Bab 17Kebahagiaan Bu WongsoYana membuka tasnya, dan mengambil kain panjang yang di bawanya untuk menyelimuti Dila agar tidak kedinginan. Yana juga memasang cadar pada wajahnya yang di penuhi luka-luka.Yana menerawang, pikirannya kalut, dadanya terasa sesak. Bagaimana jika orang tuanya melihat memar-memar dan luka-luka di wajahnya. Pastilah Arif akan dilaporkan ke pihak yang berwajib atas kasus KDRT.Sejujurnya, Yana masih sangat mencintai Arif, walaupun sering diperlakukan kasar. Tapi tidak menyurutkan rasa cintanya. Arif adalah cinta pertama Yana. Sehingga sebagaimana Arif melakukan kedalahan yang sama. Sebagaimana itu pula Yana memanfaatkan.Yana menatap kembali Dila dalam gendongannya. "Kasian Dila, kalau kamu bercerai sama Arif," perkataan Si Mbah terngiang-ngiang ditelinganya."Apa benar, jalan yang aku ambil ini ya Allah?" Yana mulai dirajai perasaan ragu.Yana merasa kalau perpisahan ini pasti akan membuatnya sangat terluka. Yana terisak dalam dingin dan sepinya udara termin
Bab 18Firasat burukArif sampai di rumah sakit ketika jam dinding menunjukkan pukul sebelas siang. Arif mampir di kantin rumah sakit untuk membeli makan siang. Setelah membeli makan siangnya, Arif kembali menuju kamar rawat ibunya."Bu," Arif mencium tangan ibunya seraya meletakkan palstik putih yang di bawanya."Lho, dari mana kamu, Rif?" Tanya Bu Wongso memindai plastik yang di tenteng Arif."Owh, Arif beli makan siang, Bu!" Ujar Arif membuka kotak makanan yang di belinya di kantin rumah sakit. Aroma rendang menguar ke seluruh ruangan, membuat Bu Wongso menelan ludah, benar-benar ingin mencicipi rendang tersebut. "Rif, ibu pengen coba rendangnya," ujar Bu Wongso mengulurkan tangan untuk meraih kotak makanan tersebut."Nggak boleh, Bu. Kan ini pantangan." Jawab Arif menatap Bu Wongso dengan tajam."Sedikit aja, Rif." Bu Wongso memohon kepada Arif."Ibu itu bandel banget ya, atau jangan-jangan sebenarnya bukan Yana yang ngasih-ngasih ibu makanan pantangan, tapi ibu ngotot mau beli,
Bab 19Sampai di JambiKeesok harinya, Bu Wongso sudah diizinkan pulang. Bu Wongso tersenyum bahagia karena akhirnya bisa keluar juga dari ruangan yang menurutnya sangat tidak nyaman."Ingat ya,Bu. Makannya di kontrol. Jangan terlalu banyak pikiran, istirahat yang cukup." Dokter meemberikan pesan dikarenakan selama di rawat di rumah sakit, Bu Wongso kerap kali berdebat dengan para perawat soal makanan dan minuman."Iya, Pak." Jawab Bu Wongso dengan wajah cemberut.Arif memesan travel online untuk membawanya pulang. Karena takut ibunya merasa tidak nyaman jika harus naik angkot.Sesampai dirumah, Arif langsung menggelar kasur santai untuk ibunya berbaring di ruang tengah. Karena kebiasaan Bu Wongso yang lebih suka tidur atau bersantai di ruang tengah daripada kamarnya."Yana mana, Rif? Selama ibu di rawat, nggak sekalipun Yana besuk ibu. Dasar menantu gak tau diri." Ujar Bu Wongso merebahkan tubuhnya di kasur."Yana balik kerumah Si Mbah,Bu." Jawab Arif tanpa menoleh pada ibunya."Enak
Bab 20 Tinggal di rumah Bu Indah Mereka masuk ke dalam rumah yang terlihat sempit, namun rapi. "Bapak kemana, Bu?" Tanya Yana ketika melihat sekeliling tidak ada sosok pak Amran, suami Bu Indah. Bu Indah tertunduk dan terisak. Yana menyentuh bahu Bu Indah yang berguncang. "Bapak sudah meninggal dunia, Yan. Setahun yang lalu." Jawab Bu Indah dengan wajah yang bersimbah air mata. "Bapak terserang penyakit jantung saat mengetahui, bahwa ruko beserta rumah telah di gadaikan Fikri ke rentenir." Bu Indah mengusap airmata dengan kasar. "Bang Fikri? Kok bisa, Bu?" Yana terkejut. Yana ingat betul. Fikri, yang biasa Yana panggil Abang, adalah sosok yang sangat santun dan patuh pada orangtua. "Iya, Yan. Sejak Fikri menikah, seluruh hati dan pikirannya dikuasai oleh istrinya. Bahkan rumah makan juga dikuasai oleh Istrinya. Sampai akhirnya bangkrut, terlebih ketika ruko di tarik paksa oleh rentenir," Bu Indah menangis terisak. Yana mengusap tangan Bu Indah dengan lembut. "Bapak syok meliha
Bab 21Mencari YanaTak terasa, seminggu telah berlalu. Warung nasi padang yang di buka Yana dan Bu Indah laris manis. Masakan Bu Indah dan Yana memag enak. Bahkan, tak perlu menunggu sore, warung mereka telah tutup. Bu Indah dan Yana sengaja tidak memasak untuk sampai sore, karena mereka juga memikirkan waktu untuk beristirahat.Yana masih seperti dulu, cekatan dalam melakukan pekerjaan. mencuci piring, melayani pengunjung, dan memasak. semuanya Yana kerjakan dengan lincah dan cekatan.Dila di letakkan di dekat dapur, Bu Indah memberikannya banyak mainan bekas Fikri ketika masih kecil, sehingga Dila bisa asyik bermain tanpa merengek minta gendong.Dila adalah anak yang baik, tidak menyusahkan atau merepotkan Yana Dan Bu Indah, jika haus ingin minum susu, Dila hanya merengek sebentar. setelah merasa kenyang, Dila kembali Asyik bermain."Alhamdulillah, omset penjualan dalam seminggu sudah balikin modal, Yan," Bu Indah menghitung uang pecahan sepuluh ribu. Malam itu setelah makan malam,
Bab 22"Bu, Arif nggak bisa berlama-lama ninggalin pekerjaan. Arif harus balik ke Mes." Ujar Arif mendekati ibunya yang sedang santai menonton televisi."Iya, Rif. Ibu kayaknya udah mendingan, kok " jawab Bu Wongso tanpa menoleh kepada Arif."Arif jemput Yana, Bu. Supaya ibu ada yang jaga dan rawat," ujar Arif, membuat Bu Wongso membelakkan matanya."Ngapain kamu jemput Yana? Biarin aja lah dia di sana." Bu Wongso menatap tajam ke arah Arif."Bu, Yana itu istri Arif. Dila itu anak Arif, apa kata orang kalau Yana tinggal di sana sementara Arif di sini." Jawab Arif menatap ibunya tak kalah tajam."Pokoknya, ibu nggak ngiziini kamu bawa Yana ke sini!" Hardik Bu Wongso."Kalau ibu nggak ngizinin Yana tinggal di sini, maka. Arif akan ikut tinggal bersama Yana di sana, Bu!" Tegas Arif. Bu Wongso terperangah, selama ini. Arif selalu menuruti kemauannya. Namun kali ini, Arif berontak."Ya sudah, terserah kamu!" Jawab Bu Wongso berlalu meninggalkan Arif.**********Arif berangkat kerumah Si M
Bab 23Dimana kamu, YanaArif merogoh ponsel dari saku celananya tanpa melihat nama pemanggil."Halo, Yana. Kamu di mana,Dek? "Yana apanya? Ini ibu, Rif," suara telepon di seberang sana."Ibu?" Arif mengerutkan keningnya dan melihat layar ponsel. Benar saja, penelpon adalah ibunya "Kamu buruan pulang. Pergi sejak pagi kok nggak balik-balik?" Bu Wongso mengomel dari seberang telepon."Bu, udah ya! Arif capek!" Arif mematikan telponnya. Arif mengusap wajahnya dengan kasar. Cemas merajai hatinya. Yana tidak memiliki teman selama menikah, karena Arif membatasi ruang geraknya. Teman Yana hanya Sella saja. Namun, Sella tidak mengetahui dimana Yana berada."Apa mungkin Yana balik ke Jambi?" Gumam Arif di dalam hati. "Akh, nggak mungkin. Yana bahkan tidak memiliki uang, bagaimana mungkin Yana bisa ke Jambi." Arif terus berpikir.Ponsel Arif kembali bergetar. Arif merogoh kantongnya dan tertera nama ibu. Arif pusing karena Bu Wongso pasti akan terus menanyakan mengapa tidak pulang. Arif lal
Bab 24"Anak yang membuat ayahnya meninggal? Yang tidak datang di hari pemakaman ayahnya?" Bu indah menghapus air mata yang jatuh di pelupuk matanya."A-apa, Bu?" Ayah meninggal? Kapan, Bu?" Fikri mengguncang bahu Bu Indah. Fikri terduduk di kursi dan menangis tersedu."Kenapa Fikri nggak di kasih tau,Bu?" Fikri menatap Bu Indah dengan linangan air mata."Bukankah kamu membalas SMS ibu waktu itu? Kamu bilang tidak sempat datang?" Bu Indah menahan rasa sesak di dadanya jika mengingat betapa sedihnya setelah Pak Amran meninggal."SMS? SMS apa, Bu?" Fikri terlihat kebingungan."Cukup, Fikri. Cukup sandiwaramu!" Bu Indah berdiri dan menunjuk pintu warung makan."Keluar,aku tidak mengenalmu!" Bu Indah menangis dengan menundukkan kepalanya."Aku bilang, PERGI!" Bu Indah melempar beberapa barang ke arah Fikri.Yana melangkah maju memeluk Bu Indah, menghentikan aksi melempar barang-barang yang di lakukannya."Bang, tolong pergi dahulu. Biarkan ibu menenangkan perasaannya." Yana menatap Fikri