Suara alarm dari jam digital Nakula berbunyi. Bukan bunyi melengking tajam yang merusak telinga, melainkan alunan musik klasik yang mengalun lembut. Gemi menguap lebar, menguburkan wajahnya lebih dalam, lalu menghirup aroma manis yang hangat.Gemi mengusakkan hidungnya pada sebuah permukaan yang tidak asing. Bukan seprai maupun bantal. Namun aromanya enak dan suhunya hangat. Gadis itu menempelkan pipinya dan berpikir lama. Bau ini… dia mengenalnya. Rempah manis yang harum. Perpaduan antara kayu dan cendana yang lembut sekaligus tajam. Mengapa Gemi bersandar di sini? Di … mana? Di mana dia bersandar? Gadis itu membuka mata perlahan, lalu terkejut setengah mati saat mengetahui kepalanya mendarat di dada Nakula yang masih tertidur. “Si-sial!” Gemi buru-buru menjauhkan wajah dari tubuh Nakula, berusaha menormalkan gejolak jantungnya yang bergemuruh kencang. Mengapa dia tidur bersama pria ini? Bukankah semalam Gemi berbaring di atas kasur? Gemi segera mendongak dan mendapati kasur yang t
Suara keletuk sepatu Gemi menggema di seantero lorong rumah Nakula yang megah. Gadis itu berhenti di depan sebuah dinding ruang tengah yang memajang potret foto keluarga Nakula yang lengkap. “Jadi ini keluarga Nakula?” Gemi mendongak menelusuri setiap wajah yang terpampang di potret tersebut. Pak Janu, yang sejak tadi berdiri di samping Gemi, mengangguk. “Betul, Nona.”Gemi diam-diam menyumpah serapah dalam hati lantaran potret keluarga ini berhasil membuat sekujur tubuhnya merinding. Bukan karena wajah-wajah di dalam potret ini mengerikan, melainkan sebaliknya—mereka semua amat mempesona. Gemi bisa menebak bahwa darah yang mengalir dari tubuh mereka bukan hanya darah asli Indonesia, melainkan campuran. Ibu Nakula, barangkali adalah salah satu wanita tercantik yang pernah Gemi tahu. Wajahnya amat kecil, tubuhnya ramping, seperti penari yang anggun. Senyumnya memberi ketenangan yang entah bagaimana berbenturan dengan atmosfir keangkuhan para ningrat yang tercetak dari potretnya. “Na
Wajah Nakula semakin mendekat. Sedikit dorongan saja maka bibir mereka bisa bergesekan. “Ka-kamu ini apa-apaan, sih? Kamu mabuk, ya? PERGI DARIKU, SIALAN!” Pekat dengan kemarahan, Gemi langsung menampar Nakula sehingga wajah pria itu tersentak ke kanan. “Maafkan saya,” Nakula tiba-tiba saja berubah lagi menjadi anjing penurut. Kesadarannya kembali bagai sapuan gelombang laut. “Aku sudah bilang padamu, Nakula. Sedikit saja kamu mendekatiku, aku enggak akan segan-segan buat melukaimu!” protes Gemi terengah-engah. “Maksudmu apa melakukan hal itu tadi, hah? Kamu mau melecehkanku?”“Kadang kala saya merasa bahwa keberanian Nona Gemi patut untuk dibuktikan. Nona begitu tangguh, jadi saya barusan melakukan hal itu untuk mengecek apakah Nona mampu berbuat sesuatu bila dipepet bahaya,” Nakula menjelaskan dengan lancar. Tidak ada kebohongan di mata redupnya yang memikat. Gemi goyah di antara keputusan untuk percaya atau menolak. “Jangan mempermainkanku,” kata Gemi antara gigi-giginya yang t
“Seorang istri tidak diwajibkan mencari kerja selama suaminya masih bisa memberi nafkah, Nona.” Suara Nakula bagaikan cemeti tajam yang memecut telinga Gemi. Gadis itu praktis bangkit dari kursi ruang tamu dan menuding wajah Nakula dengan jari telunjuknya. “Aku bukan wanita yang menganut sistem patriarki sepertimu, Nakula. Ini adalah keputusanku. Pokoknya aku mau bekerja dan menghidupi diriku sendiri tanpa bergantung dengan seluruh sumber penghidupan darimu!”Nakula membuang napas sambil memijat pelipisnya dengan jemu. “Saya tidak bermaksud menjadi patriarkat, Nona. Bukannya saya melarang Nona bekerja, tapi saya tidak ingin keselamatan Nona terancam bila keluar dari rumah ini.”“Di mana-mana enggak aman. Mau aku berdiam di rumah pun masih ada kemungkinan penjahat itu kembali dan membunuhku. Lantas kenapa aku harus menutup kesempatan bekerja di luar?”“Penjahat itu pasti akan lebih mudah berkeliaran di luar,” kata Nakula, lalu memberi gagasan lain, “Begini saja, saya akan mencarikan A
Siang pukul 11.40. Surabaya panas menyengat seperti tangki pembakaran di neraka. Gemi dan Nakula melangkah melalui pintu tingkap kayu Rumah Yatim Piatu lalu muncul di sebuah ruang tamu luas yang nyaman. Dari dekat lorong samping tangga, muncul seorang perempuan muda yang memiliki wajah keibuan. “Halo, Nak Nakula. Apa kabar?” Wanita itu menyambut Nakula dengan murah senyum. Sudah Gemi duga, kedatangan Nakula di tempat ini pun pasti akan membuat semua orang melirik dengan penasaran, sebab sekarang itulah yang terjadi; beberapa anak penghuni panti asuhan yang mulanya duduk tenang dan bergerumbul di sudut ruangan langsung menghampiri Nakula dengan heboh. Satu dua di antaranya berteriak menyambut sambil melompat-lompat girang. “Wahhh, Mas Naku! Mas Naku datang!” “Mas, aku kangen Mas loh!” Seorang bocah perempuan yang kelihatannya berusia lima tahun langsung memeluk pinggang Nakula sambil tertawa senang. Nakula menerima sambutan mereka semua dengan hangat. Tawanya lebar dan santer, me
Setelah sekitar satu bulan tinggal bersama Nakula di kediamannya, sekaligus menjadi staf pengajar di Rumah Yatim Piatu Pelita Kasih, Gemi berhasil menggali cukup banyak informasi tentang latar belakang Nakula. Selain menjadi orang populer dan menerima banyak perhatian, Nakula juga ternyata sama seperti Gemi; dibuang oleh keluarga atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Betapa ironis mengetahui fakta bahwa mereka adalah sepasang suami-istri yang memiliki takdir sama. Gemi yang dulunya merasa sebal dan betah protes di hadapan Nakula, kini menjadi semakin lunak dan sabar lantaran merasa iba dengan kondisi suaminya sendiri. Seperti sekarang, ketika Gemi dan Nakula mendarat di sebuah toko kue sebelum pulang ke rumah, Nakula akhirnya melayangkan satu pertanyaan besar yang mengganjal pikirannya;“Kenapa Anda mengajak saya ke toko kue ini, Nona?”“Karena aku mau membelikanmu kue.” “Tapi saya tidak ulang tahun,” kata Nakula. Gemi mengambil sebuah keik sederhana dengan lelehan cokelat yang
Ini pasti mimpi. Begitulah yang Nakula rasakan ketika dia membuka mata dan terbangun di sebuah tempat yang familier—ruang kantor ayahnya. Bagi Nakula, yang telah lama diserang kepanikan atas trauma masa lalu, mimpi adalah sesuatu yang fana sekaligus nyata. Dia tahu dia bermimpi, tetapi dia tidak bisa mengendalikannya. Bayang-bayang kematian anggota keluarganya selalu melilitnya dalam kerangkeng masa lalu, mencekiknya, melumpuhkannya. Seperti saat ini, ketika Nakula melangkah menghampiri sang ayah, dia tidak bisa mengelak dari tatapannya yang membunuh. “Nakula,” kata ayahnya, yang menatap Nakula dengan bengis. “Kamu sudah kuusir dari rumah ini. Mengapa kamu kembali lagi?”Wajah Ayah mirip dengan Nakula, tetapi sang putra mewarisi kilau mata ibunya yang seindah gurun dan selembut sapuan mentari. Sementara tatapan ayahnya cenderung dingin, keji, bagaikan hiu yang bersembunyi di balik gunung es. Nakula membalas lirih, “Ayah, saya hanya ingin minta maaf.”“Kendati kamu minta maaf, masa
Saking sibuknya mengurus orang sakit, Gemi lupa bahwa sejak pagi tadi perutnya belum diisi. Maka setelah mengantarkan Nakula beristirahat di kamarnya, gadis itu turun ke lantai pertama untuk makan malam. Dia sedang celingukan di sekitar dapur saat Pak Janu muncul dari balik ruangan kosong, “Nona Gemi, Anda baru pulang?”Gemi berputar dan tersenyum. “Ah, iya. Saya baru pulang dari rumah sakit.”“Nona sakit apa?” “Itu… sebenarnya yang sakit bukan saya.” Gemi menyandarkan punggung di konter dapur yang bersih sembari menjelaskan, “Tadi ada insiden di dekat toko roti. Saya diserang seseorang, dan Nakula menyelamatkan saya. Tapi dia terluka dan harus dibawa ke rumah sakit.”“Astaga, apa kalian berdua baik-baik saja?”“Yah, tadinya enggak baik-baik aja, tapi sekarang kami sudah aman.” Lalu Gemi menunjuk lorong luar dapur. “Nakula sudah saya baringkan di kamar. Sekarang dia sedang tidur. Setiap tiga jam sekali dia harus bangun untuk minum obat.”Pak Janu membuang napas berat. “Nanti akan say