Share

Bab 5 Ijin Kerja

"Ya sebagai sesamai pria kamu juga pasti paham Yo kalau anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya. Sudah jadi kewajiban Ragil untuk memberikan nafkah padaku dan memberikan sedikit uang jajan untuk semua keponakannya. Memang dasar Mawar saja yang cacingan. Di kasih makan sebanyak apapun tetap saja kurus. Jadi, jangan salahkan Ragil lagi. Dia sudah melakukan kewajibannya sebagai Bapak untuk Mawar." Jawab Ibu mertua tidak mau kalah.

'Astaghfirullah.' Aku hanya bisa berucap dalam hati.

Sejak dulu memang Ibu Mas Ragil selalu mengutamakan cucu laki-laki daripada cucu perempuannya. Begitu juga dengan urusan anak. Karena itulah Mbak Yuni dan Mbak Sindi selalu mencari perhatian pada Ibu dengan ikut-ikutan membenciku.

"Mawar jadi cacingan juga karena gizinya kurang. Kalau soal pernyataan anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya itu sudah salah kaprah. Menurut kyai saya, pria yang sudah menikah tetap harus berbakti pada orang tua terutama Ibunya. Tapi, kalau sudah tentang nafkah harus bisa memenuhi kebutuhan lahir dan batin istri dan anaknya lebih dulu baru memberikan kepada Ibu. Jangan terbalik. Dzalim itu namanya." Jawab Satrio dengan tenang.

"Selain itu, maaf saja saya tidak akan sama seperti Mas Ragil. Gaji saya yang besar saat ini sudah saya gunakan untuk membuatkan usaha bagi Ibu kami. Tidak lupa dengan memenuhi kebutuhan hidup Ibu setiap bulan dan memberikan hadiah yang saya bisa. Sebelum saya menikah saya pastikan akan membahagiakan Ibu. Karena setelah menikah nanti prioritas saya adalah istri. Saya bisa tenang karena sudah membuatkan Ibu usaha."

"Kamu ini umurnya masih muda. Tidak usah menggurui saya. Pakai bawa nama kyai kamu. Jangan-jangan itu cuma karangan kamu saja." Seru Ibu mertua tidak mau kalah.

"Sudahlah kalau Bude nggak percaya. Tapi, kalau masih mau tahu lebih banyak termasuk hadist-hadistnya bisa saya antar ke tempat saya mondok dulu." Satrio mengibaskan tangannya tidak peduli.

Pandangan adikku itu kini beralih pada Mas Ragil. Terlihat jika wajah Mas Ragil yang sedikit ketakutan. Padahal Satrio lebih muda darinya.

"Apa bahan makanan yang Mas Ragil belikan di kulkas sudah semuanya?"

"Iya. Memang kenapa?" Jawab Mas Ragil dengan nada menantang.

"Kalau Mas Ragil nggak bisa memenuhi kebutuhan Mbak Bunga dan Mawar ijinkan kakakku bekerja." Kata Satrio dengan tenang.

Ia mulai menjalankan rencana yang sudah kami susun bersama dengan Ibu. Langkah pertama yang harus aku lakukan agar bisa lepas dari Mas Ragil adalah mendapatkan uangku sendiri. Agar saat kami resmi berpisah nanti, aku bisa tenang memikirkan biaya hidupku dengan Mawar.

"Enak saja kamu bilang. Bekerja? Siapa yang akan mengurus rumah nanti kalau Bunga bekerja? Mau menyewa pembantu juga tidak akan sanggup."

"Wanita itu bukan babu Bu." Bantah Satrio. Aku menepuk paha Satrio pelan agar ia bisa mengontrol emosinya.

"Memang bukan babu. Tapi, itulah pekerjaan Ibu rumah tangga. Kedua kakak perempuannya Satrio juga melakukan hal yang sama kok."

"Kasihan sekali anak-anak Bude ya. Ck... ckk... ckkk." Satrio menggelengkan kepalanyan dengan dramatis. Aku berusaha menahan tawa melihat wajah Ibu dan Mas Ragil yang sudah menahan amarah.

"Kamu mau kerja apa Nga? Kamu itu cuma lulusan SMA. Tidak seperti Satrio yang lulus kuliah." Mas Ragil segera mengambil alih percakapan sebelum Ibunya mengamuk.

"Gampang kok mas. Mau buat konten Tik tik dan i*. Kalau sudah dapat jumlah follower yang di tentukan bisa dapat uang."

"Halah. Kamu kan nggak pintar buat konten." Sindir Ibu mertua dengan bibir yang maju lima senti meter.

"Memang Bu. Tapi, nanti inspirasiku dari kisah teman-teman sekolah kok. Aku sudah minta ijin sama mereka untuk membagikan kisah yang mereka tulis di grup alumni kami. Kalau tembus target nanti aku akan kirim bagi hasil juga." Bohongku dengan lancar.

"Ya sudah. Asalkan kamu tidak keluar dari rumah dan tetap bisa mengurus pekerjaan dengan baik." Jawab Mas Ragil memberi keputusan.

"Terima kasih mas."

Mas Ragil hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Entah kenapa suamiku itu sangat takut dengan Satrio. Aku menelengkan kepala pada Satrio. Dari gerak bibirnya Satrio hanya mengatakan nanti.

"Tapi, kamu tetap harus memberi nafkah seperti biasa mas. Membelikan bahan makanan, membeli kebutuhan rumah, membayar listrik dan lain-lain. Itu semua harus pakai uangmu. Sedangkan penghasilan Mbak Bunga akan di gunakan untuk membeli vitamin dan makanan pendukung agar bobot tubuh Mawar naik." Kening Mas Ragil sudah berkerut dalam. Tanda jika dia tidak setuju dengan perkataan Satrio.

"Ya nggak bisa begitu Yo. Apa salahnya kalau Ibunya Mawar membantuku utnuk mengurus keperluan rumah?" Satrio tetap menggelengkan kepalanya.

"Uang suami itu uang istri. Tapi, uang istri itu uang istri. Jika aku sampai tahu Mas Ragil menggunakan uang Mbak Bunga, kamu akan tahu akibatnya." Mata Mas Ragil mendelik tidak terima.

"Jangan sombong kamu Yo. Mentang-mentang sudah mendapat pekerjaan bagus di kota. Memang apa yang akan kamu lakukan hah?"

"Tentu saja bisa Bude. Pasalnya menelantarkan anak dan istri hingga Mawar menjadi kekurangan. Buktinya bisa di dapatkan dengan pemeriksaan kesehatan Mawar. Dokter pasti bisa memberikan alasan kenapa Mawar bisa mengalami stunting." Ancaman Satrio nyatanya mampu membuat nyali Mas Ragil dan Ibu mertua menjadi ciut.

"Oke. Aku tidak akan memegang uang Bunga. Puas kamu?" Hardik Mas Ragil lalu bangkit dari kursinya.

"Sangat puas." Satrio tertawa pelan lalu ikut berdiri.

"Aku capek mbak. Mau masuk ke kamar dulu ya." Aku menganggukan kepala.

"Iya. Jangan sampai ketiduran biar nggak lupa sholat."

"Eh, ngapain Satrio tidur disini? Kenapa nggak langsung pulang saja?" Aku hampir melupakan keberadaan Ibu mertua yang masih ada disini.

"Adikku akan menginap disini sampai dapat rumah kontrakan. Dia dapat tender dari desa untuk mengelola program yang sedang di usung Pak Lurah."

"Kenapa nggak pulang pergi ke rumah Ibu kalian saja? Perjalanannya juga cuma satu jam saja." Terlihat sekali jika Ibu mertua tidak setuju Satrio menginap disini. Adikku itu hanya bisa mengedikan bahunya lalu berjalan masuk ke ruang tamu.

"Biaya bensin dan kontrakan itu sama saja Bu. Kata Satrio biar bisa hemat tenaga. Ya sudah aku masuk dulu. Mau cuci piring." Aku pergi begitu saja meninggalkan Ibu mertua yang masih terduduk di balik meja makan.

Segera aku bereskan sisa makanan mahal yang masih ada di atas meja agar tidak di ambil oleh Ibu mertua lalu membawanya masuk ke dalam kamar Satrio. "Kenapa kamu bawa pergi Nga? Pelit banget sih sama mertua sendiri."

"Semua makanan ini yang beli Satrio Bu. Hanya untuk aku dan Mawar. Memang kenapa?" Aku menirukan perkataan Ibu mertua yang ia ucapkan setiap meminta makanan untuk Mawar dari cucu laki-lakinya.

"Nggak ada apa-apa. Dah sana bawa masuk saja. Aku juga bisa beli sendiri kok."

"Dari uangnya Mas Ragil." Sindirku pelan lalu kembali berjalan menuju kamar tamu.

"Beraninya kamu." Ibu mertua sudah menjambak rambutku sampai makanan yang aku bawa tercecer di lantai.

Bruk... prang.,.

Suara barang jatuh dan piring pecah memenuhi ruangan ini. Satrio dan Mas Ragil langsung keluar dari kamar mereka. Ibu mertua yang masih menjambak rambutku membuat aku tidak bisa banyak bergerak.

"Mbak Bunga tunggu disni. Biar aku panggil warga."

"Eh jangan. Buat apa?" Mas Ragil mendelik tidak suka.

"Lepaskan bunga sekarang Bu." Hardik Mas Ragil keras.

"Kenapa kamu sekarang berani membentak Ibu." Teriak Ibu mertuaku yang sudah melepaskan jambakannya di rambutku.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ada makhluk setolol bunga ya. makhluk rekaan penulis tolol g punya akal sehat.
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status