Share

Bab 3 Pertengkaran

"Hp yang mana mas?" Tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku membawa Mawar masuk ke dalam kamar.

Anehnya Mas Ragil berjalan mengikutiku di belakang. Tanpa mempedulikan keberadaan suamiku itu aku menidurkan Mawar di atas tempat tidur.

"Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu. Kamu kan yang sudah membuka hpku." Aku seketika menoleh pada Mas Ragil.

Apa tidak bisa dia mengajakku bicara di luar agar Mawar tidak mendengar. Kalau ada maunya saja semua harus di turuti. Termasuk dalam hal berdebat. Membuat capek saja.

"Aku tanya hp yang mana? Kalau hp biasa selalu kamu bawa. Kalau hp yang buat ngirim uang ke Bapak dan Ibu, aku saja tidak tahu dimana letaknya. Lantas kenapa kamu justru menuduhku."

Tangan Mas Ragil sudah meraup daguku dengan kasar, Ia bahkan mendorong tubuhku hingga menabrak dinding. Meskipun hatiku sudah bergetar ketakutan, tapi mataku balik memandang Mas Ragil dengan tajam,

"Jangan main-main sama aku Bunga. Tidak mungkin uang di rekeningku habis kalau bukan kamu yang mengirim." Bentak Mas Ragil keras.

"Huueee Ibuuu." Mawar menangis dengan keras mendengar teriakan Mas Ragil.

"Aku tidak paham maksud kamu mas. Terus tadi apa kamu bilang? Uang di rekening? Bukannya semua gaji dan bonus sudah di kirim ke Ibu. Aku juga sama sekali nggak pegang uang karena nggak kamu kasih." Tanganku berusaha melepaskan cengkraman tangan Mas Ragil di pipiku.

Rasanya sakit sekali. Sayangnya Mas Ragil belum ingin melepaskan tubuhku dari kesengsaraan.

"Kamu nggak perlu tahu. Bahkan bukan urusan kamu kalau diam-diam aku menyisihkan uang gajiku." Tubuhku ambruk ke lantai saat Mas Ragil melepaskan cengkraman tangannya lalu mendorong tubuhku ke lantai.

"Besok kita akan pergi ke rumah Ibumu. Ambil buku tabungannya lalu periksa ke bank. Jika ada transaksi yang mencurigakan, aku pastikan akan menghajarmu di rumah." Aku bangun dengan susah payah lalu meraih Mawar di atas tempat tidur.

Ku dekap tubuh kecil anakku untuk menenangkan. Meskipun dengan degup jantung yang menggila. Semua ini sudah bisa ku prediksi. Karena aku memang tidak pernah punya buku tabungan sendiri. Tapi, rasanya tetap saja sangat takut.

"Periksa saja. Toh jika ada transaksi uang masuk itu juga dari adikku. Asal kamu tahu ya mas, adikku sudah bekerja sebagai ahli IT di Semarang. Gajinya saja minimal sepuluh juta. Kamu pasti sudah tahu itu kan?" Tanyaku dengan senyum menantang.

Wajah Mas Ragil seketika melunak. Ekpresi wajahnya tidak lagi menyeramkan seperti tadi.

"Kita besok pergi ke rumah Ibu. Akan aku buktikan jika uang kiriman dari adikku di rekening Ibu. Bukan uang dari rekeningmu." Tantangku seolah itu semua memang benar. Padahal pada kenyataannya aku bahkan belum menghubungi Ibu dan adikku untuk ikut membohongi Mas Ragil. Rencanaku bisa jadi bumerang jika Ibu dan adikku tidak bisa ikut berbohong.

"Nggak usah kalau begitu. Bikin malu saja. Tapi, awas saja kalau kamu mengambil hpku diam-diam. Akan aku buat perhitungan hingga kamu memohon."

BRAK

Tubuhku terlonjak kaget saat Mas Ragil membanting pintu kamar. Tangis Mawar yang sempat reda kini kembali mengeras. Aku menepuk punggung anakku dengan tubuh yang bergetar ketakutan.

"Ibu aku haus." Ujar Mawar setelah tangisnya berhenti. Aku lalu mendudukannya di atas tempat tidur.

"Kamu tunggu di sini dulu ya sayang. Ibu ambilkan air di dapur."

"Iya Bu."

Aku keluar dari kamar. Langkah kakiku sudah akan berjalan ke arah dapur saat tanpa sengaja aku melihat punggung Mas Ragil berdiri di teras depan. Apa yang ia lakukan disana? Karena penasaran aku membatalkan tujuanku yang hendak berjalan ke dapur.

"Bukan Bunga pelakunya. Aku bahkan sudah mengancamnya sejak tadi dengan mengatakan akan pergi ke rumah Ibunya untuk melihat isi rekening. Tapi, Bunga mengatakan jika adiknya rutin mengirim uang untuk Ibu mereka."

Dengan berjalan mengendap-endap aku berdiri di belakang jendela. Tanganku perlahan menyibak korden untuk melihat punggung suamiku.

"Terus sekarang gimana Rum? Tabungan itu sudah aku kumpulkanm cukup lama. Itu juga sedikit demi sedikit agar Kakung dan Uti kamu tidak curiga. Di tambah dengan uang dari bermain saham yang cukup besar." Mas Ragil mengacak rambutnya frustasi.

"Oke. Mulai besok aku akan titipkan uangnya padamu. Kalau aku kirim tiap gajian lima ratus ribu saja nggak masalah kan?" Aku tidak bisa mendengar jawab Arum di sebrang telpon. Sepertinya percakapan mereka berjalan cukup baik.

"Nanti kita pikirkan cara untuk membohongi Kakung dan Uti."

Ah, bodohnya aku tidak membawa hp untuk merekam percakapan mereka. Aku segera pergi dari sana agar Mas Ragil tidak melihatku. Masih ada cara lain untuk mengetahui kebenaran apakah Mas Ragil memang selingkuh dengan Arum atau tidak.

***

"Bangun Nga. Ambilkan aku air putih." Tubuhku bergoyang karena di paksa bangun oleh Mas Ragil.

Selalu saja begitu. Tidak peduli kami habis bertengkar atau tidak, ia selalu minta di layani dengan baik. Padahal sebagai suami dan ayah untuk anak kami, Mas Ragil sudah melalaikan kewajibannya.

Karena tidak ingin memperpanjang perdebatan, aku bangun lalu turun dari tempat tidur. Pandanganku tertuju ke laci di samping tempat tidur. Ada beberapa barang. Salah satunya adalah obat tidur milik Mas Ragil.

Ku lirik suamiku yang masih asyik dengan hpnya. Pasti sedang bertukar pesan dengan Arum. Diam-diam tanganku meraih obat tidur di atas laci lalu keluar dari kamar. Obat itu aku campurkan ke dalam air putih agar Mas Ragil bisa terlelap. Dengan begitu aku bisa melancarkan aksi untuk mengetahui hubungannya dengan Arum.

Jika sudah mendapatkan bukti perselingkuhan, entah apa yang akan aku lakukan. Setidaknya aku memiliki bukti itu untuk berjaga-jaga saja. Aku kembali masuk ke dalam kamar lalu memberikan segelas air putih pada Mas Ragil.

Ia meminumnya hingga tandas. Mataklu langsung tertutup agar ia mengira aku sudah tidur. Sepuluh menit kemudian, suara dengkuran Mas Ragil sudah terdengar sangat keras. Aku segera bangun lalu mengambil hp yang tergeletak di samping tubuhnya.

Drrtt...

Hp Mas Ragil kembali berdering. Jariku menggulir layar. Sama seperti hp yang satu lagi, hp ini juga di kunci dengan menggunakan sidik jari. Aku mengambil tangan Mas Ragil lalu menempelkan jari jempolnya ke layar ponsel. Terbuka.

Dengan cepat aku membuka aplikasi wa. Namun, tidak ada nama Arum di daftar kontak teratas. Aku baca satu per satu isi pesannya. Bahkan tidak ada riwayat panggilan telpon di wa.

"Aneh. Aku yakin sekali tadi Mas Ragil menelpon Arum."

Jariku kembali menggulir layar ponsel untuk membuka aplikasi telpon. Saat aku perhatikan ada dua aplikasi kalkulator di hp ini. Karena penasaran, aku membuka salah satu aplikasi kalkulator dan menekan riwayat penggunaan.

Anehnya justru daftar pesan dan panggilan yang muncul dari kalkulator itu. Terpampang nama Arum disana. Dengan segera aku membuka pesan dari Arum. Mataku membulat dengan sempurna saat aku melihat foto-foto tidak senonoh yang di kirim oleh keponaklan suamiku itu.

"Aku harus memfoto gambar-gambar ini." Dengan cepat kuraih hpku lalu memotret foto-foto itu.

Jariku sudah menggulir layar hingga bisa melihat pesan pertama. Ku potret semua tangkapan pesan di aplikasi ini. Tanpa terasa air mataku mengalir saat membaca satu per satu pesan di ponsel itu.

Rupanya Mas Ragil sudah diam-diam berhubungan dengan Arum sejak lama. Bahkan sebelum ia menikah denganku. Mataku membulat saat membaca salah satu pesan yang masuk dua hari lalu.

[Jangan cuma kasih Mawar makan sayur saja kalau kamu mau berpura-pura jadi Ayah yang baik Om. Mawar kan sudah kelihatan kecil banget ha... ha.. ha...]

Mas Ragil justru membalas pesan Arum dengan emotikon tawa. Sama sekali tidak tersinggung anaknya sudah di katakan seperti itu.

[Besok aku kasih ayam rica-rica yang di bawakan Ibu. Beres kan.]

Aku membekap mulut agar suara tangisku tidak terdengar oleh Mawar. Ya Allah. Cobaan ini terasa sangat berat. Apa langkah yang harus aku lakukan selanjutnya?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Wahyu Sudaryanti
klo km pengen bertahan sama suami mau,silahkan tp jngn korbankan anakmu pny hp bagus,perabotan rumah ya jual demi nuruti suami zolim membiarkan anaknya stunting itu gak sepele loh,mempengaruhi perkembangan tubuh dan otak jg
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
apalagi yg bisa kau lakukan selain menangis,menadahkan tangan dan bertahan. kau kan takut berpisah krn pengangguran dan lebih betah bertahan.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status