Nakula membaca dokumen itu baik-baik. Ada yang janggal dari jumlah pesanan dan tujuannya. 50 kotak ikan? Bila tidak salah… Nakula pernah mendengar abang sulungnya berkata hal ini. Ikan adalah kode untuk penyebutan senjata di dunia mafia. “Gemi, sedang apa kamu?” Suara itu tiba-tiba membuat Nakula dan Gemi sama-sama tersentak. Mereka menatap ambang pintu yang kini dihalangi oleh tubuh ayah Gemi. Wajah pria itu menatap keduanya dengan curiga. “A-ah, Ayah sudah pulang?” Gemi secara anggun langsung menyelipkan dokumen itu ke lantai, di balik meja kerja. Lalu di saat bersamaan gadis itu mengajak ayahnya mengobrol. “Saya sedang mencari dokumen rumah yang dulu katanya Ayah janjikan. Tapi saya tidak menemukannya….”Nakula menatap Gemi penuh tanda tanya. Dokumen rumah? “Ah, rumah itu.” Ayah maju dari ambang pintu dan memasang tampang canggung, seolah pembahasan ini melucuti kehormatannya. “Begini, rumah yang dulu Ayah janjikan, sebenarnya sudah diurus sebagian oleh orang suruhan Ayah. Renc
Sekitar satu minggu kemudian, keadaan di kediaman Nakula mereda. Tidak ada lagi tangisan Gemi yang menuntut keadilan kepada ayahnya, atau masalah-masalah berarti yang membuat sepasang suami-istri ini pusing. Nakula telah menjalani sidang perihal serangan yang dia dapat dari orang asing tempo lalu, dan hasil akhirnya menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Sementara sang penjahat yang sempat koma kini harus mendekam di penjara selama beberapa bulan setelah bersaksi bahwa dia mabuk. “Bukan hukuman yang kita harapkan, tapi seenggaknya hal ini akan membuat penjahat itu jera,” kata Gemi sambil sesekali mengiris daging panggang dalam piringnya. Dia menatap Nakula yang terdiam di kursi makan. “Nakula, kamu dengar pendapatku barusan, kan?”“Ya,” Nakula mengangguk. “Tapi tetap saja… ada yang ganjil dari pernyataan orang itu. Aku sendiri yakin bahwa dia enggak sepenuhnya mabuk.”“Kenapa kamu yakin?”“Karena dia memukulku dengan gerakan terkoordinir. Rasanya seperti terlatih dan terbiasa memuk
“Nakula, biar kukatakan sekali lagi padamu,” sang abang melangkah mendekati Nakula sehingga jarak yang terpaut di antara mereka hanya beberapa sentimeter saja. “Kalau kamu enggak sanggup membunuh istrimu, biar aku atau Ayah kita yang turun tangan.”“Jangan,” Nakula merasakan suaranya agak gemetar. Dia memberanikan diri menatap sang abang. “A-aku sanggup. Biarkan aku yang mengambil tugas ini.”Lalu jemari tangan Dirga menyentuh dagu Nakula. “Adikku yang patuh, sejak dulu kamu tahu apa tugasmu berada di rumah menteri itu. Kamu bukan bekerja di sana untuk Gemi, kamu bekerja di sana untuk keluarga kita. Saat waktunya tepat, kamu harus turun tangan sendiri untuk berperang.”Nakula mengangguk. “Katakan padaku, Nakula,” kata Dirga. “Apa selama ini kamu benar-benar menyimpan rasa terhadap Gemi?”Nakula diam saja, dan Dirga meringis tipis. “Jadi rupanya benar apa yang dikhawatirkan Ayah selama ini.”“Apa maksudnya?”“Ayah kita sejak lama sudah menaruh curiga padamu. Dia takut kamu berkhianat
“Cepat katakan yang sejujurnya, Nakula. Atau aku akan berteriak sekarang juga supaya semua orang di hotel ini datang dan menghajarmu!” Gemi menatap sosok di hadapannya sambil mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras, dan seluruh wajahnya memerah.Dia sama sekali tidak menyangka hal pertama yang dilihatnya ketika terbangun pagi ini adalah wajah seorang pengawal yang sudah mengabdi di keluarganya selama tujuh tahun; Nakula Yudistira. Selama ini Nakula selalu mengikuti Gemi ke mana pun bagaikan anjing penjaga yang siap melempar gigitan bila ada ancaman. Dia adalah pria yang setia dan loyal.Nakula yang duduk di sisi ranjang sebelahnya, menatap Gemi dengan raut tidak terbaca. Ada pancaran kebingungan yang tampak di matanya, tetapi selebihnya dia terampil menyembunyikan emosi."Saya bersumpah tidak tahu apa yang terjadi, Nona. Saat saya bangun pagi ini, saya sudah ada di ranjang yang sama dengan Anda.” Suaranya bahkan menunjukkan ketenangan.Namun kata-kata Nakula hanya membuat Gemi semakin
“Berbahagialah, Kak. Ini kan hari pernikahanmu.”Gemilau Maharani yang sedang mematut diri di hadapan cermin terkejut kala mendengar suara lembut dari adiknya, Tiara Maharani.“Hari bahagia, katamu?” Gemi melirik sinis ke arah sang adik. “Ini adalah hari terburuk sepanjang sejarah hidupku!” Pada akhirnya, pernikahan antara dia dan Nakula tetap digelar. Alih-alih bahagia, dia justru merasa marah dan sedih atas paksaan orangtuanya yang mendesaknya untuk menikahi Nakula.“Aku mengerti, Kakak mungkin malu mengakui kalau Kakak jatuh cinta pada pengawal sendiri.” Tiara menjulurkan jemarinya ke arah Gemi dan mencengkeram bahu kakaknya yang sedang mematut diri di hadapan cermin rias. “Tapi, Kakak harus tetap bersyukur, karena pria yang Kakak nikahi adalah Nakula. Dia tampan dan pandai bertarung.”Senyum palsu, Gemi tahu adiknya tersenyum karena merasa senang dengan kejatuhannya. Siapa yang tidak senang melihat saingan satu-satunya didepak keluar dari rumah? Tidak lama lagi bisnis keluarganya
“….”Sebelum Gemi sempat meresapi maksudnya, gadis itu merasakan kepala Nakula merunduk, tanpa aba-aba mencium bibirnya.Seketika, seisi ruangan bersorak. Akan tetapi, Gemi tidak mendengar apa pun selain jantungnya yang berdebar dan darahnya yang berdesir di kepala. Dalam keterpakuannya, dia bisa merasakan bibir Nakula bergerak perlahan, mengecup dan memagut bibir Gemi bagai permen kapas, lembut dan manis.Sikap Nakula begitu tenang dan lembut, sungguh berbeda dengan perangainya yang selama ini tampak bagaikan anjing penjaga galak. Gemi dibuat kewalahan atas aksi tiba-tiba ini. Rasanya gadis itu hendak merosot jatuh lantaran kedua kakinya melemas, tetapi Nakula dengan sigap menahan kedua lengannya.Pria itu melepas ciumannya, lalu berkata pada Gemi dengan suara bergetar, “Maafkan saya.”Gemi tidak bisa berkata apa-apa, entah masih syok atau hanyut dalam sensasi-entah-apa yang begitu mendebarkan. Sentuhan Nakula di bibirnya masih terasa panas dan menggelitik. Tercium aroma musk dan ras
Pagi ini Gemi resmi meninggalkan rumah orang tuanya. Namun tidak satu pun dari ibu atau ayahnya menunjukkan raut kesedihan. “Saya akan sering-sering mengabari Ayah untuk memberitahu keadaan di sana.” Gemi memaksa diri untuk tersenyum, meski hatinya hancur. Ayah membalas dengan anggukan singkat, lalu meremas tangan Gemi seolah memberinya kekuatan. Lewat reaksi tersebut, gadis itu tahu bahwa Ayah sebetulnya peduli, akan tetapi sifat tegas dan kerasnya selalu menang.Saat Gemi berpaling pada ibu tirinya, dia malah mendapat tatapan sinis.“Bu,” Gemi berkata hati-hati. “Sampai nanti. Saya akan—”“Ibu ingin kamu menjalani tugas seorang istri dengan baik. Tidak perlu mengkhawatirkan keadaan rumah, karena kami pasti akan baik-baik saja tanpamu.”Kalimat itu membuat Gemi tersinggung. Dia tahu Ibu sengaja mengatakan hal tersebut—makna lain jika kehadirannya tidak dirindukan di rumah ini. Jengkel dengan sikap ibunya yang angkuh, Gemi pun membalas dengan usil, “Tentu. Saya akan melakukan peker
“Ru-rumah? Apa maksudmu?” Gemi menatap Nakula dengan sorot bingung.Namun pertanyaan terakhir Gemi tidak dijawab, sebab Nakula lekas keluar dari mobil dan berputar ke sisi pintu yang lain untuk mempersilakan Gemi turun. Gadis itu menurut, dia turun dari mobil dan berdiri tegap. Wajahnya mendongak menatap sebuah rumah mewah bergaya Georgia, yang nyaris sempurna dikatakan versi mini dari sebuah istana Eropa.Rahang Gemi jatuh. Dia menatap pemandangan itu dengan ekspresi syok.“Ayo masuk, Nona.” Nakula tiba-tiba saja memimpin jalan ke depan, sementara Gemi yang baru saja sadar dari keterkejutannya langsung mengejar pria itu.“Tunggu! Nakula, apa maksudmu? Rumah ini milikmu? Kamu mau membohongiku, ya?”Langkah kaki Gemi yang lebih pendek nyaris kesusahan mengejar Nakula. Lantas dia terpaksa berlari lebih cepat, tidak memedulikan fakta bahwa dirinya sedang mengenakan sepatu hak tinggi. Karena diliputi syok dan bingung, Gemi jadi tidak hati-hati sehingga ujung sepatunya terantuk kerikil k