"Hp yang mana mas?" Tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku membawa Mawar masuk ke dalam kamar.
Anehnya Mas Ragil berjalan mengikutiku di belakang. Tanpa mempedulikan keberadaan suamiku itu aku menidurkan Mawar di atas tempat tidur.
"Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu. Kamu kan yang sudah membuka hpku." Aku seketika menoleh pada Mas Ragil.
Apa tidak bisa dia mengajakku bicara di luar agar Mawar tidak mendengar. Kalau ada maunya saja semua harus di turuti. Termasuk dalam hal berdebat. Membuat capek saja.
"Aku tanya hp yang mana? Kalau hp biasa selalu kamu bawa. Kalau hp yang buat ngirim uang ke Bapak dan Ibu, aku saja tidak tahu dimana letaknya. Lantas kenapa kamu justru menuduhku."
Tangan Mas Ragil sudah meraup daguku dengan kasar, Ia bahkan mendorong tubuhku hingga menabrak dinding. Meskipun hatiku sudah bergetar ketakutan, tapi mataku balik memandang Mas Ragil dengan tajam,
"Jangan main-main sama aku Bunga. Tidak mungkin uang di rekeningku habis kalau bukan kamu yang mengirim." Bentak Mas Ragil keras.
"Huueee Ibuuu." Mawar menangis dengan keras mendengar teriakan Mas Ragil.
"Aku tidak paham maksud kamu mas. Terus tadi apa kamu bilang? Uang di rekening? Bukannya semua gaji dan bonus sudah di kirim ke Ibu. Aku juga sama sekali nggak pegang uang karena nggak kamu kasih." Tanganku berusaha melepaskan cengkraman tangan Mas Ragil di pipiku.
Rasanya sakit sekali. Sayangnya Mas Ragil belum ingin melepaskan tubuhku dari kesengsaraan.
"Kamu nggak perlu tahu. Bahkan bukan urusan kamu kalau diam-diam aku menyisihkan uang gajiku." Tubuhku ambruk ke lantai saat Mas Ragil melepaskan cengkraman tangannya lalu mendorong tubuhku ke lantai.
"Besok kita akan pergi ke rumah Ibumu. Ambil buku tabungannya lalu periksa ke bank. Jika ada transaksi yang mencurigakan, aku pastikan akan menghajarmu di rumah." Aku bangun dengan susah payah lalu meraih Mawar di atas tempat tidur.
Ku dekap tubuh kecil anakku untuk menenangkan. Meskipun dengan degup jantung yang menggila. Semua ini sudah bisa ku prediksi. Karena aku memang tidak pernah punya buku tabungan sendiri. Tapi, rasanya tetap saja sangat takut.
"Periksa saja. Toh jika ada transaksi uang masuk itu juga dari adikku. Asal kamu tahu ya mas, adikku sudah bekerja sebagai ahli IT di Semarang. Gajinya saja minimal sepuluh juta. Kamu pasti sudah tahu itu kan?" Tanyaku dengan senyum menantang.
Wajah Mas Ragil seketika melunak. Ekpresi wajahnya tidak lagi menyeramkan seperti tadi.
"Kita besok pergi ke rumah Ibu. Akan aku buktikan jika uang kiriman dari adikku di rekening Ibu. Bukan uang dari rekeningmu." Tantangku seolah itu semua memang benar. Padahal pada kenyataannya aku bahkan belum menghubungi Ibu dan adikku untuk ikut membohongi Mas Ragil. Rencanaku bisa jadi bumerang jika Ibu dan adikku tidak bisa ikut berbohong.
"Nggak usah kalau begitu. Bikin malu saja. Tapi, awas saja kalau kamu mengambil hpku diam-diam. Akan aku buat perhitungan hingga kamu memohon."
BRAK
Tubuhku terlonjak kaget saat Mas Ragil membanting pintu kamar. Tangis Mawar yang sempat reda kini kembali mengeras. Aku menepuk punggung anakku dengan tubuh yang bergetar ketakutan.
"Ibu aku haus." Ujar Mawar setelah tangisnya berhenti. Aku lalu mendudukannya di atas tempat tidur.
"Kamu tunggu di sini dulu ya sayang. Ibu ambilkan air di dapur."
"Iya Bu."
Aku keluar dari kamar. Langkah kakiku sudah akan berjalan ke arah dapur saat tanpa sengaja aku melihat punggung Mas Ragil berdiri di teras depan. Apa yang ia lakukan disana? Karena penasaran aku membatalkan tujuanku yang hendak berjalan ke dapur.
"Bukan Bunga pelakunya. Aku bahkan sudah mengancamnya sejak tadi dengan mengatakan akan pergi ke rumah Ibunya untuk melihat isi rekening. Tapi, Bunga mengatakan jika adiknya rutin mengirim uang untuk Ibu mereka."
Dengan berjalan mengendap-endap aku berdiri di belakang jendela. Tanganku perlahan menyibak korden untuk melihat punggung suamiku.
"Terus sekarang gimana Rum? Tabungan itu sudah aku kumpulkanm cukup lama. Itu juga sedikit demi sedikit agar Kakung dan Uti kamu tidak curiga. Di tambah dengan uang dari bermain saham yang cukup besar." Mas Ragil mengacak rambutnya frustasi.
"Oke. Mulai besok aku akan titipkan uangnya padamu. Kalau aku kirim tiap gajian lima ratus ribu saja nggak masalah kan?" Aku tidak bisa mendengar jawab Arum di sebrang telpon. Sepertinya percakapan mereka berjalan cukup baik.
"Nanti kita pikirkan cara untuk membohongi Kakung dan Uti."
Ah, bodohnya aku tidak membawa hp untuk merekam percakapan mereka. Aku segera pergi dari sana agar Mas Ragil tidak melihatku. Masih ada cara lain untuk mengetahui kebenaran apakah Mas Ragil memang selingkuh dengan Arum atau tidak.
***
"Bangun Nga. Ambilkan aku air putih." Tubuhku bergoyang karena di paksa bangun oleh Mas Ragil.
Selalu saja begitu. Tidak peduli kami habis bertengkar atau tidak, ia selalu minta di layani dengan baik. Padahal sebagai suami dan ayah untuk anak kami, Mas Ragil sudah melalaikan kewajibannya.
Karena tidak ingin memperpanjang perdebatan, aku bangun lalu turun dari tempat tidur. Pandanganku tertuju ke laci di samping tempat tidur. Ada beberapa barang. Salah satunya adalah obat tidur milik Mas Ragil.
Ku lirik suamiku yang masih asyik dengan hpnya. Pasti sedang bertukar pesan dengan Arum. Diam-diam tanganku meraih obat tidur di atas laci lalu keluar dari kamar. Obat itu aku campurkan ke dalam air putih agar Mas Ragil bisa terlelap. Dengan begitu aku bisa melancarkan aksi untuk mengetahui hubungannya dengan Arum.
Jika sudah mendapatkan bukti perselingkuhan, entah apa yang akan aku lakukan. Setidaknya aku memiliki bukti itu untuk berjaga-jaga saja. Aku kembali masuk ke dalam kamar lalu memberikan segelas air putih pada Mas Ragil.
Ia meminumnya hingga tandas. Mataklu langsung tertutup agar ia mengira aku sudah tidur. Sepuluh menit kemudian, suara dengkuran Mas Ragil sudah terdengar sangat keras. Aku segera bangun lalu mengambil hp yang tergeletak di samping tubuhnya.
Drrtt...
Hp Mas Ragil kembali berdering. Jariku menggulir layar. Sama seperti hp yang satu lagi, hp ini juga di kunci dengan menggunakan sidik jari. Aku mengambil tangan Mas Ragil lalu menempelkan jari jempolnya ke layar ponsel. Terbuka.
Dengan cepat aku membuka aplikasi wa. Namun, tidak ada nama Arum di daftar kontak teratas. Aku baca satu per satu isi pesannya. Bahkan tidak ada riwayat panggilan telpon di wa.
"Aneh. Aku yakin sekali tadi Mas Ragil menelpon Arum."
Jariku kembali menggulir layar ponsel untuk membuka aplikasi telpon. Saat aku perhatikan ada dua aplikasi kalkulator di hp ini. Karena penasaran, aku membuka salah satu aplikasi kalkulator dan menekan riwayat penggunaan.
Anehnya justru daftar pesan dan panggilan yang muncul dari kalkulator itu. Terpampang nama Arum disana. Dengan segera aku membuka pesan dari Arum. Mataku membulat dengan sempurna saat aku melihat foto-foto tidak senonoh yang di kirim oleh keponaklan suamiku itu.
"Aku harus memfoto gambar-gambar ini." Dengan cepat kuraih hpku lalu memotret foto-foto itu.
Jariku sudah menggulir layar hingga bisa melihat pesan pertama. Ku potret semua tangkapan pesan di aplikasi ini. Tanpa terasa air mataku mengalir saat membaca satu per satu pesan di ponsel itu.
Rupanya Mas Ragil sudah diam-diam berhubungan dengan Arum sejak lama. Bahkan sebelum ia menikah denganku. Mataku membulat saat membaca salah satu pesan yang masuk dua hari lalu.
[Jangan cuma kasih Mawar makan sayur saja kalau kamu mau berpura-pura jadi Ayah yang baik Om. Mawar kan sudah kelihatan kecil banget ha... ha.. ha...]
Mas Ragil justru membalas pesan Arum dengan emotikon tawa. Sama sekali tidak tersinggung anaknya sudah di katakan seperti itu.
[Besok aku kasih ayam rica-rica yang di bawakan Ibu. Beres kan.]
Aku membekap mulut agar suara tangisku tidak terdengar oleh Mawar. Ya Allah. Cobaan ini terasa sangat berat. Apa langkah yang harus aku lakukan selanjutnya?
Setelah Mas Ragil berangkat kerja, aku melihat kembali pesan mesra dan foto-foto tidak senonoh yang di kirim Arum di hp Mas Ragil. Rasanya aku ingin mengunggah foto-foto ini sekarang juga di sosial media dengan menggunakan akun palsu. Toh, tidak akan ada yang tahu karena semua keluarga Mas Ragil tidak ada yang paham tentang IT. Namun, otakku masih bekerja dengan waras. Perkataan Ibu setelah aku mantap menerima pinangan Mas Ragil kembali ternginag. Seberat apapun masalah kita, jangan sampai umbar aib suami. Kecuali jika tidak ada lagi orang yang bisa di mintai pertolongan. Dalam hal ini, aku masih punya Ibu dan adik laki-lakiku yang bernama Satrio. Hanya saja aku tidak mau membebani Ibu dengan masalah rumah tanggaku di usia senja. "Ibu. Telpon." Perkataan Mawar yang tengah bermain balok bekas milk keponakan Mas Ragil berhasil menarik perhatianku. Nama Satrio tertera di layar ponsel. Kuseka tangis yang mengalir tanpa kusadari agar Satrio tidak curiga. Jariku lalu menekan tombol hijau
"Ya sebagai sesamai pria kamu juga pasti paham Yo kalau anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya. Sudah jadi kewajiban Ragil untuk memberikan nafkah padaku dan memberikan sedikit uang jajan untuk semua keponakannya. Memang dasar Mawar saja yang cacingan. Di kasih makan sebanyak apapun tetap saja kurus. Jadi, jangan salahkan Ragil lagi. Dia sudah melakukan kewajibannya sebagai Bapak untuk Mawar." Jawab Ibu mertua tidak mau kalah. 'Astaghfirullah.' Aku hanya bisa berucap dalam hati. Sejak dulu memang Ibu Mas Ragil selalu mengutamakan cucu laki-laki daripada cucu perempuannya. Begitu juga dengan urusan anak. Karena itulah Mbak Yuni dan Mbak Sindi selalu mencari perhatian pada Ibu dengan ikut-ikutan membenciku. "Mawar jadi cacingan juga karena gizinya kurang. Kalau soal pernyataan anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya itu sudah salah kaprah. Menurut kyai saya, pria yang sudah menikah tetap harus berbakti pada orang tua terutama Ibunya. Tapi, kalau sudah tentang
“Bukan begitu Bu. Tapi, tolong hargai Bunga sebagai istriku. Apalagi disini juga ada Satrio.” Aku tercenung sejenak mendapat pembelaan dari Mas Ragil. Ada apa gerangan hingga suamiku yang biasa cuek ini membelaku di depan Ibunya? Tanpa mempedulikan pertengkaran di antara Ibu dan anak itu, aku segera masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan Satrio. Ku raih hp yang tergeletak di atas tempat tidur. Sejak tadi siang, aku sudah mengunduh aplkasi Tik Tik. Tapi, bukan itu tujuanku sekarang. Melainkan mengirim pesan pada Satrio. [Kenapa Mas Ragil bisa takut sama kamu Yo?] Sepuluh menit menunggu tidak ada pesan balasan dari Satrio. Anak itu pasti belum tidur. Kenapa pesanku tidak kunjung di balas? Aku jadi teringat pada makanan yang aku bawa masuk ke dalam kamar. Tidak ada lagi suara Ibu dan Mas Ragil di depan kamar. Aku membuka pintu lalu mengetuk pintu kamar Satrio dengan cepat. Tok.. tok.. tokkk Ketukku berulang kali. Tidak lama kemudian Satrio sudah membuka pintu kamar. Satrio membuka
“Aku mau bawa ke rumah sakit juga pakai uangnya Satrio. Bukan pakai uang Mas Ragil yang selalu pelit sama keluarganya sendiri. Sampai Mawar mungkin mengalami stunting.” Balasku tidak mau kalah. “Pakai uang orang lain kok bangga. Lagian kamu sendiri yang gagal merawat Mawar. Jangan menyalahkan Ragil terus.” Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi marah. “Jelas aku menyalahkan Mas Ragil. Buat makan empat sehat lima sempurna saja Mawar tidak bisa. Karena apa, karena semua uang Mas Ragil di berikan pada orang tuanya.” “Aku ini Ibunya Ragil. Selamanya Ragil wajib menafkahiku dan Bapaknya. Sedangkan kamu itu hanya orang lain yang kebetulan menjadi istrinya. Mentang-mentang sudah di bantu sama adik kamu, jadi berani melawan sekarang.” Rasanya sangat sakit mendengar balasan Ibu mertua. Namun, aku tetap berusaha tetap tegar. Tidak akan aku biarkan Ibu mertua merasa menang karena melihatku menangis lagi. “Lalu, kenapa Ibu mengijinkan Mas Ragil menikah denganku? Seharusnya sejak awal Ibu
Dengan langkah perlahan aku mundur dari balik pintu. Sudah tidak kuat lagi mendengar kata-kata mesra yang di lontarkan oleh Mas Ragil pada keponakannya sendiri. Air mataku kembali turun tanpa tertahankan. Ku usap air mata dengan cepat lalu nenggendong Mawar masuk ke dalam kamar. Untunglah Mawar bisa cepat tertidur setelah aku baringkan di atas tempat tidur. Air mata terus meleleh di pipi. Padahal aku sudah berjanji pada Satrio untuk tidak menangisi Mas Ragil lagi. Rasanya aku ingin berpisah sekarang juga. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin menambah beban Ibu dengan kehadiranku dan Mawar. “Ya Allah. Kuatkanlah hamba. Mudah-mudahan Mas Ragil bisa berubah agar rumah tangga kami bisa bertahan selamanya. Tapi, jika tidak bisa mudah-mudahan suatu saat nanti hamba bisa sukses saat berpisah dari Mas Ragil.” Doaku sebelum memejamkan mata. Masih dapat aku dengar suara Mas Ragil yang masuk ke dalam kamar lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Keesokan harinya aktivitas di mulai sepe
Mas Ragil langsung menggelengkan kepalanya. Ya ampun ternyata hanya masalah hutang pada Satrio bisa membuat Mas Ragil sangat ketakutan. Harga diri suamiku sebagai PNS memang sangat tinggi. Tidak heran jika dia tidak ingin nama baiknya tercoreng. “Ayo kita kesana mas. Sekalian beli baju buat Mawar. Kasihan sama anak sendiri. Masa bajunya lusuh seperti itu.” perkataan Satrio seketika membuat semua orang yang ada di sekitar kami menolehkan kepala mereka. Dari sudut mata dapat kulihat Arum yang berjalan pergi meninggalkan Omnya bersama kami. Walaupun awalnya tidak setuju, namun aku sangat puas dengan pertunjukkan yang di suguhkan oleh Satrio. “Oke. Ayo kita ke beli baju buat Mawar sayang.” Mas Ragil merangkul bahuku erat. Seolah menyalurkan kemarahannya padaku. “Ayo mas. Tapi, jangan peluk terlalu keras dong. Kasihan Mawar jadi ketakutan.” Tangan Mas Ragil seketika terlepas dari bahuku. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajah Mas Ragil saat harus membayar semua barang belanjaan itu untu
“Apa? Kamu nuduh Ragil selingkuh? Jangan sembarangan ya Yo.” Seru Ibu mertua penuh amarah. “Iya. Saya nggak cuma nuduh. Saya punya buktinya kalau Mas Ragil sudah selingkuh sama orang lain. Karena saya tidak sengaja melihat mereka berdua berjalan di mall sambil bergandengan tangan mesra. Sayang sekali, saya tidak bisa memotret wajah selingkuhan Mas Ragil.” Kenapa Satrio justru membeberkan hal itu sekarang? Padahal kami sudah sepakat untuk tidak membiarkan Mas Ragil dan keluarganya tahu tentang perselingkuhan di antara Mas Ragil dan Arum. “Baik. Aku tidak akan pernah menagih gaji Ragil yang di berikan untuk membeli barang-barang Bunga dan Mawar hari ini. Kamu harus hapus foto itu sekarang juga.” Satrio mengambil hpnya. Kedua mataku membulat saat Satrio memperlihatkan foto Mas Ragil dengan seorang wanita. Tapi, aku tidak yakin jika itu bukan foto suamiku karena bentuk badannya yang berbeda. “Saya hapus sekarang. Puas kan Bude?” Foto itu sudah terhapus dari hp Satrio. “Sekarang silah
“Jangan bohong kamu Bunga. Memangnya kamu beli apa saja buat uang dua ratus ribu bisa habis kurang dari satu hari? Ibu saja bisa mengatur uang itu untuk dua hari.” Aku mengambil dompet dari dalam tas lalu menyerahkan tiga kertas struk pada Mas Ragil. “Tadi aku beli vitamin dan persediaan obat di apotek. Itu sudah habis delapan puluh ribu. Terus beli susu buat Mawar di salah satu toko habis delapan puluh ribu. Sisanya buat beli buah yang sudah aku masukan ke dalam kulkas.” ‘Selain itu, aku juga beli make up buat diriku sendiri. Untung saja masih ada sisa uang dari Satrio kemarin.’ Sambungku di dalam hati. “Berat badan Mawar kan sudah naik. Kenapa juga kamu masih harus beli vitamin dan susu. Mawar itu bukan bayi lagi.” Ibu mertua merebut kertas struk dari tangan Mas Ragil lalu merobeknya tanpa ampun. “Ibu benar Nga. Kalau bukan untuk membayar hutang pada Satrio aku tidak akan meminjam uang padamu.” Hardik Mas Ragil hingga membuat Mawar menangis. Aku menggendong Mawar lalu menepuk pun