Aku menulis no hp di kertas yang disediakan, setelah selesai aku serahkan kembali pada Bagas. Dia tersenyum melihat rentetan angka di kertas tersebut lalu melipat dan menyimpannya di saku bajunya. "Baiklah, pemeriksaan selesai. Kamu tunggu hasilnya besok, sekalian ambil surat visumnya. Ada pasien lain diluar, maaf aku nggak bisa mengantarkan kamu," ucap Bagas meminta pengertian. "Oke, nggak apa-apa. Aku bersama asisten ku diluar, dia yang akan mengantarku," jawabku sambil berjalan keluar. Saat sebelum membuka pintu, kucoba menatap Bagas kembali. Wajahnya terlihat senang dengan senyum yang menawan. Ah, kenapa aku jadi terpana lagi. Sekarang ini aku harus fokus menyelesaikan masalahku dengan Mas Andre. "Gimana, Bu? Sudah selesai?" tanya Nova begitu aku keluar dari ruangan Bagas. "Ya, sekarang kita pulang. Besok kita kemari lagi mengambil hasil pemeriksaan," jawabku melangkah pelan menuju pintu luar. ***"Syukurlah, ternyata anak ibu pinter juga. Semoga aja nanti Andre nggak menyul
Hari ini, saat di rumah sakit aku tidak menyangka bertemu Ratih. Setelah sekian tahun tepatnya lima tahun, kami tidak bertemu. Awal bertemu kulihat Ratih canggung, aku pun tidak ingin membuatnya tambah grogi jadi bersikap biasa. "Apa kabarmu, Ratih?" tanyaku memulai percakapan. Namun, wanita yang kucintai di depanku hanya melamun. Ratih terus menatap diriku, apa yang salah. Kenapa matanya berembun? Apakah sesuatu terjadi padanya? Aku perhatikan tubuh Ratih sedikit kurus, apa Ratih tidak bahagia dengan pernikahannya? Ah, tidak mungkin baru setahun dia menikah dan itu sudah sukses membuat hatiku hancur. Bagaimana tidak hancur, hatiku sudah memendam cinta padanya. Walaupun ditolak, tapi aku tak bisa membencinya. Awal perkenalan dengannya saat itu dia adalah pendatang baru di kampung. Usia kami masih kanak-kanak kala itu, rumah kami hanya berjarak lima rumah. Aku dan Ratih sering bermain bersama juga dengan anak-anak yang lain. Namun, Ratih lebih dekat padaku dibanding yang lain. Sa
"Ya sudah, kalo itu mau kamu Le. Tapi kamu janji harus rajin belajar, Abah dan Mak ingin kamu bisa sukses dan membuat kami bangga," ucap Abah setuju. Alasan yang tidak terpikirkan sebelumnya, sebab kuliah di luar negeri sangat jauh dari keluarga juga jauh dari Ratih. Wanita yang sukses mengambil hatiku itu ternyata menolak cintaku. "Ratih, selama ini kita udah bersama. Menjalani hari-hari selalu berdua, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Namun, saat ini perasaanku berbeda. Ya diam-diam aku mencintaimu Ratih," kataku saat mengantar Ratih pulang. Ratih terkejut mendengarnya, terlihat jelas dari wajahnya yang kelabu. Mungkin dia tak menduga perasaan itu akhirnya muncul dan aku ucapkan padanya. "Maaf, Gas. Aku berterimakasih atas cintamu tapi aku hanya menganggap mu sebagai sahabat tidak lebih," jawab Ratih dengan mata berembun. "Aku akan menunggu, Ratih. Sampai kamu juga punya perasaan yang sama denganku," ucapku berharap. Ratih menggeleng keras. "Itu nggak mungkin, Gas. Perasaan
Sudah seminggu aku di kampung, di rumah bapak dan ibu. Sesuai rencana aku akan balik ke rumah Mas Andre, tujuannya bukan karena aku mau memaafkannya. Akan tetapi, ingin mencari bukti kekerasan yang Mas Andre lakukan. Bapak memberikan sebuah ide yang bagus, semua itu demi memuluskan perceraianku. Apalagi aku punya sebuah restoran mewah, bila diketahui Mas Andre dan keluarganya bisa gawat. Mereka pasti akan mempersulit rencana yang sudah kususun. "Ratih, bagaimana? Apa hari ini kamu mau pulang atau Andre yang akan menjemput?" tanya Ibu menepuk pundakku. Tepukan ibu menyentak lamunanku, masih berfikir apakah harus aku yang pulang. Tapi kalo aku yang pulang Mama dan mbak Rina pasti mengira aku mengemis minta balik. Padahal niatku bukan seperti itu, ah bagus suruh Mas Andre saja yang menjemput. "Bagaimana, udah kamu pikirkan, Nak?" tanya bapak yang ikut duduk di sampingku. "Menurut Ratih, Mas Andre aja yang jemput Pak, Bu. Tapi kalian harus berpura-pura nggak tau kejadian dalam rumah t
"Ibu dan bapak udah siap makan, kalian lanjutkan makannya. Ambil lagi kalo kurang ya, Nak Andre," kata ibu sambil berdiri dan berjalan ke depan. Sepertinya bapak dan ibu memberi kesempatan pada kami untuk berdua. Agar Mas Andre tidak canggung, kulihat dia makan dengan lahap. Rasa kasihan terbesit melihatnya, apakah seminggu ini dia tak terurus. Aku tiba-tiba merasa bersalah sebagai istri. Seandainya Mas Andre sedikit saja mau mendengarkanku pasti aku lebih menurut padanya. Akan tetapi, semua karena kelakuannya sendiri hingga dia harus kena akibatnya. "Dek?" panggil Mas Andre, ya dia dulu selalu memanggilku begitu sebelum berubah. "Hem." "Bapak dan ibu ___" "Nggak marah? itukan yang ingin Mas tanya?" potongku cepat. Mas Andre mengangguk. "Mas pikir mereka akan marah dan menghajar, Mas. Makanya tadi Mas sedikit ragu dan takut." "Mereka nggak marah, karena aku nggak cerita," ucapku berbohong. Mas Andre menghela nafasnya, sepertinya dia lega aku tidak cerita. Asal kamu tau Mas da
"Ini mobil siapa, Mas? tanyaku heran setelah mobil berjalan meninggalkan rumah orang tuaku. "Mobil kita, gimana kamu suka?" tanyanya sambil melirik ke arahku. "Darimana Mas punya uang membeli mobil ini?" tanyaku kaget. Ya harga mobil ratusan juta, dengan gaji Mas Andre tidak mungkin dia bisa membeli mobil. "Mas mengambil pinjaman di Bank, ini juga atas permintaan Mama," ucapnya tersenyum. "Apa?" kataku kaget, tiba-tiba saja mendadak kepalaku pening. Baru saja Mas Andre setuju tentang pembagian jatah belanja, sekarang malah menambah masalah lagi. Sepertinya selama masih tinggal berdekatan dengan mertua, masalah akan terus timbul. Aku menghembuskan nafas kasar, bodohnya aku kenapa tidak kutanyakan dulu tentang mobil ini. Kupikir hanya jatah belanja saja yang perlu diperbaiki tapi kini ... Bagaimana nanti Mas Andre membayar angsuran perbulannya. "Mas, kamu kok nggak bilang-bilang aku sih kalo mau beli mobil?" tanyaku protes. "Abisnya kamu kan di rumah orang tuamu. Aku nggak enak
Aku tidak menggubrisnya, lalu berjalan ke bagasi mengambil koper. Kentara kali kelakuan mbak Rina seperti orang kampung, yang tak pernah punya mobil. Bisanya cuma mengatai aku orang kampung, kini yang terlihat malah sebaliknya.Setelah menurunkan koper lalu menyeretnya masuk ke dalam rumah. Mbak Rina masih sibuk mengelus mobil diikuti Mama. Aku berbalik melihat mereka dan menatap sinis. Baru mobil sedan saja sudah belagu, masih kalah dengan mobilku. Oh ya kemarin waktu pulang aku menaiki mobil yang dijemput Nova. Mungkin karena itu Mama minta Andre membeli mobil. Aku mengernyitkan dahi, apa Mama curiga kalo itu mobilku? Tapi dia tidak ada mengatakan soal itu, ah semoga saja Mama tidak tau dan anggap itu mobil online yang menjemputku. "Ratih!" teriak Mas Andre dari dalam rumah. Bergegas aku masuk, gegara terus memperhatikan duo resek itu aku jadi kelamaan masuk rumah. Langkahku terhenti kala masuk kamar, Mas Andre sudah berdiri dengan tatapan marah. "Kenapa lama kali, hah? Apa ka
"Baik, Bu. Akan Nova laksanakan, oh ya Bu. Entah ibu mau dengar ini atau nggak," kata Nova gugup. "Katakan aja, Nov," kilahku. "Itu, Bu. Anu ...," Nova tergagap. "Anu apa Nov? Bilang aja, saya nggak marah," kataku tegas. "Itu, Bu. Selama ibu di kampung, bapak beberapa kali ke restoran makan," ucap Nova perlahan menanti reaksiku. "Trus? Apa bapak tau kalo itu restoran saya?" tanyaku cemas. Jangan-jangan Mas Andre sudah mengetahui bahwa aku yang memiliki restoran itu. Gawat, bisa habis diporoti mereka nanti. "Bu, kok diam? Ibu nggak senang bapak makan di restoran?" tanya Nova bingung. "Nggak, saya nggak masalah. Lalu apa yang salah?" tanyaku masih tak mengerti. "Bapak ke restoran dengan wanita, Bu." Deg! Benarkah? Berarti pesan dan panggilan di ponsel Mas Andre benar. Kalo Mas Andre telah selingkuh dan sudah berani jalan ke restoranku. Dengan wanita? "Nov, apakah CCTV restoran aktif saat itu?" tanyaku penasaran ingin tau seperti apa wanita itu. "Aktif, Bu. Setiap buka sampa