"Ya sebagai sesamai pria kamu juga pasti paham Yo kalau anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya. Sudah jadi kewajiban Ragil untuk memberikan nafkah padaku dan memberikan sedikit uang jajan untuk semua keponakannya. Memang dasar Mawar saja yang cacingan. Di kasih makan sebanyak apapun tetap saja kurus. Jadi, jangan salahkan Ragil lagi. Dia sudah melakukan kewajibannya sebagai Bapak untuk Mawar." Jawab Ibu mertua tidak mau kalah.
'Astaghfirullah.' Aku hanya bisa berucap dalam hati.
Sejak dulu memang Ibu Mas Ragil selalu mengutamakan cucu laki-laki daripada cucu perempuannya. Begitu juga dengan urusan anak. Karena itulah Mbak Yuni dan Mbak Sindi selalu mencari perhatian pada Ibu dengan ikut-ikutan membenciku.
"Mawar jadi cacingan juga karena gizinya kurang. Kalau soal pernyataan anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya itu sudah salah kaprah. Menurut kyai saya, pria yang sudah menikah tetap harus berbakti pada orang tua terutama Ibunya. Tapi, kalau sudah tentang nafkah harus bisa memenuhi kebutuhan lahir dan batin istri dan anaknya lebih dulu baru memberikan kepada Ibu. Jangan terbalik. Dzalim itu namanya." Jawab Satrio dengan tenang.
"Selain itu, maaf saja saya tidak akan sama seperti Mas Ragil. Gaji saya yang besar saat ini sudah saya gunakan untuk membuatkan usaha bagi Ibu kami. Tidak lupa dengan memenuhi kebutuhan hidup Ibu setiap bulan dan memberikan hadiah yang saya bisa. Sebelum saya menikah saya pastikan akan membahagiakan Ibu. Karena setelah menikah nanti prioritas saya adalah istri. Saya bisa tenang karena sudah membuatkan Ibu usaha."
"Kamu ini umurnya masih muda. Tidak usah menggurui saya. Pakai bawa nama kyai kamu. Jangan-jangan itu cuma karangan kamu saja." Seru Ibu mertua tidak mau kalah.
"Sudahlah kalau Bude nggak percaya. Tapi, kalau masih mau tahu lebih banyak termasuk hadist-hadistnya bisa saya antar ke tempat saya mondok dulu." Satrio mengibaskan tangannya tidak peduli.
Pandangan adikku itu kini beralih pada Mas Ragil. Terlihat jika wajah Mas Ragil yang sedikit ketakutan. Padahal Satrio lebih muda darinya.
"Apa bahan makanan yang Mas Ragil belikan di kulkas sudah semuanya?"
"Iya. Memang kenapa?" Jawab Mas Ragil dengan nada menantang.
"Kalau Mas Ragil nggak bisa memenuhi kebutuhan Mbak Bunga dan Mawar ijinkan kakakku bekerja." Kata Satrio dengan tenang.
Ia mulai menjalankan rencana yang sudah kami susun bersama dengan Ibu. Langkah pertama yang harus aku lakukan agar bisa lepas dari Mas Ragil adalah mendapatkan uangku sendiri. Agar saat kami resmi berpisah nanti, aku bisa tenang memikirkan biaya hidupku dengan Mawar.
"Enak saja kamu bilang. Bekerja? Siapa yang akan mengurus rumah nanti kalau Bunga bekerja? Mau menyewa pembantu juga tidak akan sanggup."
"Wanita itu bukan babu Bu." Bantah Satrio. Aku menepuk paha Satrio pelan agar ia bisa mengontrol emosinya.
"Memang bukan babu. Tapi, itulah pekerjaan Ibu rumah tangga. Kedua kakak perempuannya Satrio juga melakukan hal yang sama kok."
"Kasihan sekali anak-anak Bude ya. Ck... ckk... ckkk." Satrio menggelengkan kepalanyan dengan dramatis. Aku berusaha menahan tawa melihat wajah Ibu dan Mas Ragil yang sudah menahan amarah.
"Kamu mau kerja apa Nga? Kamu itu cuma lulusan SMA. Tidak seperti Satrio yang lulus kuliah." Mas Ragil segera mengambil alih percakapan sebelum Ibunya mengamuk.
"Gampang kok mas. Mau buat konten Tik tik dan i*. Kalau sudah dapat jumlah follower yang di tentukan bisa dapat uang."
"Halah. Kamu kan nggak pintar buat konten." Sindir Ibu mertua dengan bibir yang maju lima senti meter.
"Memang Bu. Tapi, nanti inspirasiku dari kisah teman-teman sekolah kok. Aku sudah minta ijin sama mereka untuk membagikan kisah yang mereka tulis di grup alumni kami. Kalau tembus target nanti aku akan kirim bagi hasil juga." Bohongku dengan lancar.
"Ya sudah. Asalkan kamu tidak keluar dari rumah dan tetap bisa mengurus pekerjaan dengan baik." Jawab Mas Ragil memberi keputusan.
"Terima kasih mas."
Mas Ragil hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Entah kenapa suamiku itu sangat takut dengan Satrio. Aku menelengkan kepala pada Satrio. Dari gerak bibirnya Satrio hanya mengatakan nanti.
"Tapi, kamu tetap harus memberi nafkah seperti biasa mas. Membelikan bahan makanan, membeli kebutuhan rumah, membayar listrik dan lain-lain. Itu semua harus pakai uangmu. Sedangkan penghasilan Mbak Bunga akan di gunakan untuk membeli vitamin dan makanan pendukung agar bobot tubuh Mawar naik." Kening Mas Ragil sudah berkerut dalam. Tanda jika dia tidak setuju dengan perkataan Satrio.
"Ya nggak bisa begitu Yo. Apa salahnya kalau Ibunya Mawar membantuku utnuk mengurus keperluan rumah?" Satrio tetap menggelengkan kepalanya.
"Uang suami itu uang istri. Tapi, uang istri itu uang istri. Jika aku sampai tahu Mas Ragil menggunakan uang Mbak Bunga, kamu akan tahu akibatnya." Mata Mas Ragil mendelik tidak terima.
"Jangan sombong kamu Yo. Mentang-mentang sudah mendapat pekerjaan bagus di kota. Memang apa yang akan kamu lakukan hah?"
"Tentu saja bisa Bude. Pasalnya menelantarkan anak dan istri hingga Mawar menjadi kekurangan. Buktinya bisa di dapatkan dengan pemeriksaan kesehatan Mawar. Dokter pasti bisa memberikan alasan kenapa Mawar bisa mengalami stunting." Ancaman Satrio nyatanya mampu membuat nyali Mas Ragil dan Ibu mertua menjadi ciut.
"Oke. Aku tidak akan memegang uang Bunga. Puas kamu?" Hardik Mas Ragil lalu bangkit dari kursinya.
"Sangat puas." Satrio tertawa pelan lalu ikut berdiri.
"Aku capek mbak. Mau masuk ke kamar dulu ya." Aku menganggukan kepala.
"Iya. Jangan sampai ketiduran biar nggak lupa sholat."
"Eh, ngapain Satrio tidur disini? Kenapa nggak langsung pulang saja?" Aku hampir melupakan keberadaan Ibu mertua yang masih ada disini.
"Adikku akan menginap disini sampai dapat rumah kontrakan. Dia dapat tender dari desa untuk mengelola program yang sedang di usung Pak Lurah."
"Kenapa nggak pulang pergi ke rumah Ibu kalian saja? Perjalanannya juga cuma satu jam saja." Terlihat sekali jika Ibu mertua tidak setuju Satrio menginap disini. Adikku itu hanya bisa mengedikan bahunya lalu berjalan masuk ke ruang tamu.
"Biaya bensin dan kontrakan itu sama saja Bu. Kata Satrio biar bisa hemat tenaga. Ya sudah aku masuk dulu. Mau cuci piring." Aku pergi begitu saja meninggalkan Ibu mertua yang masih terduduk di balik meja makan.
Segera aku bereskan sisa makanan mahal yang masih ada di atas meja agar tidak di ambil oleh Ibu mertua lalu membawanya masuk ke dalam kamar Satrio. "Kenapa kamu bawa pergi Nga? Pelit banget sih sama mertua sendiri."
"Semua makanan ini yang beli Satrio Bu. Hanya untuk aku dan Mawar. Memang kenapa?" Aku menirukan perkataan Ibu mertua yang ia ucapkan setiap meminta makanan untuk Mawar dari cucu laki-lakinya.
"Nggak ada apa-apa. Dah sana bawa masuk saja. Aku juga bisa beli sendiri kok."
"Dari uangnya Mas Ragil." Sindirku pelan lalu kembali berjalan menuju kamar tamu.
"Beraninya kamu." Ibu mertua sudah menjambak rambutku sampai makanan yang aku bawa tercecer di lantai.
Bruk... prang.,.
Suara barang jatuh dan piring pecah memenuhi ruangan ini. Satrio dan Mas Ragil langsung keluar dari kamar mereka. Ibu mertua yang masih menjambak rambutku membuat aku tidak bisa banyak bergerak.
"Mbak Bunga tunggu disni. Biar aku panggil warga."
"Eh jangan. Buat apa?" Mas Ragil mendelik tidak suka.
"Lepaskan bunga sekarang Bu." Hardik Mas Ragil keras.
"Kenapa kamu sekarang berani membentak Ibu." Teriak Ibu mertuaku yang sudah melepaskan jambakannya di rambutku.
“Bukan begitu Bu. Tapi, tolong hargai Bunga sebagai istriku. Apalagi disini juga ada Satrio.” Aku tercenung sejenak mendapat pembelaan dari Mas Ragil. Ada apa gerangan hingga suamiku yang biasa cuek ini membelaku di depan Ibunya? Tanpa mempedulikan pertengkaran di antara Ibu dan anak itu, aku segera masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan Satrio. Ku raih hp yang tergeletak di atas tempat tidur. Sejak tadi siang, aku sudah mengunduh aplkasi Tik Tik. Tapi, bukan itu tujuanku sekarang. Melainkan mengirim pesan pada Satrio. [Kenapa Mas Ragil bisa takut sama kamu Yo?] Sepuluh menit menunggu tidak ada pesan balasan dari Satrio. Anak itu pasti belum tidur. Kenapa pesanku tidak kunjung di balas? Aku jadi teringat pada makanan yang aku bawa masuk ke dalam kamar. Tidak ada lagi suara Ibu dan Mas Ragil di depan kamar. Aku membuka pintu lalu mengetuk pintu kamar Satrio dengan cepat. Tok.. tok.. tokkk Ketukku berulang kali. Tidak lama kemudian Satrio sudah membuka pintu kamar. Satrio membuka
“Aku mau bawa ke rumah sakit juga pakai uangnya Satrio. Bukan pakai uang Mas Ragil yang selalu pelit sama keluarganya sendiri. Sampai Mawar mungkin mengalami stunting.” Balasku tidak mau kalah. “Pakai uang orang lain kok bangga. Lagian kamu sendiri yang gagal merawat Mawar. Jangan menyalahkan Ragil terus.” Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi marah. “Jelas aku menyalahkan Mas Ragil. Buat makan empat sehat lima sempurna saja Mawar tidak bisa. Karena apa, karena semua uang Mas Ragil di berikan pada orang tuanya.” “Aku ini Ibunya Ragil. Selamanya Ragil wajib menafkahiku dan Bapaknya. Sedangkan kamu itu hanya orang lain yang kebetulan menjadi istrinya. Mentang-mentang sudah di bantu sama adik kamu, jadi berani melawan sekarang.” Rasanya sangat sakit mendengar balasan Ibu mertua. Namun, aku tetap berusaha tetap tegar. Tidak akan aku biarkan Ibu mertua merasa menang karena melihatku menangis lagi. “Lalu, kenapa Ibu mengijinkan Mas Ragil menikah denganku? Seharusnya sejak awal Ibu
Dengan langkah perlahan aku mundur dari balik pintu. Sudah tidak kuat lagi mendengar kata-kata mesra yang di lontarkan oleh Mas Ragil pada keponakannya sendiri. Air mataku kembali turun tanpa tertahankan. Ku usap air mata dengan cepat lalu nenggendong Mawar masuk ke dalam kamar. Untunglah Mawar bisa cepat tertidur setelah aku baringkan di atas tempat tidur. Air mata terus meleleh di pipi. Padahal aku sudah berjanji pada Satrio untuk tidak menangisi Mas Ragil lagi. Rasanya aku ingin berpisah sekarang juga. Tapi, di sisi lain aku tidak ingin menambah beban Ibu dengan kehadiranku dan Mawar. “Ya Allah. Kuatkanlah hamba. Mudah-mudahan Mas Ragil bisa berubah agar rumah tangga kami bisa bertahan selamanya. Tapi, jika tidak bisa mudah-mudahan suatu saat nanti hamba bisa sukses saat berpisah dari Mas Ragil.” Doaku sebelum memejamkan mata. Masih dapat aku dengar suara Mas Ragil yang masuk ke dalam kamar lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Keesokan harinya aktivitas di mulai sepe
Mas Ragil langsung menggelengkan kepalanya. Ya ampun ternyata hanya masalah hutang pada Satrio bisa membuat Mas Ragil sangat ketakutan. Harga diri suamiku sebagai PNS memang sangat tinggi. Tidak heran jika dia tidak ingin nama baiknya tercoreng. “Ayo kita kesana mas. Sekalian beli baju buat Mawar. Kasihan sama anak sendiri. Masa bajunya lusuh seperti itu.” perkataan Satrio seketika membuat semua orang yang ada di sekitar kami menolehkan kepala mereka. Dari sudut mata dapat kulihat Arum yang berjalan pergi meninggalkan Omnya bersama kami. Walaupun awalnya tidak setuju, namun aku sangat puas dengan pertunjukkan yang di suguhkan oleh Satrio. “Oke. Ayo kita ke beli baju buat Mawar sayang.” Mas Ragil merangkul bahuku erat. Seolah menyalurkan kemarahannya padaku. “Ayo mas. Tapi, jangan peluk terlalu keras dong. Kasihan Mawar jadi ketakutan.” Tangan Mas Ragil seketika terlepas dari bahuku. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajah Mas Ragil saat harus membayar semua barang belanjaan itu untu
“Apa? Kamu nuduh Ragil selingkuh? Jangan sembarangan ya Yo.” Seru Ibu mertua penuh amarah. “Iya. Saya nggak cuma nuduh. Saya punya buktinya kalau Mas Ragil sudah selingkuh sama orang lain. Karena saya tidak sengaja melihat mereka berdua berjalan di mall sambil bergandengan tangan mesra. Sayang sekali, saya tidak bisa memotret wajah selingkuhan Mas Ragil.” Kenapa Satrio justru membeberkan hal itu sekarang? Padahal kami sudah sepakat untuk tidak membiarkan Mas Ragil dan keluarganya tahu tentang perselingkuhan di antara Mas Ragil dan Arum. “Baik. Aku tidak akan pernah menagih gaji Ragil yang di berikan untuk membeli barang-barang Bunga dan Mawar hari ini. Kamu harus hapus foto itu sekarang juga.” Satrio mengambil hpnya. Kedua mataku membulat saat Satrio memperlihatkan foto Mas Ragil dengan seorang wanita. Tapi, aku tidak yakin jika itu bukan foto suamiku karena bentuk badannya yang berbeda. “Saya hapus sekarang. Puas kan Bude?” Foto itu sudah terhapus dari hp Satrio. “Sekarang silah
“Jangan bohong kamu Bunga. Memangnya kamu beli apa saja buat uang dua ratus ribu bisa habis kurang dari satu hari? Ibu saja bisa mengatur uang itu untuk dua hari.” Aku mengambil dompet dari dalam tas lalu menyerahkan tiga kertas struk pada Mas Ragil. “Tadi aku beli vitamin dan persediaan obat di apotek. Itu sudah habis delapan puluh ribu. Terus beli susu buat Mawar di salah satu toko habis delapan puluh ribu. Sisanya buat beli buah yang sudah aku masukan ke dalam kulkas.” ‘Selain itu, aku juga beli make up buat diriku sendiri. Untung saja masih ada sisa uang dari Satrio kemarin.’ Sambungku di dalam hati. “Berat badan Mawar kan sudah naik. Kenapa juga kamu masih harus beli vitamin dan susu. Mawar itu bukan bayi lagi.” Ibu mertua merebut kertas struk dari tangan Mas Ragil lalu merobeknya tanpa ampun. “Ibu benar Nga. Kalau bukan untuk membayar hutang pada Satrio aku tidak akan meminjam uang padamu.” Hardik Mas Ragil hingga membuat Mawar menangis. Aku menggendong Mawar lalu menepuk pun
Kepalaku terasa sangat pusing saat berusaha untuk membuka mata. Dinding dan atap yang berwarna putih adalah hal pertama yang aku lihat. Aku berusaha bangun, tapi rasa sakit di kepalaku justru menjadi lebih parah. “Jangan bangun dulu, nduk.” Aku menoleh pada Ibu yang duduk di kursi samping tempat tidur. “Aku dimana Bu?” Tanyaku pelan. “Kamu sekarang di puskesmas. Satrio nelpon Ibu kalau kepala kamu berdarah tadi. Untung lukanya nggak parah.” “Mawar dimana?” Tanyaku saat mengingat putriku. Aku ingat saat mendudukan Mawar di kursi makan. Berdebat dengan Mas Ragil dan Ibu mertua. Aku mengambil hpnya saat Arum menelpon lalu Mas Ragil mendorong tubuhku hingga terantuk meja. Aku takut jika Mawar juga akan terluka sama seperti denganku. Ibu kembali menyuruhku untuk berbaring di tempat tidur. “Kamu tenang saja nduk. Mawar aman bersama dengan Satrio. Untung saja adikmu tadi datang ke rumah kalian. Karena suami dan Ibu mertua kamu justru saling berdebat tanpa memperdulikan Mawar yang sedang
Aku memutuskan untuk tidak membalas pesan dari Ibu mertua. Biarkan saja. Toh ini semua konten yang aku buat untuk memperlihatkan pada dunia tentang betapa kejamnya Ibu mertua. Akun yang aku gunakan juga tidak menyertakan akun pertama sehingga tidak ada yang tahu tentang kehidupan pribadiku. Entah bagaimana caranya Ibu mertua tahu tentang akun Tik Tik yang baru saja kubuat. Ini semua pasti ulah Mas Ragil. Dasar. Baru saja aku meletakan hp di atas tempat tidur, hpku kembali berbunyi dengan nyaring. Nama Ibu mertua tertera di layar ponselku. Aku mengambil kembali hp itu lalu menekan tombol hijau. "Halo Assalamualaikum." "Nggak usah basa-basi. Kenapa kamu harus membuat konten seperti itu? Pakai buat konten tentang Ibu yang menyuruh kamu mengerjakan pekerjaan rumah segala. Kamu sama sekali tidak bersyukur sudah di nikahi oleh Ragil." "Darimana Ibu tahu akun Tik Tikku?" Tanyaku secara langsung. "Kamu nggak perlu tahu. Aku cari akun Tik Tikmu juga untuk mengawasi kamu. Ternyata benar kat