"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
"Ratih ... !" Teriak Mas Andre dari ruang depan. Aku yang sedang mencuci piring di dapur tergopoh-gopoh menemui suamiku. Kulihat Mas Andre berkacak pinggang. "Ada apa, Mas? Masih pagi sudah teriak," kataku kesal. "Ada apa, ada apa! Mana teh manisnya? Kenapa enggak kamu buat?" tanyanya melotot. Aku segera berlalu menuju dapur ingin mengambil toples gula yang kosong, agar Mas Andre tau. "Hei, ditanya kok malah pergi! Dasar istri enggak ada sopan santun!" ejeknya. "Ini, Mas liat sendiri. Toples gula kosong, jadi aku enggak buat teh manis," jawabku sambil menunjukkan toples itu pada Mas Andre. "Halah, kamu 'kan bisa beli gula sebentar!" hardiknya lagi. "Mana uangnya, sini!" kataku sambil menadahkan tangan. "Uang apa? Bukankah aku udah ngasih lima puluh ribu tiap Minggu, hah! Apa itu enggak cukup? Makanya jadi istri jangan boros, anak saja belum ada, masa' uang segitu enggak cukup!" Lagi-lagi Mas Andre ngotot. Aku menghela nafas, rasanya ingin mencakar mukanya. Apa Mas Andre tida
Aku yang mendengarnya terkejut, kenapa malah jadi gosip."Maaf, ibu-ibu kalo enggak tau jangan sembarang ngomong ya! Selain Mas Andre, Mama dan Mbak Rina juga numpang makan di rumahku," kataku tegas. "Itu bukan numpang, tapi sudah sewajarnya seorang ibu makan di rumah anaknya. Apalagi Andre anak laki-laki memang seharusnya dia yang mengurus mamanya," timpal Bu Ratna. Aku malas menjawabnya lagi, buat apa? Lagian aku belanja banyak juga untuk makan mertua dan kakak ipar. Dulu sewaktu baru menikah memang untuk makan berdua saja. Namun, mereka mulai beralasan masakanku enak dan tidak ada uang untuk masak. Mas Andre juga masih memberiku uang belanja lima ratus seminggu. Jadi aku bisa mengatur untuk semuanya, tapi sejak menjadi gosip Mas Andre segera memangkas uang belanja menjadi lima puluh ribu seminggu. Saat itulah pertengkaran dimulai sampe sekarang. "Eh, Ratih sudah sana masak! Mama mau makan ayam goreng, jangan lupa beli yang banyak untuk cucuku," titah Mama. "Kalo Mama mau ma
"Prok, prok, prok ... Hebat Ma, sebenarnya siapa yang enggak tau di untung di sini, kalian atau aku?" kataku sambil menunjuk. "Anak Mama memberi uang belanja lima puluh ribu, uang segitu hanya cukup beli beras empat kilo. Sedangkan setiap hari aku masak sekilo, untuk sapa lagi kalo bukan untuk makan kalian juga. Jadi sisanya bagaimana itu, lauknya aku beli di warung Wak Narti. Mama tanya sendiri berapa utang di warung? Jadi tolong utang di warung itu kalian yang lunasi atau Mas Andre, aku enggak mau tau lagi." Aku coba jelaskan biar mereka tidak seenaknya lagi. Tiba-tiba tidak sengaja melintas Wak Narti yang baru pulang belanja dari kota untuk stok warungnya. Melihatku dan mertua ribut di luar rumah, Wak Narti berhenti lalu bertanya. "Ada apa, Ratih kok pada ribut?" "Wak, bilang sama Mama berapa utang kami belanja di warung Wak Narti?" seruku. "Utang kalian sudah dua juta, kapan mau bayar? Wak juga perlu uangnya!" desak Wak Narti. Mama dan Mbak Rina kulihat mendelik, mungkin sa
Mutiara Rezeki, begitulah nama restoran yang kumiliki. Pasti Mbak Rina dan mama tidak menyangka aku bisa membeli makanan di restoran itu. "Darimana kamu punya uang untuk beli ini?" tanya Mama kepo. Aku cuma senyum-senyum tanpa menjawab pertanyaan Mama. "Oh, jadi tadi kalian makan di restoran Mutiara ya!" "Maaf aku enggak tau, Ma. Kalo tau tadi aku pasti ikut gabung kalian, sayangnya aku cuma pesan online." Wajah sengaja kubuat sedih. "Jawab Mama, dari mana kamu punya uang untuk beli makanan ini, hah?" hardik Mama. "Ya uangku lah, jadi darimana lagi," jawabku pura-pura takut. "Kamu sudah membohongi kami, kalo tau kamu ada uang bagusnya tadi masak dong! Jadi kami enggak usah perlu keluar uang untuk makan," kata Mama sewot. "Iya, Ma. Kita sudah dibohongi, uang Andre dipakai makan sendiri. Ntar kita lapor saja nanti sama Andre biar kapok!" ujar Mbak Rina menimpali. "Silahkan lapor, lagian ini pakai uangku bukan uang Andre. Apa kalian tak ingat sudah berapa bulan Andre cuma ngasih
"Suami? Suami macam apa, Mas? Selama ini aku sudah diam dan mengalah Mas perlakukan. Aku masak untuk Mama dan Mbak Rina enggak protes, Mas pangkas uang belanja pun aku mengalah. Tapi kini Mas tampar aku, itu enggak bisa kutolerir lagi. Sekarang biarkan aku pergi!" teriakku kesal. "Maafkan Mas, Ratih! Mas khilaf tadi, Mas enggak sadar menamparmu." Mas Andre terus berkata menyesal, tapi kesabaranku sudah habis. "Biarkan aku pergi, Mas. Atau kulaporkan ke polisi atas kekerasan yang Mas lakukan tadi," ancamku. Mas Andre kulihat ciut nyalinya, perlahan mulai melepaskan cengkraman tangannya. Antara takut dan tidak ingin berpisah denganku, masa' bodoh dengan sikapnya. Yang penting aku harus segera keluar dari rumah ini. "Baiklah, jangan lapor polisi. Kamu pulang saja kerumah orang tuamu, tenangkan diri. Setelah tenang baru Mas jemput ya!" ujarnya merayu. "Aku enggak janji ya, Mas! Selama sikapmu belum berubah, aku enggak akan balik lagi ke sini. Ingat, urus baik-baik mama dan kakakmu i