Adrian pergi meninggalkanku setelah Nadhira siuman. Aku merasa bersalah padanya. Apa lagi yang bisa aku ucapkan pada Adrian selain kata maaf. Seharusnya aku berterima kasih padanya, karena ia telah menolong istriku saat aku tidak ada. Namun, aku malah memukulinya karena rasa cemburuku.
Nadhira sudah lebih baik. Aku membawanya pulang dan saat ini ia sedang tidak ingin berbicara denganku.
Aku mengerti dengan suasana hatinya saat ini dan aku tidak ingin mengganggunya. Kubiarkan ia menenangkan diri di dalam kamar.
Setelah cukup lama, barulah aku ke kamar dan membawakan makanan untuknya. Hingga malam menjelang, ia belum mau makan. Aku khawatir akan kesehatannya juga janin yang dikandungnya.
Ah... rasanya seperti mimpi. Akhirnya aku akan mempunyai anak dari Nadhira, istri pertamaku yang sangat aku cintai.
"Sayang!" panggilku sambil membuka pintu dengan susah payah dan perlahan karena kedua tanganku membawa nampan yang di atasnya ada semangkuk bubur
"Saya duluan, ya, Bapak, Ibu," pamitku pada rekan-rekan seprofesiku. Mereka sedang asyik menikmati rujak yang dibelikan Rania untukku. Namun, aku hanya mencicipi sedikit saja karena tidak kuat dengan rasa pedasnya. "Hati-hati di jalan, Nad! Jaga baik-baik kandunganmu dan pelan-pelan bawa motornya!" Salah seorang seniorku, Bu Mira, mengingatkan. Rekan kerjaku di sekolah sudah tahu kalau aku sedang hamil. Untuk kabar gembira ini, tentu aku tidak menutupinya. "Iya," jawabku singkat lalu keluar ruangan. Aku baru saja selesai melaksanakan tugasku di sekolah. Hari ini acara pengajian walimatus shafar ibunya Mas Yusuf yang akan pergi umroh beberapa hari lagi. Aku memutuskan untuk langsung saja ke rumah ibu mertuaku sepulang sekolah siang ini. "Kamu mau kemana, Nad? Kok buru-buru?" tanya Rania saat kami berpapasan di pintu masuk ruang guru. "Aku mau ke rumah ibu mertuaku. Ada acara di sana," jawabku sambil berjalan ke lapangan parkir yang ber
Hari menjelang malam, kumandang adzan Maghrib sudah lewat beberapa menit lalu. Setelah solat, aku masih berada di dalam kamar mertuaku sedang memakai kerudung. Saat aku hendak keluar kamar, tiba-tiba kudengar obrolan ibu-ibu di luar kamar yang membicarakanku. "Kasihan, ya, Mbak Dira, harus dimadu sama suaminya. Padahal mereka nikah belum lama, loh. Malah sekarang istri muda suaminya lagi hamil, tapi Mbak Dira belum hamil juga," ucap salah seorang wanita. Aku berdiri sambil melihat mereka dari balik pintu yang sedikit terbuka. Mereka tengah duduk di lantai membentuk lingkaran dengan dus-dus kecil dan kue-kue di depannya. Kue-kue itu dikemas ke dalam dus kecil tersebut. Ada juga yang sedang mengemas nasi kotak ke dalam plastik kresek. Semua itu untuk bingkisan para tamu. "Iya, ya, kasihan," sahut yang lainnya. "Apa karena Mbak Dira belum hamil, jadi Mas Yusuf nikah lagi. Jangan-jangan Mbak Dira...." Wanita itu menggantung kalimatnya.
Aku masih belum percaya dengan apa yang dilakukan Naura padaku saat di dapur tadi. Saat ini, ia tengah duduk manis di sofa sambil memainkan ponsel dan tampak senyum-senyum sendiri. Entah apa yang ia lihat di layar ponselnya.Aku tengah membereskan ruangan yang baru saja dipakai untuk acara pengajian. Mas Yusuf membantuku menggulung karpet kemudian menyimpannya di kamar belakang. Para tetangga sudah pulang, karena mereka membantu sejak pagi. Jadi, kami dan saudara-saudara Mas Yusuf yang membereskan sisanya. Saat semuanya sudah rapi dan bersih, akupun ke kamar Bu Ranti, ibu mertuaku, untuk pamit pulang. Sebelum aku masuk, kuketuk pintu kamarnya yang sedikit terbuka.Tok! Tok!"Ibu, boleh aku masuk?" tanyaku meminta izin seraya menjebulkan kepalaku."Nadhira ... masuklah, Nak!" sahut ibu.Akupun segera masuk dan kulihat ia sedang sibuk memasukkan barang-barang bawaannya ke koper. Aku duduk di sisi tempat tidur dan ikut membantunya."Alham
"Non!" panggil Bi Ira yang baru saja dari luar. "Ya, Bi, ada apa?" sahutku. Bi Ira bergegas menghampiriku yang sedang menikmati sarapan. "Di depan sepertinya ada mobil Mas Adrian," kata Bi Ira seraya ibu jari menunjuk ke arah luar. "Adrian? Bukankah semalam dia sudah pulang?" gumanku dengan kerutan tercetak di dahi. "Ya, sudah, Bi, biar aku lihat," ucapku. Aku meletakkan roti sandwich yang baru kumakan setengah ke atas piring lalu bergegas keluar untuk melihatnya, sedangkan Bi Ira melanjutkan pekerjaannya di dapur setelah tadi ia keluar rumah untuk membuang sampah. Ternyata benar, Adrian menepati perkataannya semalam, ia datang menjemputku. Kulihat mobil Avan*a silver yang terparkir di depan pagar rumahku memang mobilnya. Kulirik jam di pergelangan tangan. Baru jam 6 lebih 10 menit, tapi dia sudah sampai di rumahku. Entah jam berapa dia berangkat? Padahal jarak rumahnya ke rumahku cukup jauh, belum lagi jalanan yang macet. Aku keluar p
Aku sedang berada di ruanganku. Aku tengah mengerjakan pekerjaan Naura dan menggantikan tugasnya memeriksa beberapa berkas penting yang berhubungan dengan kelangsungan perusahaan. Perusahaan yang bergerak di bidang industri itu harus ia kelola setelah ayahnya meninggal dua tahun lalu akibat sakit yang dideritanya.Namun saat ini, istri keduaku itu sedang cuti dari pekerjaannya. Ia tidak boleh capek. Apalagi jarak dari rumah ke kantor kami cukup jauh. Butuh waktu tempuh hingga satu setengah jam karena jalanan kota Jakarta yang selalu macet. Kasihan bila ia masih harus bekerja di tengah kehamilannya yang membesar. Ia pun akan kelelahan saat di perjalanan. Karena itu, aku menyuruh Naura untuk beristirahat saja di rumah. Lagipula perkiraan kelahiran anak kami yang pertama, tidak lama lagi.Ah, aku tidak sabar menantikan kelahiran bayi mungil yang diperkirakan berjenis kelamin perempuan.Di tengah kesibukanku menelaah berkas-berkas di meja, dering ponselku mema
Naura sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP, ruangan dengan fasilitas yang lengkap. Satu ranjang pasien berukuran besar yang di sampingnya ada sebuah nakas. Sofa panjang dan meja kaca di depannya, lemari besar tempat menyimpan pakaian, sebuah televisi layar datar yang menempel di dinding, juga lemari pendingin berisi makanan, ikut memenuhi ruangan yang luas dan berkelas itu. Kamar rumah sakit bak hotel. Ruangan itu pun dilengkapi kamar mandi yang super bersih. Saat memasuki ruangan terasa dingin, karena air conditioner yang menyala. Aku pikir, Naura akan merasa nyaman selama proses pemulihan pasca operasi.Kondisi Naura mulai membaik. Namun, aku belum bisa meninggalkannya sendiri, karena baik ibuku ataupun mamanya Naura belum datang ke rumah sakit untuk menggantikanku. Jika sudah ada mereka yang menjaganya, aku bisa pulang ke rumah untuk berganti pakaian.Aku dan Naura tengah berada di ruang rawat itu. Saat ini, kami sangat menikmati peran baru kami menjadi orang tua. N
Bugh. Tubuhku tersungkur ke lantai setelah seseorang mendaratkan pukulan ke wajahku. Aku menoleh pada sosok yang dengan cepat menarik tubuhku hingga aku berdiri. "Kau memang laki-laki yang tidak punya perasaan, Yusuf! Sampai kapan kau terus menyakiti Nadhira? Kalau kau sudah tidak menginginkannya lagi, lebih baik lepaskan dia!" bentaknya sambil mencengkram kerah kemejaku. "Adrian!" ucapku sambil menahan cengkraman tangannya, mencoba membuat perlawanan pada lelaki itu. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba ia marah dan mengapa juga ia ada di rumahku saat aku tidak ada? "Apa maksudmu, Adrian? Mengapa kau tiba-tiba memukulku? Sedang apa kau di sini? Mana Nadhira?" tanyaku sambil melihat ke dalam mencari Nadhira. "Untuk apa kau menanyakan dia? Bukankah kau sudah tidak peduli padanya?" Adrian malah balik bertanya. "Aku suaminya, tentu saja aku peduli pada istriku dan aku ke sini untuk membawa Nadhira ke dokter karena dia sedang sakit
Aku masih berada di klinik bersalin tidak jauh rumahku. Bi Ira menemaniku yang sedang menunggu Andrian mengurus administrasi pembayaran selama aku dirawat semalam di klinik tersebut. Karena tidak ingin berlama-lama di tempat itu, aku pun meminta Adrian agar mengurus kepulanganku. Setelah keadaanku membaik, bidan yang menanganiku, mengizinkan aku untuk pulang. Kebetulan sekali, kemarin Adrian ke rumahku. Entah mau apa lelaki itu datang ke rumah dan aku belum menanyakan maksud kedatangannya. Namun, itu tidak penting bagiku. Aku bersyukur, Adrian datang dan menolongku di saat yang tepat. Ia begitu panik ketika melihatku kesakitan dan wajahku yang mulai pucat. Dengan cepat, ia membawaku ke klinik terdekat. Setelah Adrian selesai mengurus biaya administrasi persalinanku, kamipun segera pulang. Aku dan Bi Ira sudah berada di mobil Adrian. Wanita paruh baya itu dengan setia menemani dan menjagaku. Sepanjang jalan, ia menenangkan diriku dan memint