dilarikan ke rumah sakit.”Gemi mengusap wajah dengan frustrasi terkejut d
Suara alarm dari jam digital Nakula berbunyi. Bukan bunyi melengking tajam yang merusak telinga, melainkan alunan musik klasik yang mengalun lembut. Gemi menguap lebar, menguburkan wajahnya lebih dalam, lalu menghirup aroma manis yang hangat.Gemi mengusakkan hidungnya pada sebuah permukaan yang tidak asing. Bukan seprai maupun bantal. Namun aromanya enak dan suhunya hangat. Gadis itu menempelkan pipinya dan berpikir lama. Bau ini… dia mengenalnya. Rempah manis yang harum. Perpaduan antara kayu dan cendana yang lembut sekaligus tajam. Mengapa Gemi bersandar di sini? Di … mana? Di mana dia bersandar? Gadis itu membuka mata perlahan, lalu terkejut setengah mati saat mengetahui kepalanya mendarat di dada Nakula yang masih tertidur. “Si-sial!” Gemi buru-buru menjauhkan wajah dari tubuh Nakula, berusaha menormalkan gejolak jantungnya yang bergemuruh kencang. Mengapa dia tidur bersama pria ini? Bukankah semalam Gemi berbaring di atas kasur? Gemi segera mendongak dan mendapati kasur yang t
Suara keletuk sepatu Gemi menggema di seantero lorong rumah Nakula yang megah. Gadis itu berhenti di depan sebuah dinding ruang tengah yang memajang potret foto keluarga Nakula yang lengkap. “Jadi ini keluarga Nakula?” Gemi mendongak menelusuri setiap wajah yang terpampang di potret tersebut. Pak Janu, yang sejak tadi berdiri di samping Gemi, mengangguk. “Betul, Nona.”Gemi diam-diam menyumpah serapah dalam hati lantaran potret keluarga ini berhasil membuat sekujur tubuhnya merinding. Bukan karena wajah-wajah di dalam potret ini mengerikan, melainkan sebaliknya—mereka semua amat mempesona. Gemi bisa menebak bahwa darah yang mengalir dari tubuh mereka bukan hanya darah asli Indonesia, melainkan campuran. Ibu Nakula, barangkali adalah salah satu wanita tercantik yang pernah Gemi tahu. Wajahnya amat kecil, tubuhnya ramping, seperti penari yang anggun. Senyumnya memberi ketenangan yang entah bagaimana berbenturan dengan atmosfir keangkuhan para ningrat yang tercetak dari potretnya. “Na
Wajah Nakula semakin mendekat. Sedikit dorongan saja maka bibir mereka bisa bergesekan. “Ka-kamu ini apa-apaan, sih? Kamu mabuk, ya? PERGI DARIKU, SIALAN!” Pekat dengan kemarahan, Gemi langsung menampar Nakula sehingga wajah pria itu tersentak ke kanan. “Maafkan saya,” Nakula tiba-tiba saja berubah lagi menjadi anjing penurut. Kesadarannya kembali bagai sapuan gelombang laut. “Aku sudah bilang padamu, Nakula. Sedikit saja kamu mendekatiku, aku enggak akan segan-segan buat melukaimu!” protes Gemi terengah-engah. “Maksudmu apa melakukan hal itu tadi, hah? Kamu mau melecehkanku?”“Kadang kala saya merasa bahwa keberanian Nona Gemi patut untuk dibuktikan. Nona begitu tangguh, jadi saya barusan melakukan hal itu untuk mengecek apakah Nona mampu berbuat sesuatu bila dipepet bahaya,” Nakula menjelaskan dengan lancar. Tidak ada kebohongan di mata redupnya yang memikat. Gemi goyah di antara keputusan untuk percaya atau menolak. “Jangan mempermainkanku,” kata Gemi antara gigi-giginya yang t
“Seorang istri tidak diwajibkan mencari kerja selama suaminya masih bisa memberi nafkah, Nona.” Suara Nakula bagaikan cemeti tajam yang memecut telinga Gemi. Gadis itu praktis bangkit dari kursi ruang tamu dan menuding wajah Nakula dengan jari telunjuknya. “Aku bukan wanita yang menganut sistem patriarki sepertimu, Nakula. Ini adalah keputusanku. Pokoknya aku mau bekerja dan menghidupi diriku sendiri tanpa bergantung dengan seluruh sumber penghidupan darimu!”Nakula membuang napas sambil memijat pelipisnya dengan jemu. “Saya tidak bermaksud menjadi patriarkat, Nona. Bukannya saya melarang Nona bekerja, tapi saya tidak ingin keselamatan Nona terancam bila keluar dari rumah ini.”“Di mana-mana enggak aman. Mau aku berdiam di rumah pun masih ada kemungkinan penjahat itu kembali dan membunuhku. Lantas kenapa aku harus menutup kesempatan bekerja di luar?”“Penjahat itu pasti akan lebih mudah berkeliaran di luar,” kata Nakula, lalu memberi gagasan lain, “Begini saja, saya akan mencarikan A