Share

Bab 2 Nawasena

“Apa kamu merasa enggak siap dengan posisi kamu di satuan ini, Re?” tanya Nawasena, pimpinannya, yang kini duduk di hadapannya sambil mengulum permen coklat. “Saya berbicara seperti ini bukan untuk menjatuhkan semangat kamu lho, tapi akhir-akhir ini kamu...” Mulutnya berdecak dan kepalanya menggeleng. Ia menggantungkan kalimatnya.

Raesaka tidak menjawab. Bola matanya bergerak mengikuti gerak pimpinannya yang tingginya tidak melebihi tinggi Raesaka, dan sedikit gemuk. Rambutnya disisir ke belakang, dan mengkilat karena baru saja disemir. Garis-garis halus semakin kentara di kulitnya yang berwarna olive. Ia beranjak ke sisi ruangan dan menyingkap tirai.

Raesaka membuang muka. Pandangannya terlalu lelah, bahkan sekedar untuk melihat bias matahari pada dinding ruangan sekali pun, dan warna seragam pimpinannya menjadi terlalu gelap sekaligus terang. Saat matanya berdenyut perih, tangannya mengusap wajah dan kepalanya.

Nawasena terlalu lama diam. Bagi Raesaka, saat-saat hening seperti itulah yang membuatnya gugup. Entah kenapa, dia merasa terintimidasi oleh bunyi sol sepatu pimpinannya, dan bau ruangannya yang khas—aroma buah-buahan yang formal.

“Ini baru permulaan lho,” sambung Nawasena, kembali duduk. “Belum apa-apa, kamu sudah kehilangan fokus. Sampai masalah tidur pun kamu sepelekan.”

“Siap. Maaf, Pak,” gumam Raesaka, mulai merasakan getaran aneh di tengkuk dan dadanya—sinyal supaya tubuhnya istirahat.

“Kamu masih mencari informasi itu?” Nawasena mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Raesaka dengan serius, dan suaranya memelan. Kumis tipisnya naik turun, mengikuti gerakan mulutnya saat mengecap sisa coklat di lidahnya.

Raesaka mengangguk canggung.

“Sudah ketemu?”

“Belum, Pak.”

“Kapan peristiwa itu terjadi?”

“Ibu saya bilang dua puluh tahun yang lalu—mungkin lebih,” jawab Raesaka.

Nawasena menyandarkan punggungnya pada kursi. Tatapannya tidak berpaling ke mana pun selain kepada personelnya. Ia menggeleng samar dan katanya, “Itu sudah lama sekali. Berapa umurmu waktu itu?”

“Tiga atau empat, saya kurang begitu ingat.”

“Sekarang, Ibumu di mana?”

Raesaka melipat bibirnya. Jemarinya terangkat, menyentuh lengan kiri atas, di mana ada luka tembak yang ia dapatkan enam tahun lalu. Sakitnya masih terasa sampai detik ini, tapi tidak melebihi rasa sakit pada jiwanya.

Raesaka sadar betul, tidak seharusnya ia berperilaku seperti ini di hadapan pimpinannya. Namun, kepada siapa lagi ia harus berbicara. Lagipula, Nawasena sudah mengetahui jawaban atas pertanyaannya sendiri. Ia hanya sedang membangunkan Raesaka supaya kembali pada realita dan bergerak maju,  jadi ia tidak kaget, apalagi marah dengan sikap diam Raesaka. Secara tidak langsung  pimpinannya berkata bahwa ada banyak hal di dunia ini,  yang tidak terselesaikan, tidak terungkap, tidak bisa dikontrol, apalagi diubah.

“Andai kamu menemukan informasi yang kamu cari,” lanjut Nawasena, “apa yang akan kamu lakukan? Marah? Atau apa?”

Pertanyaan yang ke dua jelas membuatnya bimbang, tapi Raesaka menjawab, “Sebenarnya, saya hanya ingin tahu masa lalu orang tua saya.” Ia melirik pada bingkai foto keluarga Nawasena di atas rak buku di belakang kursi. “Enggak ada satu pun saudara dari keluarga ibu saya yang mau bercerita, dan sampai saat ini saya enggak tahu alasannya kenapa. Saya juga enggak tahu di mana keluarga ayah saya.”

Nawasena menghela nafas, mengetahui Raesaka sedang berusaha menghindari tatapannya. Dia tidak ingin personelnya kecewa atau sakit hati. Ia sungguh mempedulikan kesehatan raga dan jiwa semuanya, termasuk Raesaka. Sayangnya, untuk urusan pribadi ia tidak bisa melangkah terlalu jauh. Di sisi lain, ia juga tidak ingin tugas dan misi institusi ini jadi terganggu. 

Lagi-lagi hening. Seberkas cahaya matahari yang mengintip dari balik awan, menyorot bola mata Nawasena saat menyelidiki Raesaka, sehingga iris matanya berubah warna menjadi coklat muda, dan ada lingkaran terang mengelilingi pupilnya.

“Apa Bapak sama sekali enggak tahu?” tanya Raesaka, memancing pimpinannya supaya tidak diam terlalu lama.

“Dua puluh tahun yang lalu, saya dinas di luar pulau, Re. Tapi, begini,” Nawasena kembali mencondongkan dadanya ke depan, dan kedua tangannya bertautan di atas meja, “kamu tahu ‘kan kita sedang dalam situasi darurat? Kita sedang mencari orang ini,”  jarinya mengetuk pada lembaran foto seorang narapidana yang sudah divonis mati,  yang kini buron setelah kabur dari penjara. Selain melakukan kegiatan jual beli senjata ilegal, narapidana itu juga beberapa kali melakukan pembunuhan terhadap orang-orang penting. Selama menjadi buronan, narapidana itu melakukan teror dan perampokan di rumah dinas pejabat publik, membunuh beberapa petugas kepolisian, serta menyandera sekelompok warga sipil di suatu tempat.  “Dan saya yakin kamu sudah tahu tugasmu apa.  Mungkin kamu—selama pencarian ini berjalan—bisa berdinas seperti biasa sambil beristirahat sejenak dari urusanmu itu.”

“Tapi, Pak...”

“Kamu jangan arogan dong,” sela Nawasena, sedikit melebarkan matanya, hingga Raesaka bisa melihat refleksi ruangan dan dirinya sendiri pada kornea matanya.  Punggung Nawasena mundur dan lebih rileks. “Ingat apa tugasmu saat ini. Atau kamu ingin dipindahkan ke satuan lain?”

Setelah diam selama beberapa saat, Raesaka menggeleng.

“Terakhir,” kata Nawasena, “apa kamu pernah berpikir untuk menemui psikolog atau psikiater?”

Raesaka terkekeh singkat, pura-pura tidak tersinggung, dan katanya, “Bapak pikir saya  kena gangguan jiwa?”

Sambil berdecak, Nawasena menggelengkan kepala. “Barangkali mereka bisa bantu kamu melewati kegelisahan ini, Re. Siapa tahu kamu benar-benar butuh itu,” timpalnya. “Kalau kamu mau ambil cuti dua atau tiga hari, enggak apa-apa kok. Pasti saya izinkan.”

Raesaka melirik ke arah lain, lalu mengangguk samar.

“Tolonglah. Jangan menunjukkan sikap lemah seperti itu.”

Raesaka meluruskan punggungnya, mengangguk lagi dan katanya, “Siap. Baik, Pak. Soal cuti, akan saya pertimbangkan dulu. Dan saya janji, hal ini enggak akan mengganggu tugas saya. Saya mohon maaf, dan enggak akan lagi mengulangi perilaku semalam.”

Nawasena melontarkan senyuman. Setidaknya, senyuman singkat itu bisa mengisi ruang-ruang kosong di hati Raesaka.

“Nah,” gumam Nawasena sambil mengecek sebentar layar ponselnya, “sekarang kamu cari Purangga. Suruh dia temui saya sekarang.”

“Siap, Pak,” jawab Raesaka seraya beranjak.

Raesaka berpapasan dengan rekannya yang lain di ambang pintu. Selama beberapa saat, ia mengamati berkas-berkas yang dibawa rekannya itu. Hampir saja ia tergoda untuk merebut berkas-berkas itu dan menyortirnya—siapa tahu Sindukala ada di sana, tapi dia ingat janjinya tadi, dan segera menjauh.  

“Dia baik-baik saja, Pak?” tanya petugas itu, bertanya tentang Raesaka.

“Saya penasaran, apa penyakit mental itu bisa menurun dari orang tua kepada anaknya?” gumam Nawasena seraya menerima berkas yang diserahkan kepadanya.

Raesaka menemui Purangga di samping gedung, sedang duduk di bangku beton di bawah pohon akasia yang bergemerisik. Rekannya yang berkulit kuning itu membungkuk memperhatikan sepatu bootnya sendiri, dan pikirannya menerawang. Ia tidak menoleh saat Raesaka duduk di sebelahnya.

“Kamu ditunggu Bapak, Pur,” kata Raesaka.

“Aku tahu,” bisik Purangga, lalu mengusap mulutnya.

“Ada apa?” tanya Raesaka.

Purangga menghela nafas dan menjawab, “Kemarin aku ngeluh soal kinerja institusi yang.. menurutku lambat. Sebetulnya, aku enggak ada maksud apa-apa selain khawatir sama kakakku.”  Purangga kemudian menoleh kepada Raesaka, dan mereka saling berpandangan. “Kakakku jadi salah satu korban penyanderaan itu, Re,” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku capek lihat ibuku menangis terus. Kami khawatir hal-hal buruk menimpanya sebelum kepolisian menemukan mereka.”

“Kakakmu pasti baik-baik aja,” timpal Raesaka setelah diam sejenak.

“Dari mana kamu tahu?”

“Kalau kamu saudaranya, pasti lebih tahu.” Sebetulnya, Raesaka tidak tahu bagaimana caranya menghibur orang, apalagi situasinya serba tidak pasti seperti sekarang.

Purangga menoleh ke arah lain, mengamati rerumputan dan bunga-bunga liar yang bergoyang pelan dipermainkan angin. Tangannya menepis udara saat seekor lebah kecil mendekati sisi kepalanya.  Cukup lama ia merenung, mencoba untuk tidak marah supaya bisa berpikir jernih. Setelah itu, ia beranjak, berlari meninggalkan Raesaka, mau menemui pimpinannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status