Share

Suami Pelit Melarat Saat Kutinggalkan
Suami Pelit Melarat Saat Kutinggalkan
Penulis: Rini Annisa

Dasar pelit!

"Ratih ... !" Teriak Mas Andre dari ruang depan. 

Aku yang sedang mencuci piring di dapur tergopoh-gopoh menemui suamiku. Kulihat Mas Andre berkacak pinggang. 

"Ada apa, Mas? Masih pagi sudah teriak," kataku kesal. 

"Ada apa, ada apa! Mana teh manisnya? Kenapa enggak kamu buat?" tanyanya melotot. 

Aku segera berlalu menuju dapur ingin mengambil toples gula yang kosong, agar Mas Andre tau.  "Hei, ditanya kok malah pergi! Dasar istri enggak ada sopan santun!" ejeknya. 

"Ini, Mas liat sendiri. Toples gula kosong, jadi aku enggak buat teh manis," jawabku sambil menunjukkan toples itu pada Mas Andre. 

"Halah, kamu 'kan bisa beli gula sebentar!" hardiknya lagi. 

"Mana uangnya, sini!" kataku sambil menadahkan tangan. 

"Uang apa? Bukankah aku udah ngasih lima puluh ribu tiap Minggu, hah! Apa itu enggak cukup? Makanya jadi istri jangan boros, anak saja belum ada, masa' uang segitu enggak cukup!" Lagi-lagi Mas Andre ngotot. 

Aku menghela nafas, rasanya ingin mencakar mukanya. Apa Mas Andre tidak berpikir, lima puluh ribu untuk seminggu itu tidak cukup bahkan sangat kurang. Aku sering berutang ke warung untuk menutupi kekurangan. Walaupun belum punya anak, tapi pengeluaran sudah banyak. Selama ini aku selalu mencatat pengeluaran, setelah mendapat uang dari Mas Andre aku segera mengatur untuk ini dan itu. 

Beli beras tujuh kilo untuk stok seminggu, ini lebih aku prioritaskan karena asal ada nasi makan pakai sambel atau tempe goreng pun cukup. 

Aku mesti beli beras banyak karena tiap hari masak satu kilo beras. Selain aku dan Mas Andre, mama mertua dan kakak ipar suka nebeng makan di rumah kami. Apalagi kakak ipar, sudah menikah tapi malas masak. Tidak ada uang yang selalu dijadikan alasan, padahal jika dilihat perhiasan di tangannya banyak. 

"Sudah sana beli gula, malah bengong!" bentak Mas Andre membuyarkan lamunanku. 

"Uangnya mana? Biar kubelikan!" 

"Enggak ada, utang dulu sana!" 

"Aku malu, Mas! Utang kita udah numpuk di warung, Mas saja enggak mau membayarnya. Pakai apa aku bayarnya? Aku juga enggak enak sama Wak Narti," keluhku. 

"Mas enggak mau tau, pokoknya teh manis kudu sudah ada sekarang!" 

Aku melengos membiarkan Mas Andre dan kembali ke dapur melanjutkan pekerjaan. Terdengar kembali teriakan dan umpatan Mas Andre, aku yang sudah terbiasa tidak ambil pusing. Bukan sekali itu saja Mas Andre mencela, aku tetap bersabar karena keadaan tapi lihatlah nanti Mas, aku akan balas perbuatanmu. 

Tidak lama terdengar bantingan pintu, Mas Andre pasti keluar, ya kemana lagi kalau bukan ke rumah mamanya. Rumah mertua persis di sebelah rumah kami dan rumah yang kami tempati ini adalah milik mertua yang diberikan saat kami menikah. 

Entah apa yang dilakukan Mas Andre di rumah mamanya. Mungkin saja dia minum teh manis dan sarapan. Seperti biasa kalo aku tidak membuat teh manis dan sarapan untuknya. Aku juga bukan sengaja, tiap tiga hari uang belanja sudah habis. 

Selesai mencuci piring, aku menyapu rumah. Sampai di teras rumah aku melihat Mas Andre di rumah mamanya akan berangkat kerja. Namun, sebelum pergi Mas Andre membuka dompet dan memberikan lembaran merah pada Mamanya serta lembaran biru pada kakak dan ponakannya. 

Melihat itu hatiku sangat sakit. Sebagai istri, aku hanya di kasih uang belanja seminggu lima puluh ribu, itupun masih menanggung makan mereka semua. Tidak terasa air mata menetes, namun aku segera menghapus karena tak ingin terlihat lemah dihadapan mereka. 

'Dasar suami pelit!' sungutku kesal.

Tahu sedang kuperhatikan, dengan angkuhnya Mas Andre pergi. Hingga Mas Andre menghidupkan motornya tetap tidak sedikitpun melihat ke arahku. Aku pun meneruskan menyapu teras hingga selesai. 

Kepergok sedang menatap Mas Andre, Mbak Rina kakak iparku dengan sengaja mengipas wajahnya dengan uang yang diberikan Mas Andre. Demi apa coba kalo bukan untuk memanasiku. 

"Duh, Andre baik banget ya Ma. Mau ngasih kita uang, kita bisa belanja banyak ini. Hahahaha ..." Ketawanya jahat.  

"Tentu dong, siapa lagi kalo bukan anak Mama," balas mertua sambil mencebik ke arahku. 

Aku yang tidak peduli tetap menyapu seraya mencoba mendengar apa yang akan mereka katakan selanjutnya. 

"Hei, Ratih! Jangan lupa nanti masak yang enak ya! Mama dan aku akan makan siang di rumahmu, bukankah tadi kamu eanggak buatkan teh manis dan sarapan untuk Andre. Istri macam apa kamu?" cemooh Mbak Rina. 

"Menantu kurang ajar kamu, masa' pagi-pagi suami mau kerja bukannya dilayani baik-baik malah mesti Mama yang mengurusnya. Trus apa gunanya kamu, hah!" hardik Mama. 

Aku yang sudah tidak tahan menjadi dongkol, lalu dengan memegang sapu mendekati mereka. Terlihat mbak Rina berjalan berlindung di belakang mertua. Dipikir aku mau memukulnya pakai sapu. 

"Maaf, Ma dan Mbak Rina. Sebelum kalian mencela ada bagusnya tuh anak Mama dinasehati. Sebagai suami saja enggak memenuhi nafkahnya. Ratih cuma dikasih uang belanja lima puluh ribu, apa kalian pikir uang segitu cukup?" kataku mendelik. 

"Abisnya kata Andre, kamu boros. Uang segitu sudah cukup untuk belanjalah, kamu saja yang enggak pinter ngaturnya," ucap Mbak Rina menyela. 

"Ya ampun, Mbak Rina memang enggak tau karena males masak. Kalian makan itu dari mana kaloau bukan aku yang masak? Sebaiknya Mbak Rina ngaca, apa mau aku yang ambilkan kacanya?" Aku terus melawan mereka. 

Biar mereka tidak terus menerus memijakku, selama ini aku sudah bersabar. Awalnya aku mengira Mas Andre tetap akan menjadi suami yang royal seperti saat dia berusaha menarik perhatian orang tuaku dulu. Setiap mengunjungi rumahku, Mas Andre banyak membawa oleh-oleh dan saat pulang Mas Andre juga menitipkan uang padaku. Katanya untuk jajanku. 

"Apa ini, Mas?" tanyaku saat Mas Andre mau pulang. 

"Ini sedikit dari Mas, ambillah untuk beli apapun yang kamu sukai," jawabnya seraya menyerahkan amplop. 

Aku yang awalnya menolak tapi tetap dipaksa menerimanya akhirnya aku terima dengan senang, kata orang-orang tidak baik menolak rezeki. Setelah Mas Andre pulang, aku yang penasaran segera membuka amplop pemberiannya. 

Mataku terbelalak saat melihat lembaran merah berjumlah lima lembar. Begitulah perhatian Mas Andre tiap Minggu datang, bahkan bapak dan ibu tahu hingga mereka pun luluh dan mengizinkan saat Mas Andre datang melamar. 

"Bapak dan ibu, saya sangat menyayangi Ratih. Saya janji akan bahagiakan Ratih sebagai istri saya kelak," ucap Mas Andre mengikrarkan janjinya. 

"Ya, bapak dan ibu merestui kalian. Semoga kalian samawa dan bahagia selalu," jawab bapak dan ibu terharu. 

"Aamiin," ucapku dan Mas Andre serentak. 

Selang sebulan kemudian, Mas Andre menikahiku dan memboyongku ke rumah mamanya. Kami menempati rumah sebelah agar bisa mandiri, rumah sebelah yang mulanya rumah kontrakan beralih menjadi milik kami. 

Beberapa bulan berumah tangga, sikap Mas Andre masih tetap royal. Namun, entah sejak kapan Mas Andre berubah. Kala itu aku yang sedang belanja di warung Wak Narti dikatai yang tidak enak oleh ibu-ibu. 

"Neng Ratih belanja ya?" tanya Bu Ratna. 

"Iya, Bu. Seperti biasa 'kan!" jawabku pendek sambil memilah sayur. 

"Neng Ratih kalo belanja jangan banyak-banyak, boros atuh! Kasian suaminya yang nyari duit, sudah capek tapi istri malah bisanya ngabisi duit," timpal Bu Widya sewot. 

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status