Makan malam di rumah Nakula menjadi momen pertama yang menggelisahkan. Gemi harus memaksa dirinya tenang ketika melihat para pelayan tiada habisnya datang sambil membawa piring-piring makanan. Salah seorang di antara mereka bahkan bertugas mengisi gelas Gemi yang kosong.
“Aku akan melayani diriku sendiri,” kata Gemi yang sudah tidak tahan lagi melihat pelayan itu mondar-mandir di sekitarnya.Nakula yang menangkap kejengkelan di mata Gemi berkata, “Anda tidak suka dengan pelayan saya? Ingin menggantinya?”Saat mengatakan kalimat terakhir, raut wajah sang pelayan yang dimaksud Gemi langsung merengus panik. Dia menunduk sopan sambil perlahan melangkah mundur.“Bukan gitu. Aku hanya enggak biasa dilayani sampai seperti ini.” Gemi berkata terus terang lalu secara halus mengusir pelayan di sampingnya dengan lirikan mata. Dia kembali menatap Nakula yang memberinya pandangan datar, kemudian terbit kejengkelan yang lebih besar. “Nakula, aku penasaran dengan sesuatu.”“Silakan tanyakan apa pun pada saya.” Nakula tidak menatap Gemi dan terus melanjutkan makan.“Katanya kamu putra bungsu Meraki Group. Apa benar?”Nakula mendadak terdiam.Pria itu mengangguk. “Ya.”“Pemilik yayasan Meraki Group—Tuan Wiwangsa Yudhistira, adalah salah satu orang yang masuk jajaran orang terkaya di Asia Tenggara. Dan kamu, putranya, malah memilih menurunkan status menjadi pengawal putri menteri biasa sepertiku dengan alasan cinta?”“Saya tidak berutang penjelasan apa pun pada Anda. Semuanya sudah saya jelaskan. Terserah Anda mau percaya atau tidak.”Gemi terpaku. Nakula benar-benar definisi lumut di tepian batu sungai—dingin, sulit dibaca, kendati perangainya tidak terlalu keras dan berbahaya. Atau mungkin Gemi hanya terlalu nyaman saja berada di dekatnya?“Aku mau tidur.” Gemi tiba-tiba berdiri dari kursinya dan keluar dari meja makan.“Makanan Anda belum dihabiskan,” kata Nakula.“Aku sudah kenyang. Memang apa lagi alasannya?”“Nona Gemi,” kata seorang pelayan yang muncul dari balik bahunya. “Anda mau saya bawakan kudapan ke kamar?”“Tidak perlu. Kalian urus saja pangeran yang satu itu. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”Dan setelah jawaban ketus itu dilesatkan, Gemi menggeluyur pergi meninggalkan ruang makan. Hanya tersisa Nakula dan beberapa orang karyawan yang menunggu di sekelilingnya. Pria itu mengusap mulutnya dengan lap makan, lalu bersandar di kursi sambil membuang napas berat.Pak Janu, yang sejak tadi berada di belakang Nakula, berkata lirih, “Sepertinya kali ini akan sulit menyelesaikan misi, Tuan.”“Aku tahu,” kata Nakula, lalu memejamkan mata sambil memijat tengah keningnya. “Dia benar-benar gadis yang keras kepala dan terlalu waspada.”“Dia membuat saya teringat dengan seseorang, Tuan.” Pak Januari tertawa kecil.Nakula tahu siapa yang dimaksud oleh kepala pelayannya. “Ibu?”“Benar. Kalau Nyonya masih hidup, dia pasti senang memiliki menantu seperti Nona Gemi. Keduanya punya sifat yang sama.”“Sifat yang sama hanya akan memicu konflik ke depannya. Mereka berdua sama-sama api yang menggelora.”Lalu Nakula bangkit berdiri dari meja makan dan berkata pada Pak Janu. “Saya juga akan ke kamar. Terima kasih untuk makanannya.”“Sama-sama, Tuan.” Pak Janu membungkuk sopan dan membiarkan tuan mudanya berjalan mendahuluinya.Sementara itu, Gemi rupanya tidak berada di kamarnya sendiri. Dia justru melenggang mondar-mandir di sekitar rumah untuk menikmati—maksudnya menyelidiki hal-hal mencurigakan yang mungkin terselip di perabotan dan seluk beluk rumah megah ini.Namun setelah kurang lebih lima belas menit berkeliling, Gemi malah tersesat. Rumah ini terlalu besar dan memiliki lorong-lorong yang membingungkan. Setiap lorongnya tampak mewah dan megah—dipenuhi lukisan klasik, barang-barang antik, dan ukiran-ukiran panel dinding yang rumit, seperti masuk ke museum kerajaan ningrat dari Eropa. Gemi bahkan menemukan lift mungil yang biasanya digunakan sebagai tempat persembunyian anak-anak di film-film. Dia mendekati pintu tingkap kecil yang berukuran kecil tersebut, lalu membukanya. Di dalamnya ada tempat kosong yang mungkin cukup bila diisi tubuhnya.“Sedang apa?”Suara itu tiba-tiba membuat Gemi berpaling.“Nakula,” kata Gemi, terkejut. Sementara pria itu mendekat. “A-aku sedang lihat-lihat.”“Bukannya katanya Anda mau ke kamar?”“Aku tersesat waktu mau kembali ke kamar. Rumahmu terlalu luas, tahu!”“Saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk masalah itu. Anda hanya perlu membiasakan diri.” Nakula mengajak Gemi kembali ke kamar, sementara Gemi berjalan di sampingnya sambil tetap menjaga jarak.“Jadi, sejak kecil kamu sudah terbiasa hidup megah, ya?” Gemi memulai perbincangan. “Apa kamu juga memiliki personal asisten yang mengikuti dan menyiapkan semua keperluanmu seperti pengasuh?”“Saya sudah terbebas dari semua itu sejak usia lima belas tahun. Ayah saya membolehkan saya memiliki kehidupan sendiri, jadi saya memilih keluar dari rumah orangtua.” Lalu Nakula mendongak dan menyapu pandang pada seantero lorong yang megah di hadapannya. “Mereka memberi saya rumah ini dan meninggalkan saya dengan sejumlah aset. Saya memang putra bungsu Meraki Group, tapi saya sudah tidak terhubung lagi dengan urusan-urusan yayasan.”“Jadi kamu menolak menjalankan organisasi itu?” Pertanyaan itu dijawab oleh anggukan. Gemi semakin penasaran. “Kenapa? Bukannya menjadi pewaris itu enak? Aku bahkan rela mempertaruhkan nyawaku untuk bisa menjadi pewaris dari bisnis restoran keluargaku.”“Saya memiliki tujuan hidup sendiri.”Gemi terkekeh. “Dengan menjadi pengawal dari seorang gadis yang kamu cintai? Oh, ya ampun.”Namun Nakula tidak menjawab apa pun. Pria itu justru berputar menghadap Gemi seraya menatapnya lurus-lurus. “Ada satu lagi tujuan saya.”Gemi terkejut karena ditatap sedekat itu dengan Nakula. Dia menelan ludah dan memutuskan tidak berpaling dari tatapannya yang menantang. “Apa itu?”Dan sebelum Nakula sempat menjawab pertanyaannya, tiba-tiba saja terdengar jeritan membahana dari arah lantai pertama. Gemi dan Nakula sama-sama terkejut. Sang pria menggandeng tangan Gemi dan mengajaknya berlari ke sumber suara.Mereka sampai di depan ambang dapur utama yang kini dipenuhi oleh para pelayan. Beberapa di antara pelayan tersebut menangis dengan syok dan tubuh gemetar. Gemu terpaku, terbelah di antara bingung dan takut. Dia membiarkan Nakula menyela maju dan bertanya sendiri kepada para pelayannya. “Apa yang terjadi?”Salah satu pelayan laki-laki membalas tegang;“Ada mayat… ada mayat di dalam dapur….”[]Situasi sungguh tidak terkendali. Setelah seorang pelayan mengadukan penemuan mayat kepada Nakula, pria itu mendesak maju ke dapur untuk membuktikan kesaksian itu. Nakula menyalip beberapa pelayan yang berdiri di dekat konter dapur, lalu menatap lantai di bawah wastafel cuci, tempat seorang pelayan perempuan muda terbujur lemas di antara kepingan piring yang pecah dan makanan yang tumpah. Kulit pelayan itu telah berubah menjadi kebiruan, dan muncul busa dari sudut mulutnya. Matanya membelalak ngeri seolah dia meregang nyawa dalam keadaan tersiksa luar biasa. Gemi menjerit syok. Tubuhnya gemetar sementara dia melihat Nakula berlutut di samping sang pelayan untuk memeriksa laju napas dan denyut nadinya. “Dia sudah tewas,” kata Nakula, seketika mengundang sentakan kehebohan dan jerit mendalam dari semua orang yang berdiri di sekitarnya. Diselingi rasa takut dan bingung, Gemi menghadap para pelayan lain dan berkata, “Gimana ceritanya dia bisa meninggal?”“Saya yang pertama menemukanny
Setelah menyaksikan insiden mengerikan di dapur tadi, dan mendengarkan betapa ricuhnya pihak yayasan rumah sakit yang datang untuk mengautopsi mayat tersebut, Gemi diserang rasa gelisah sampai tidak bisa tidur. Nakula masih keluar karena sedang berbicara bersama pihak forensik, tetapi Gemi di sini sudah kepalang rindu—bukan, maksudnya menunggu-nungu kedatangan Nakula lantaran dia takut sendirian. Dan setelah berlama-lama merenung, Gemi mendengar pintu kamarnya dibuka. “Nona. Kenapa Anda belum tidur?”“Enggak papa. Gimana tadi tentang obrolanmu? Kamu dapat informasi dari para petugas forensik?”“Racun arsenik,” kata Nakula selagi dia duduk di sebelah Gemi. “Ada di dalam kue kering yang disediakan untuk Anda. Pelayan itu memakannya dan efeknya langsung muncul dalam beberapa detik. Racun itu menyumbat pernapasan dan melumpuhkan otak—salah satu dari jenis racun terampuh untuk membunuh korbannya sebelum dia bisa dilarikan ke rumah sakit.”Gemi mengusap wajah dengan frustrasi terkejut d
Suara alarm dari jam digital Nakula berbunyi. Bukan bunyi melengking tajam yang merusak telinga, melainkan alunan musik klasik yang mengalun lembut. Gemi menguap lebar, menguburkan wajahnya lebih dalam, lalu menghirup aroma manis yang hangat.Gemi mengusakkan hidungnya pada sebuah permukaan yang tidak asing. Bukan seprai maupun bantal. Namun aromanya enak dan suhunya hangat. Gadis itu menempelkan pipinya dan berpikir lama. Bau ini… dia mengenalnya. Rempah manis yang harum. Perpaduan antara kayu dan cendana yang lembut sekaligus tajam. Mengapa Gemi bersandar di sini? Di … mana? Di mana dia bersandar? Gadis itu membuka mata perlahan, lalu terkejut setengah mati saat mengetahui kepalanya mendarat di dada Nakula yang masih tertidur. “Si-sial!” Gemi buru-buru menjauhkan wajah dari tubuh Nakula, berusaha menormalkan gejolak jantungnya yang bergemuruh kencang. Mengapa dia tidur bersama pria ini? Bukankah semalam Gemi berbaring di atas kasur? Gemi segera mendongak dan mendapati kasur yang t
Suara keletuk sepatu Gemi menggema di seantero lorong rumah Nakula yang megah. Gadis itu berhenti di depan sebuah dinding ruang tengah yang memajang potret foto keluarga Nakula yang lengkap. “Jadi ini keluarga Nakula?” Gemi mendongak menelusuri setiap wajah yang terpampang di potret tersebut. Pak Janu, yang sejak tadi berdiri di samping Gemi, mengangguk. “Betul, Nona.”Gemi diam-diam menyumpah serapah dalam hati lantaran potret keluarga ini berhasil membuat sekujur tubuhnya merinding. Bukan karena wajah-wajah di dalam potret ini mengerikan, melainkan sebaliknya—mereka semua amat mempesona. Gemi bisa menebak bahwa darah yang mengalir dari tubuh mereka bukan hanya darah asli Indonesia, melainkan campuran. Ibu Nakula, barangkali adalah salah satu wanita tercantik yang pernah Gemi tahu. Wajahnya amat kecil, tubuhnya ramping, seperti penari yang anggun. Senyumnya memberi ketenangan yang entah bagaimana berbenturan dengan atmosfir keangkuhan para ningrat yang tercetak dari potretnya. “Na
Wajah Nakula semakin mendekat. Sedikit dorongan saja maka bibir mereka bisa bergesekan. “Ka-kamu ini apa-apaan, sih? Kamu mabuk, ya? PERGI DARIKU, SIALAN!” Pekat dengan kemarahan, Gemi langsung menampar Nakula sehingga wajah pria itu tersentak ke kanan. “Maafkan saya,” Nakula tiba-tiba saja berubah lagi menjadi anjing penurut. Kesadarannya kembali bagai sapuan gelombang laut. “Aku sudah bilang padamu, Nakula. Sedikit saja kamu mendekatiku, aku enggak akan segan-segan buat melukaimu!” protes Gemi terengah-engah. “Maksudmu apa melakukan hal itu tadi, hah? Kamu mau melecehkanku?”“Kadang kala saya merasa bahwa keberanian Nona Gemi patut untuk dibuktikan. Nona begitu tangguh, jadi saya barusan melakukan hal itu untuk mengecek apakah Nona mampu berbuat sesuatu bila dipepet bahaya,” Nakula menjelaskan dengan lancar. Tidak ada kebohongan di mata redupnya yang memikat. Gemi goyah di antara keputusan untuk percaya atau menolak. “Jangan mempermainkanku,” kata Gemi antara gigi-giginya yang t
“Seorang istri tidak diwajibkan mencari kerja selama suaminya masih bisa memberi nafkah, Nona.” Suara Nakula bagaikan cemeti tajam yang memecut telinga Gemi. Gadis itu praktis bangkit dari kursi ruang tamu dan menuding wajah Nakula dengan jari telunjuknya. “Aku bukan wanita yang menganut sistem patriarki sepertimu, Nakula. Ini adalah keputusanku. Pokoknya aku mau bekerja dan menghidupi diriku sendiri tanpa bergantung dengan seluruh sumber penghidupan darimu!”Nakula membuang napas sambil memijat pelipisnya dengan jemu. “Saya tidak bermaksud menjadi patriarkat, Nona. Bukannya saya melarang Nona bekerja, tapi saya tidak ingin keselamatan Nona terancam bila keluar dari rumah ini.”“Di mana-mana enggak aman. Mau aku berdiam di rumah pun masih ada kemungkinan penjahat itu kembali dan membunuhku. Lantas kenapa aku harus menutup kesempatan bekerja di luar?”“Penjahat itu pasti akan lebih mudah berkeliaran di luar,” kata Nakula, lalu memberi gagasan lain, “Begini saja, saya akan mencarikan A
Siang pukul 11.40. Surabaya panas menyengat seperti tangki pembakaran di neraka. Gemi dan Nakula melangkah melalui pintu tingkap kayu Rumah Yatim Piatu lalu muncul di sebuah ruang tamu luas yang nyaman. Dari dekat lorong samping tangga, muncul seorang perempuan muda yang memiliki wajah keibuan. “Halo, Nak Nakula. Apa kabar?” Wanita itu menyambut Nakula dengan murah senyum. Sudah Gemi duga, kedatangan Nakula di tempat ini pun pasti akan membuat semua orang melirik dengan penasaran, sebab sekarang itulah yang terjadi; beberapa anak penghuni panti asuhan yang mulanya duduk tenang dan bergerumbul di sudut ruangan langsung menghampiri Nakula dengan heboh. Satu dua di antaranya berteriak menyambut sambil melompat-lompat girang. “Wahhh, Mas Naku! Mas Naku datang!” “Mas, aku kangen Mas loh!” Seorang bocah perempuan yang kelihatannya berusia lima tahun langsung memeluk pinggang Nakula sambil tertawa senang. Nakula menerima sambutan mereka semua dengan hangat. Tawanya lebar dan santer, me
Setelah sekitar satu bulan tinggal bersama Nakula di kediamannya, sekaligus menjadi staf pengajar di Rumah Yatim Piatu Pelita Kasih, Gemi berhasil menggali cukup banyak informasi tentang latar belakang Nakula. Selain menjadi orang populer dan menerima banyak perhatian, Nakula juga ternyata sama seperti Gemi; dibuang oleh keluarga atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Betapa ironis mengetahui fakta bahwa mereka adalah sepasang suami-istri yang memiliki takdir sama. Gemi yang dulunya merasa sebal dan betah protes di hadapan Nakula, kini menjadi semakin lunak dan sabar lantaran merasa iba dengan kondisi suaminya sendiri. Seperti sekarang, ketika Gemi dan Nakula mendarat di sebuah toko kue sebelum pulang ke rumah, Nakula akhirnya melayangkan satu pertanyaan besar yang mengganjal pikirannya;“Kenapa Anda mengajak saya ke toko kue ini, Nona?”“Karena aku mau membelikanmu kue.” “Tapi saya tidak ulang tahun,” kata Nakula. Gemi mengambil sebuah keik sederhana dengan lelehan cokelat yang