Share

6. Pura-Pura Bahagia

Story W* Istriku bag 6

**

PoV Syahdan.

"Abi." Suara puteraku membuatku terkejut. Dia menatapku lama dengan penuh kerinduan. Ah, sudah lama rasanya aku dan Naya tidak jalan berdua. 

Kami jalan berdua hanya sebagai sebuah citra semata. Terakhir dua bulan yang lalu aku dan Naya berjalan bersama putera kami saat opening Resto jepang milik Mama mertuaku. Selebihnya tidak pernah. 

"Ahmad," kataku memeluk puteraku itu, dia sedikit ragu namun aku berusaha mendekatinya. 

"Sini, Nak," ucapku padanya dengan ragu dia mendekat dan aku segera menggendongnya.

Naya dan Lala juga terkaget dengan kedatanganku. Terutama Lala yang sempat memberi saran yang tidak baik membuat wajahnya terasa tak enak.

"Eh, udah lama disana Mas Syahdan," katanya kikuk padaku.

Aku hanya memasang wajah datar sementara Naya melihatku dengan tatapan benci padahal aku suaminya. Seharusnya aku yang benci padanya karena story nya yang mengesalkan itu banyak yang sinis padaku. Apalagi story nya mengarah kalau aku bukan suami yang bertanggung jawab.

Padahal Naya tahu betul kalau aku tak pernah mangkir memberinya uang yang full untuk kebutuhan rumah tangga kami ditambah asisten buat nya serta baby sitter buat Ahmad dan lagi pembantu di rumah untuk mengurus segalanya.

Dia tinggal ongkang-ongkang kaki saja banyak tingkah. Apa lagi yang dia mau dariku jikapun semua sudah kuberikan. Aku mendengkus kesal padanya melihat dia sebagai istri tidak bersyukur. 

"Ahmad, sini Nak," ajak Naya. Dengan gesit Ahmad minta turun dariku. Putera semata wayang ku itu mendekati Naya. 

"Naya, apa-apaan kamu ini. Bukankah dia anakku juga!" kataku kesal padanya, dia berupaya menjauhkan aku dari Ahmad. 

"Ngapain kamu kesini?" sahutnya ketus. 

"Ummi suruh aku menjemputmu disini,  penyakit Abi sudah high risk, bisa saja naik lagi dan tambah parah. Sebaiknya kita sekeluarga kesana buat memberi dukungan padanya. Melihat kita berkumpul akan membuatnya bahagia," ujarku memberitahu maksudku kesini. 

"Maaf aku gak bisa," sahut Naya enteng. Aku merasa meledak mendengar ucapannya. Naya memanggil Asih baby sitter Ahmad. Asih mengajak anakku untuk bermain ketempat lain. Mungkin Naya tak ingin anakku mendengarkan pertengkaran ku dan dirinya.

"Naya, kamu itu istri gak bersyukur sama sekali. Apa yang kamu mau, Ha! Tidak bisakah kamu melakukan hal yang baik buat Abi?!" 

"Hal baik apa maksudmu? apa pernah kamu melakukan hal baik untukku? Untuk Ahmad? Kamu hanya mikirin dirimu sendiri dan kamu seperti anak kecil!" balasnya dengan sengit. Lala merasa tak enak hati disana mendengar pertengkaran kami. 

"Nay, aku balik dulu nanti kita ketemu lagi. Jaga diri ya," ujarnya beranjak pergi. Dia bahkan ragu melihatku. Setelah kepergian Lala wajah Naya semakin ketus saja. 

"Anak kecil? kamu yang kekanakan. Mengapa kamu harus meng-upload sesuatu yang tidak penting? Itu bisa mengganggu reputasi ku!" Aku memandang Naya sengit.

Aku sangat kesal dengan story-story yang dia upload dan dijadikan konsumsi banyak orang. 

"Tidak penting darimana? Mereka semua bertanya mengapa aku sebagai wanita bersuami tetapi aku bagai tak bersuami. Aku merasa miris. Hidupku miris karena aku dan Ahmad bukan prioritas mu. Padahal aku melayani mu dengan baik.

Aku butuh suami, namun suamiku lebih memilih melakukan hal-hal yang tak penting. Sama sekali tak penting. Kamu tahu, hatiku sakit kala aku harus tahu kamu membagi diri dengan wanita lain." Naya berkata menggebu mengungkit lagi kesalahanku.

Selalu dia melihat salahku, apakah dia tak pernah melihat kebaikanku. 

"Naya, mengapa kamu selalu melihat kesalahan dan kekuranganku. Padahal kamu pun juga punya salah dan kurang. Mengapa kau selalu mengungkit masa lalu. Bukankah itu hanya kekhilafan, aku sudah minta maaf. Andai kamu tahu saat itu aku dijebak."

Aku membela diriku dihadapannya. Masalah dulu selalu dijadikannya senjata untuk menyerang ku.

"Aku mau bertanya padamu. Apa salah dan kurang ku padamu sebagai istri dan Ibu dari Ahmad? Apakah jika aku yang melakukan kesalahan fatal padamu kau akan memaafkan ku, Mas. Terlalu banyak sakit yang kau torehkan untuk hatiku." 

Aku mencebik kesal padanya. Namun melihat wajah muramnya sesaat otakku ku ajak berpikir. Apakah salah dan kurang Naya selama ini? Sama sekali tak ada, bahkan dia wanita mandiri walaupun aku memberikan segalanya untuknya. Dia hanya menggunakannya seadanya.

Karena Naya juga bekerja dan dia punya brand hijab sendiri serta brand tas sendiri. Kekurangannya hanya satu, Naya tak memberikan kebebasan padaku, mengungkit masa lalu dan istri tak bersyukur. 

"Kau hanya istri tak bersyukur Naya!" 

"Mas, boleh aku ingatkan padamu perkataanmu padaku saat kamu merayuku agar di malam pertama aku meyerahkan diriku ke kamu. Kamu bilang kamu akan memperlakukan ku bagai ratu, aku akan menjadi satu-satunya wanita mu yang kamu sentuh, kamu akan mengajakku meraih ridha Allah dan kamu akan mengajariku agama.

Kamu akan jadi pemimpin yang baik untukku. Apa kenyataannya. Kamu berdusta padaku, sekarang apa salahnya aku sebut kamu pembohong." Naya kembali mengenang masa lalu yang hampir enam tahun yang lalu dimana aku berkata padanya sebagai pengantinku.

Perkataan yang manis untuk merayunya dan sampai sekarang dia masih mengingatnya. 

"Itu hanya masa lalu, Naya. Dan orang hidup itu berubah-ubah." 

"Aku tak sangka kau lupa dengan janjimu, walau itu masa lalu namun aku anggap itu perkataan manis suami yang sayang ke istrinya. Tetapi semua palsu dan kamu membohongiku. Mas, aku merasa sakit.

Aku akan akhiri ini. Mama juga sudah setuju dengan keputusanku.

Aku akan layangkan ke Pengadilan agama. Berpisah menyakitkan namun harus demi kebaikan." Kata Naya dengan suara bergetar.

Aku tahu dia merasa sesak karena menyimpan batu berukuran besar dalam dirinya dan dia semburkan batu itu padaku saat ini untuk menyerang ku. 

"Cukup omong kosong itu. Aku juga tersiksa selama bertahun-tahun. Aku tersiksa karena sesungguhnya tak ada cinta di hatiku. Aku berusaha terbaik untukmu namun kamu hanya melihat kekuranganku," kataku begitu saja karena aku marah padanya sehingga ku keluarkan isi hatiku. 

"Baik, mari kita akhiri ini, Mas." Naya tampak kecewa padaku.

Ku tatap wajahnya. Dia berusaha keras menahan genangan air di pelupuk mata. Apakah dia mencintaiku, sehingga dia merasa terlalu sakit seperti ini. Walau aku tak tahu rasaku ke dia seperti apa. Namun mengapa hatiku juga sakit kala dia berkata akan mengakhiri? 

"Iya kita akan akhiri ini. Namun tak sekarang, mengertilah keadaan yayasan dan kondisi Abi. Setelah semua berjalan baik kita bisa bicarakan Nay. Aku minta sama kamu jangan ada lagi perdebatan. Ummi sangat ingin kita bersama, mohon mengertilah Nay," kataku dengan suara pelan. Aku berusaha agar Naya tak marah dan menerima. 

"Jadi kita mesti hidup dalam ke pura-pura an. Selama ini semua juga hanya pura-pura," katanya dengan suara bergetar. 

"Maafkan aku, Nay. Aku mohon kita pergi ke rumah sakit bersama Ahmad. Kakeknya merindukan cucunya," ujarku lagi. Naya tak bergeming. 

**

Dengan segala cara akhirnya Naya mau juga datang ke rumah sakit. Sang Mama turut dipanggil Ummi ke rumah sakit buat melihat kondisi Abi yang semakin gawat. Dengan bujukan Mama nya akhirnya Naya mau datang kesana beserta Ahmad putera kami. 

"Naya."

Sampai disana Ummi memeluk Naya, entahlah namun Ummi berusaha keras untuk yayasan dan menjaga marwah ku sebagai pemimpin yang layak menggantikan Abi. Naya tampak datar. 

"Alhamdulillah kamu mau kesini, Nak. Kamu sudah baikan sama Syahdan kan?" tanya Ummi lembut berharap Naya mau mengerti. 

"Bagaimana kondisi Abi sekarang?" tanya Naya dengan helaan napas. Aku tahu dia terpaksa. 

"Masih drop, Nay. Ummi kedalam sebentar."

Ummi berlalu setelah berbasa basi. Naya kemudian memeluk Mama nya, Mama mertuaku. Disana Mama mertua sudah menatap tajam diri ini. 

"Syahdan, Ummi lupa kalau kamu hari ini ada jadwal seminar. Seminar ini penting sekali, kamu didapuk sebagai pemateri. Kamu dan Naya hadir ya."

Ummi keluar dari ruangan dan memberi berita yang membuatku bingung secara tiba-tiba. 

"Saya gak bisa Ummi," ujar Naya dengan wajah datar. 

"Naya, please. Ini penting sayang dan masyarakat lebih bisa mengenal kalian," pinta Ummi dengan memohon. 

"Baiklah, Mi."

Aku akhirnya mengalah karena pasti Abi juga yang menyuruh melalui Ummi. Ku lirik Naya yang masih bagaikan patung disana. Tentu diri ini dilanda kesal. Sejurus kemudian saat aku hendak menarik tangan istriku. Gawaiku bergetar berkali-kali namun ku abaikan karena dari Vika. 

Vika tak hilang akal. Dia mengirimiku pesan yang membuatku netraku membola. 

[Beib, aku mau ke rumah sakit. Aku mau jenguk Abi. Calon mertuaku]

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status