Share

3. Dirundung Dilema

PoV Syahdan 

**

Sepasang netra Ummi memandang tajam kami berdua yang sedang bertikai. Lebih tepatnya kami saling mempertahankan pendapat masing-masing. Di mana istriku Naya kekeuh minta berpisah sementara aku ingin bertahan. 

Harusnya Naya paham, mengapa aku bertahan? Aku bertahan untuk sebuah kehormatan. Kehormatan Abi dan Ummi serta masyarakat yang percaya pada kami dimana anak-anak mereka dititipkan disini untuk menimba ilmu. 

Jiwa muda ini memang sulit dibendung, aku yang dipaksa dewasa dan tidak ada yang memahami diriku. Aku kehilangan masa mudaku, aku kehilangan itu.

Aku dituntut dewasa dan mereka semua tak ada yang paham termasuk Naya. Hanya Vika yang mau mendengar keluh kesah ku. Dia tak banyak menuntut ku ini dan itu. Aku menikmati bersamanya hanya untuk bersenang-senang saja. 

Ummi mendekat membuat degup jantungku semakin berulah. Ku tatap Naya yang nampak tenang. 

"Naya, Syahdan apa yang kalian ributkan? Naya, kenapa kamu membuka aib suamimu sendiri? Kamu tahu dosa hukumnya membuka aib suami kamu. Kamu hapus story WA itu!" bentak Ummi pada Naya.

Istriku itu sedikit terkejut dibentak Ummi namun dia berusaha tenang. Dihirupnya oksigen dalam-dalam.

"Ummi tahu alasanku, selama ini aku sabar Ummi, aku yang selalu disudutkan. Aku yang disalahkan. Aku yang dipertanyakan. Kenapa Naya sendiri?Kenapa tidak ditemani suami mengantar anak dan kenapa aku harus berjuang sendiri saat aku sakit?

Saat anak sakit kenapa aku sendiri menjaga dan mengantar ke rumah sakit? Aku punya suami seperti tidak punya suami, Ummi. Kesalahan terbesar Mas Syahdan, Dia selingkuh lagi dan punya pacar baru. Aku gak bisa memaafkan yang namanya penghianatan. Ummi pasti tahu perasaanku!" kata Naya dengan suara bergetar.

Aku merasa tersudut saat istriku membongkar semua kebusukan ku. Ummi kemudian memandangku dengan raut gusarnya. 

"Naya, seharusnya kamu paham kalau suami kamu itu sibuk. Dia adalah calon pengganti Abi. Syahdan khilaf saja, Naya. Tidak seperti yang kamu sangkakan. Ummi yakin wanita itu hanya teman dia saja. Karena Syahdan pernah berjanji tidak akan mengulangi lagi kesalahannya.

Saat ini yayasan sekolah kita akan menerima murid baru. Ummi gak mau karakter Syahdan terbunuh dengan adanya postingan kamu. Jangan kamu sebar lagi Naya, pahamilah perasaan Ummi sekeluarga."

Ummi berusaha tenang menghadapi Naya yang keras. Walau aku tahu dia jengkel setengah mati akan sikapku. Tetapi Naya nampak tak terima, dia tersenyum getir memandang Ummi dan lebih mirip senyum mengejek. 

"Mengapa harus selalu dia yang harus aku pahami, dia calon penerus Abi namun Mas Syahdan tidak pernah serius. Pernah Ummi tahu dia main game sampai larut. Cekikikan sambil menelepon seseorang dan aku gak tahu itu siapa. Dia ada waktu buat dirinya dan temannya namun dia gak ada waktu buat aku dan Ahmad. Suami seperti itu apakah layak ku pertahankan, Ummi?" 

"Naya, semua fasilitas sudah kamu terima. Seharusnya jadi istri itu kamu harus bersyukur. Ummi juga menyalahkan Syahdan akibat dia tidak tanggung jawab secara batin sama kamu namun kebutuhan lahir mu sangat berlebihan diberikan. Kamu harus sabar, Naya. Kita jadi istri itu harus banyak sabar!" kata Ummi masih berusaha membelaku dan meyakinkan Naya.

"Terlampau sakit rasanya punya suami namun suami mendua seperti ini. Aku udah tak bisa bersabar lagi. Aku punya hati, Ummi. Aku memang butuh materi tetapi aku juga butuh dia sebagai suamiku. Jika pun Mas Syahdan tak mau berpisah maka lebih baik aku saja yang mengajukan pisah!" kata Naya menatap tajam diriku.

Aku tak habis pikir dengan dia. Seharusnya dia kalem saja saat Ummi menasehati namun dia menjadi pembangkang dan entah apa yang mengubahnya menjadi seperti ini. 

"Naya, kamu sadar Abi sakit. Kamu sadar. Apa kamu mau lebih memperburuk suasana dengan begitu kondisinya menjadi semakin drop.

Oh, Naya ummi dengar kamu konsultasi segala ke pakar pernikahan tentang rumah tangga kalian. Banyak yang nanyain Ummi, banyak yang chat Ummi bertanya tentang rumah tangga kalian. Gara-gara saran mereka kamu minta pisah, iya Naya? Apa yang ada dipikiran kamu sehingga kamu bersikap seperti itu sama suami kamu sendiri?"

Ummi masih mempertahankan pendapat agar Naya berubah pikiran untuk tidak minta pisah dariku. 

"Mas, aku udah gak sanggup ngadapin kamu dan Ummi. Kamu gak kasihan sama Ahmad?"

Naya bertanya padaku mungkin lelah menjawab pertanyaan Ummi yang bertubi-tubi. Aku menghela napasku berusaha tenang. Walau semua kerusuhan ini akulah dalang nya. 

"Ummi, lebih baik kita duduk saja dulu. Mari Nay, cairkan suasana dulu dan kita hadapi dengan kepala dingin." 

"Syahdan, kamu tahu gara-gara kamu. Banyak kerugian yang didapatkan. Travel kita akan kosong kalau mereka tahu orang yang diteladani seperti kalian berdua ternyata menyimpan duri dalam pernikahan. Kamu putuskan hubungan terlarang kamu jika ada dan kamu balik lagi sama Naya, paham kamu!"

Kali ini omelan Ummi tertuju padaku, aku tak habis pikir dari mana Naya tahu tentang Vika. Padahal kami bertemu secara sembunyi-sembunyi tetapi akhirnya sebuah bangkai tercium juga. 

"Iya Ummi, Syahdan bisa pastikan kalau Naya salah. Hmm… Nay aku tak sengaja pegang tangannya karena ada kotoran disela tangannya jadi aku bantu membersihkannya dan di sana ramai, Nay, wanita itu bukan pacarku. Dia juga sudah punya calon suami dan itu temanku yang hobi juga nonton bola," kataku membela diri dengan gusar.

Walau kalimat ku belepotan aku gak peduli yang penting aku ingin damai saja saat ini tak mau dipersalahkan. Kasihan Abi bila dia tahu maka akan menggoyang fasilitas ku dan segala kenyamanan yang ku punya.  

"Kamu berdusta padaku. Aku tahu kamu membohongiku. Ummi, kenapa yang salah harus dibela. Bagaimana jika Ummi ada di posisiku Apakah Ummi akan bertahan menghadapi ini?!" tanya Naya yang masih tidak bisa terima atas sikapku.

Dia marah pada Ummi karena terkesan mempertahankan reputasi demi sebuah penilaian yang dianggap luar biasa padahal ada bangkai yang ditutupi.

"Naya, kamu gak pernah tahu rasanya menjadi Ummi. Seujung kuku kamu gak tahu. Sekarang supaya kamu tahu, mari ikut Ummi."

Ummi menarik tangan Naya untuk ikut dengannya. Aku pun merasa heran kemana Ummi ingin mengajak Naya. 

"Apa sih Ummi. Lepasin aku!" Naya berontak tak terima. 

"Syahdan kamu juga ikut!"   

Ummi memaksa kami pergi dan mengikutinya. Entah untuk tujuan apa. Naya beserta aku akhirnya ikut walau dengan keadaan terpaksa Naya mengikuti Ummi.

**

Kami tiba di rumah sakit setempat. Kami bertiga berjalan dengan satu tujuan ke kamar Abi. Ummi hanya diam saja dari tadi, entah apa yang dia pikirkan. 

"Assalamualaikum, Abi," ucap Ummi di telinga Abi saat kami sampai. Dia tertidur pulas dengan selang infus dan alat kesehatan lainnya. Ummi mendesah dan membiarkan Abi tertidur seperti itu. Ada banyak saudara yang menjaga di sana, semuanya khawatir akan kondisi Abi. 

Sesaat Naya tampak lesu ketika harus dihadapkan dengan kondisi sakit Abi. Sudut matanya berair, aku tak tahu apakah dia menangis karena kasihan pada Abi atau karena dia saat ini tak bisa pisah dariku. 

"Shaydan."

Abi terbangun saat beberapa lama kami tunggu dia. Suara serak khas milik Abi membuat senyum diraut wajahku. Sosok Ayah yang tegas yang selalu memanjakan aku. 

"Abi."

Aku membantunya, diikuti Umi dan di sana Naya masih diam mematung dengan tatapan kosong. 

"Mana cucu Abi, Nak. Sudah lama tak ke sini. Abi rindu," ucapnya dengan suara parau. 

"Di rumah, Abi. Sudah tidur, besok akan Syahdan bawa ya," kataku menenangkan hatinya. Abi mendesah menahan rasa sakit yang mendera karena kondisi yang cukup parah. Dia didiagnosa dokter terkena kanker darah high risk dan harus sering kemoteraphy

"Naya, apakah Syahdan banyak menyakiti kamu?" tanya nya tiba-tiba pada Naya. Naya terkesiap dan dia tidak bisa membohongi diri kalau hatinya banyak ku lukai. Dengan gelengan dia mendesah kecil. 

"Mas Syahdan tidak menyakitiku, Abi," ucapnya dengan parau.

Aku merasa bagai dipukul balok kayu karena ucapan Naya adalah sebuah keterpaksaan. Naya merasa hancur disana dan dia beranjak pergi dengan hati terluka. 

"Maaf, Abi," ucapnya meninggalkan ruang privat rumah sakit itu. Abi menjadi bingung karena sikapnya.

Sampai Naya di luar, Ummi, mengejar begitupun dengan aku. 

"Naya, kamu lihat kondisi Abi. Sudah lama dia menderita sakit. Apa kamu tega melukai hatinya dengan perceraian? Untuk saat ini hanya ini yang bisa Ummi tunjukkan karena ada masalah yang lebih besar dari itu yang Ummi belum siap siapapun tahu!"

Dahiku mengernyit dan aku tak paham maksud Ummi? Naya masih diam saja tak terima keputusan itu. Hatinya menolak untuk bersamaku. 

"Baiklah, kamu pikirkan saja dulu. Ummi mau kesamping Abi dan menemaninya. Ummi harap untuk saat ini kamu paham," kata Ummi berlalu. Naya tetap diam mematung disana. 

Sesaat aku menjauh karena gawai ini bergetar. Aku mengangkatnya setelah memastikan sudah jauh dari Naya yang dari tadi menghayal seorang diri itu. 

"Halo," bisik ku.

"Mas, ada pertandingan bola lagi nih, cepat kamu ke sini, Mas. Udah mau tayang nih," ucap Vika.

Aku mendesah, malam sudah semakin larut dan aku lupa kalau janjian sama teman-teman buat nonton bareng gara-gara nungguin Naya pulang. 

"Iya, nanti aku ke sana. Sebentar ya," ucapku berbisik,

Aku pun berbicara sesaat dengan Vika. Berbicara dengannya akan membuat aku lupa dengan masalahku. Saat sambungan telepon terputus. Aku menoleh dan melihat Naya di belakangku.

Aku terlonjak dan sudah berapa lama dia disana. Naya mendengkus marah menatapku tajam, dia kemudian berlari setelah melihat sendiri kelakuan ku dibelakangnya. 

"Naya!" panggilku, namun dia terus berlari.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yung
itu kan kalian yg berulah tak mau di salah kan,istri mna ug bisa terima penghianatan seperti itu,biar dia pergi naya ikuti daro belakang dia nongkrong kau pun ikut nongkrong
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status