Bab 157*****Bu Lidya pun menyodorkan video yang berada di dalam ponsel Yana ke hadapan Bu Linda. Mata Bu Linda membulat sempurna melihat video perbuatannya berada di dalam ponsel milik Yana."Maaf Bu Linda, saya tidak bisa membiarkan Anda menghancurkan reputasi saya. Jadi saya harus melakukan ini." Yana mengambil ponsel yang berada di hadapan Bu Linda dan segera memasukkannya ke dalam saku blazer nya.Akhirnya dengan penuh malu Bu Linda membereskan semua perangkat pengajarnya dan meninggalkan sekolah elit tersebut.Para majelis Guru yang melihat kejadian itu terheran-heran karena seharusnya Yana yang dipecat bukan Bu Indah.Bu Lidya selaku kepala sekolah segera menjelaskan kepada majelis Guru tentang kebenaran dari peristiwa pencurian tersebut."Wah Bu Yana hebat, ya, punya kamera tersembunyi," puji Bu Maya kepada Yana seluruh.Majelis Guru pun sependapat kalau Yana adalah perempuan yang cerdas.Yana mengulum senyum. Semua berkat bantuan Cinta karena Cinta yang telah meminjamkan kam
Bab 158*****Burhan segera menyalami Fikri dan menceritakan kepada Yana tentang keadaan Bu Wongso yang saat ini tengah sakit dan dirawat oleh warga."Mas mohon kepadamu untuk bersedia menemui Bu Wongso. Kasihan dia," ujar Burhan dengan penuh penekanan.Yana menoleh kearah Fikri untuk meminta persetujuan. Laki-laki Itu tampak berpikir sejenak lalu membuka percakapan."Abang izinkan kamu untuk berangkat ke Pati dengan syarat Abang, ibu, dan Dila ikut menemani kamu ke sana," sahut Fikri.Yana tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Fikri. Mereka pun segera berkemas karena hari itu kebetulan Fikri sedang libur dinas selama dua hari.Sesampai di Pati Yana terkejut melihat keadaan Bu Wongso yang kurus kering tinggal tulang. Perempuan yang dulu bermata tajam dan selalu menyakiti hatinya saat ini menatapnya dengan sendu dan penuh dengan uraian air mata.Yana meraih tangan Bu Wongso lalu menciumnya dengan takzim. Tidak ada kebencian di hati Yana terhadap mantan mertuanya itu. Yana masih
Suamiku milik ibunya."Yana! Yana!" Seorang perempuan paruh baya berteriak memanggil nama Yana. Perempuan tersebut adalah Bu Wongso, mertua Yana."Iya, Bu ..." Yana mendekati mertuanya."Kamu punya kuping, nggak sih! Kamu nggak dengar saya teriak-teriak?" Bu Wongso berkacak pinggang dengan tatapan sinis."Maaf, Bu … saya mengantar Mas Arif kedepan gang, Dila pengen lihat ayahnya berangkat kerja," ucap Yana sambil menundukkan kepala."Hallah, alasan saja kamu itu. Bilang saja, kamu gak mau saya suruh masak, kan?" Bu Wongso mengibaskan tangannya."Sekarang, kamu masak! Saya lapar. Jangan mentang-mentang kemaren ada Arif, kamu bisa jalan-jalan, ya …" lanjut Bu Wongso lagi."Baik, Bu …" Yana masuk kedalam rumah dan menurunkan Dila dari gendongannya.Bocah berumur 2 tahun itu sempat merengek, meminta gendong pada ibunya. namun, Yana membujuknya dengan lembut, sehingga Dila akhirnya duduk didepan televisi menonton kartun kesukaannya.Yana meracik bumbu dapur dan mulai memasak. Masakan Yana
"Ibu yang cerita sama Mas, Ibu bilang, banyak tetangga yang bilang ke ibu, kalau kamu jualan produk kecantikan, dan jualanmu laris manis." ujar Arif menyandarkan punggungnya di kursi."Tapi, Mas … itu uang untuk aku tabung," ucap Yana."Lagipula, uang yang Mas kasih tidak cukup, untuk keperluan kami …."Arif menggebrak meja, tatapannya tajam."Bagaimana mau cukup, kalau kamu sering makan diluar!" ujar Arif sembari menunjuk wajah Yana."Kamu tau, kan? Aku kerja jauh. Demi menafkahi kamu sama Dila. Tapi kamu malah enak-enakan makan diluar." Arif menggemelutuk giginya. Menatap tajam ke arah Yana, Arif merasa kesal karena Bu Nani bercerita kalau Yana suka membawa Dila makan di warung."Mas, aku membawa Dila makan kewarung waktu itu, karena Dila mau ayam goreng. Sementara aku belum belanja. Ibu tidak mengizinkan aku menggoreng ayam yang kamu beli." Yana bangkit dari duduknya dan membalas tatapan tajam Arif."Jangan menjelek-jelekkan ibuku, Ya!" Arif kembali menunjuk wajah Yana dengan telun
Semenjak tidak diizinkan kuliah dan mengajar oleh Bapaknya, Yana memilih bekerja sebagai pelayan restoran di sebuah rumah makan di kota Jambi. Yana hanya mampu bertahan selama 3 bulan. Karena terkadang, di restoran tersebut, Yana bukan hanya mengerjakan tugasnya, tapi juga pekerjaan lain kalau pengunjung sedang ramainya.Akhirnya, Yana memutuskan untuk balik kampung, tinggal bersama mbahnya di tanah Jawa. Karena tinggal di desa bersama Bapak dan ibunya, Yana juga tidak betah. Entah mengapa, bapaknya suka menjelek-jelekkan orang-orang yang Yana kagumi di desa. Menurut Bapaknya, orang-orang itu cuma sok, sok baik dan sok segalanya.Hari itu, Yana membulatkan tekadnya untuk kembali ke tanah kelahirannya. Tanah Jawa."Kamu baik-baik di sana. Bantu mbahmu menggarap sawah. Paling tidak, kamu bantu masak." Pesan kedua orang tua Yana ketika melepas kepergian Yana kembali ke tanah Jawa."Nggeh, Pak … Buk!" Yana menyalami kedua orang tuanya.Perjalanan menuju rumah Mbah Yana memakan waktu selam
"Bapak maunya kita langsung menikah, Mas … supaya keluargaku nggak bolak-balik lamaran dan nikahan," jawab Yana ragu-ragu."Ya, bagus dong! Berarti kita secepatnya bisa Halal!" Arif menggenggam tangan Yana dengan senyum terkembang."Tapi, aku belum mengenal orang tuamu, Mas. Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?" Yana kembali menundukkan kepalanya."Sayang, aku tidak perduli bagaimana tanggapan orang tuaku, yang penting, kita bisa menikah!" Arif mengangkat dagu Yana dan meyakinkannya.Hari yang ditunggu pun tiba, Arif membawa Ibunya ke rumah Si Mbah untuk melamar Yana.Ibunya Arif, Bu Wongso, turun dari mobil, dan memandang rumah Mbah Yana yang sederhana."Rif, kamu gak salah, bawa ibu kesini?" Bu Wongso menyikut lengan Arif."Nggak salah, Bu. Ini rumah Mbah Marijan, mbahnya Yana. Calon istriku," ucap Arif tersenyum kepada ibunya."Kamu itu, ya, ibu pikir kamu bakalan nikah sama anak ningrat atau anak pejabat, eh … taunya sama orang susah, rumahnya aja jelek begini," Bu Wongso cemb
"Terima kasih, Pak! " Jawab Arif tersenyum bangga.Di perjalanan pulang kerja, Arif membeli buah tangan untuk Istrinya.Arif bersiul bahagia dikarenakan, di kantor sedang ada kenaikan jabatan bagi karyawan yang disiplin, rajin, dan bisa menyelesaikan laporan dengan baik."Assalamualaikum." Arif mengucap salam."Wassalamu'alaikum, Mas … sudah pulang?" Yana menyambut Arif di depan pintu. Lalu mengambil tas kerja Arif dan mencium punggung tangan suaminya dengan takzim."Aku mau cerita sesuatu," ujar Arif menuntun Yana ke dalam kamar."Ada apa, Mas?" Yana tampak bingung dengan sikap Arif."Kamu tau, Sayang? Laporan yang kamu kerjakan, diterima bos. Dan katanya laporan mas sangat rapi. Besok adalah penetapan karyawan yang akan di naikkan jabatannya di kantor. Mas berharap, mas bisa naik jabatan." ujar Arif tersenyum dan memeluk istrinya."Benarkah, Mas? Aamiin … semoga mas naik jabatan," ujar Yana antusias "Mas belikan ini, buat kamu!" Arif memberikan sebuah paper bag kepada Yana."Apa in
"Bu, aku istrinya Mas Arif, lalu apa permasalahannya jika Arif berbuat baik padaku? Bukankah memang kewajiban suami berbuat baik pada Istrinya?" tanya Yana menatap mertuanya. "Tapi, aku ini ibunya! Aku yang melahirkan dia, membesarkan dia, dan menyekolahkan dia sampai sukses seperti itu. Kamu hanya orang asing, yang datang dengan seenaknya merebut Arif dariku!" ujar Bu Wongso. "Aku tidak pernah merebut Mas Arif dari Ibu! Kalau memang pemikiran ibu seperti itu, lalu mengapa ibu mengizinkan Mas Arif untuk menikahi ku?" Yana sudah tidak tahan, Yana mengurungkan niatnya untuk masuk kamar dan berdiri menatap mertuanya. "Itu karena Arif memohon padaku. Tapi yang harus kamu tau, aku tidak pernah merestui pernikahan kalian!" Bu Wongso berlalu begitu saja meninggalkan Yana. Yana masuk ke dalam kamar. Dila sepertinya mengantuk karena terlalu lama menangis. "Kamu yang sabar ya, Sayang … semoga nenekmu cepat mendapat hidayah," gumam Yana di dalam hati. Yana membelai wajah mungil Dila. Hanya