“Jadi gimana nih?” tanya Arumi melalui telepon. “Kapan ada rencana ke Niskala? Aku kangen pengen ketemu kamu.”
Ivan dan Purangga sudah pulang satu jam yang lalu.
Bayangan Arumi di kepala Raesaka, dibuyarkan oleh langkah kaki ibunya yang telanjang, menapaki tanah dan rerumputan. Meskipun pincang, Marsala masih mampu memanjat pohon kersen yang tingginya tidak seberapa. Di hari ke tiga setelah kedatangan Raesaka dari Niskala, ibunya berdiri di salah satu batang pohon kersen, bersandar pada batang yang lain, memetik banyak kersen dan melahapnya sambil menikmati cerahnya langit.
Kersen-kersen itu menggelincir di telapak tangan ibunya, berjatuhan tepat di wajah Raesaka. Di bawah, ia melihat ibunya yang riang, terbingkai ranting dan dedaunan. Itu adalah keceriaan ibunya yang pertama kali dilihatnya setelah lima belas tahun mereka hidup berpisah. Dulu, setiap hari Sabtu dan Minggu, ibunya mengunjungi Raesaka di Niskala. Itu pun jarang, bahkan ia pernah tidak datang selama beberapa bulan tanpa memberi alasan.
Di Niskala, ibunya selalu murung dan sedikit berbicara. Jika tidak ditanya, ia akan bungkam terus-menerus. Ketika tiba acara berkumpul bersama keluarga besar (di Hari Raya atau pun Tahun Baru), ibunya selalu tampak seperti anak kucing yang pemalu, canggung dan kikuk. Ia gemar menyendiri di suatu tempat dengan pandangan menerawang—seakan-akan ia ingin melarikan diri ke tempat lain, atau duduk di sudut ruangan, menikmati kudapan sambil memperhatikan saudara-saudaranya yang lain. Hanya satu yang tidak pernah berubah, yaitu senyuman dan pandangan damainya.
“Reeeeeee!” panggil Arumi—tidak sabar, memecah lamunan Raesaka yang sedang duduk bersandar di bawah pohon kersen, di belakang rumah ibunya. Pohon itu kini sedang tidak berbuah.
“Tadi kamu ngomong apa?” tanya Raesaka sambil menggaruk keningnya, dan mengerut saat seberkas cahaya matahari sore menyorotnya dari balik awan.
“Kalau kamu lagi sibuk, kita udahan aja kalau gitu.”
“Hah? Udahan, maksudnya?”
Arumi tertawa dan katanya, “Kamu pasti mikir itu maksudnya putus ‘kan?”
“Hmm,” gumam Raesaka, bingung.
“Enggaklah, Re. Maksudnya udahan telponannya. Siapa tahu kamu masih sibuk. Iya ‘kan?”
Raesaka menghela nafas. “Enggak kok,” katanya, tanpa mengatakan bahwa ia sedang berada di rumah ibunya.
“Terus, gimana soal Niskala? Ada rencana, enggak?”
“Aku belum tahu, Rum. Tapi, kalau ada waktu, pasti aku atur.”
Keduanya diam. Raesaka menunduk, mengamati jemarinya yang sedang memainkan rumput kering di bawahnya. Kalau pun ada waktu, sebetulnya ia enggan pergi ke Niskala. Ada sesuatu yang mengusik hatinya secara perlahan—entah apa.
“Kamu.. masih mikirin Ibu kamu, ya?” tanya Arumi, cukup mengejutkan Raesaka.
“Ya iyalah. Namanya juga Ibu sendiri,” jawab Raesaka, agak canggung. “Memangnya kamu enggak pernah mikirin orang tua kamu?” Sebenarnya ia merasa tertohok dengan pertanyaan pacarnya.
“Oh,” bisik Arumi, seakan-akan ada yang ingin diutarakannya, tapi urung. “Kalau memang kita belum bisa ketemu di Niskala, aku enggak apa-apa sih. Mungkin belum saatnya aja ya. Apalagi kamu sibuk banget.”
Raesaka segera menjauhkan punggungnya dari batang pohon, dan katanya, “Maaf, Rum. Aku enggak bermaksud bikin kamu kecewa, tapi..”
“Padahal, udah bertahun-tahun kita menjalani hubungan jarak jauh kayak gini, tapi aku kepikiran kamu terus. Apa pun kegiatan yang aku lakukan, pasti ingat kamu. Rasanya enggak sabar nungguin waktu itu tiba.”
“Waktu apa, Rum?”
“Ya, waktu di mana kita bisa hidup bareng-bareng. Tadinya aku pikir, mungkin aku berhenti kuliah aja ya, terus cari kerja di Narwastu. Hehe.”
“Aku juga maunya kayak gitu sih, tapi menurutku, kamu enggak usah berhenti kuliah cuma demi bareng aku. Cari kerja juga enggak gampang. Takutnya kamu kecewa, orang tua kecewa, dan lain sebagainya.”
“Kok aku yang kecewa? Ya enggak dong. Selama ada kamu—”
“Kita enggak tahu apa yang akan terjadi di depan, Rum, jadi mungkin untuk saat ini, zona aman adalah yang terbaik.”
Arumi diam.
“Maaf. Bukan berarti aku enggak mendukung apa yang kamu pikirin.”
“Sebenernya, aku khawatir sama kamu, Re. Sejak peristiwa itu, aku jadi takut kamu kenapa-kenapa di sana.”
“Aku baik-baik aja kok, tapi begini,” kata Raesaka sambil menarik nafas, “kepolisian memang lagi sibuk ngurus kasus—kamu tahu ‘kan kasus apa? Aku belum tahu kapan misi itu dilaksanakan, soalnya kasusnya masih dalam penelusuran, jadi,..”
“Jadi itu artinya, kita enggak bisa ketemu,” sambung Arumi, yang kemudian tertawa pelan. “Enggak apa-apa, Re. Aku ngerti.”
“Tenang aja. Di sini juga aku enggak ngapa-ngapain selain kerja. Aku janji—”
“Kamu enggak usah janji apa-apa, Re,” sela Arumi. “Mau jauh atau dekat, kesetiaan itu paling susah dipegang. Simpan aja janji itu di hati kamu, oke?”
Beberapa menit setelah telepon diputus, Arumi mengirimkan fotonya disertai teks bertuliskan, “Hari ini ada jadwal latihan paduan suara di kampus.” Sambil tersenyum, Raesaka mengamati wajah pacarnya yang manis dan kekuningan, berambut bob pendek hitam kecoklatan (mirip Dora The Explorer, kata Raesaka), dan pipinya yang membulat saat tersenyum. Raesaka hanya membalasnya dengan emoji hati.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, Raesaka mengunci pintu rumah dan gerbang. Dengan motornya, ia pergi ke Galeri Gardenia, toko stationery milik ibunya di Lindubumi. Tidak hanya menjual perlengkapan sekolah dan kantor, ibunya juga menyediakan alat-alat lukis, serta lukisan cat air karyanya sendiri (baik cetak mau pun orisinil). Tidak jarang ia juga menerima pesanan lukisan melalui website. Sependek pengetahuan Raesaka, ibunya tidak pernah mengikuti pameran resmi di mana pun, dan ia pernah membuka kelas melukis di sini, tapi karena kurangnya peminat dan banyak yang berhenti di tengah jalan, kelas melukis itu ditutup.
Ketika menengok ke dalam toko melalui jendela besar, dan melihat mesin fotocopy di sana, Raesaka ingat bagaimana Aditya, salah satu pegawai di toko, mencetak lukisan yang dipesan pembeli. Cetakan lukisan itu dimasukkan ke dalam amplop coklat beraroma bunga, dilengkapi cap dan/atau tanda tangan Marsala. Tidak lupa menyelipkan bonus seperti gantungan kunci, sticker, buku tulis kecil, atau pembatas buku—tergantung pilihan Aditya.
“Ibu kamu bilang, lukisannya itu cuma sebatas pajangan belaka,” kata Aditya kepada Raesaka saat itu, “jadi, pelayanannya harus maksimal, supaya pembeli enggak menyesal membelanjakan uangnya di sini.”
Galeri Gardenia kini sudah kosong dan muram. Teras kayunya memucat, dipenuhi debu dan dedaunan kamboja yang mengering. Pasokan barang sudah dihentikan, dan pegawai-pegawainya terpaksa mengundurkan diri. Tapi, ada beberapa lukisan ibunya yang masih terpajang di etalase dalam, dan Raesaka berniat mengambilnya. Sayang sekali, ia tidak memegang kuncinya. Ia bahkan tidak tahu di mana keberadaannya.
Saat Raesaka berpikir mungkin kuncinya ada di kamar ibunya, muncul seorang perempuan berambut pixy cut, berdiri di gerbang masuk Galeri Gardenia. Ia memakai kaos putih bercorak, dan celana jeans yang bagian lututnya robek-robek.
“Re,” kata perempuan itu. Matanya melebar, seakan tidak percaya.
“Kak Nay?”
“Aku kira, kita enggak akan ketemu lagi,” kata Nayyala sambil melahap nasi goreng ikan asin. Suaranya kecil dan bergetar, seakan kecemasan menyelip di tenggorokannya, tetapi memang itu ciri khas Nayyala. Dia sejatinya perempuan periang. Keduanya duduk berhadapan di restoran terbuka yang dikelilingi pepohonan rimbun. Suasananya sedikit temaram, dan tidak banyak pengunjung yang datang. Musik jazz mengalir memenuhi udara di sekitar mereka, saat Nayyala tersenyum dikulum, memperhatikan Raesaka yang sedang menyendok nasi ayam teriyaki. “Kakak kerja di mana sekarang?” tanya Raesaka. “Di toko buku Citraloka, jadi kasir lagi,” jawab Nayyala. “Kak Prisha?” Nayyala angkat bahu dan menggelengkan kepala. Katanya, “Udah lama enggak ada kabar dari dia, selain pernikahannya.” “Menikah?” Raesaka hampir tidak percaya, matanya membulat. “Kapan? Sama siapa?” “Satu tahun yang lalu, sama orang Baralingga. Pestanya di luar pulau, jadi aku enggak datang.” “Kok aku enggak dikasih kabar, ya?” Kening
“Re, apa kabar?” sapa Prisha.Hawa panas memenuhi ruang mobil tahanan, saat Raesaka mengamati enam punggung terdakwa pelaku terorisme, yang dijadwalkan akan menjalani persidangan hari ini. Satu rekannya yang lain, berjaga di dekat pintu keluar. Ia teringat ibunya pernah membicarakan soal asas praduga tidak bersalah. Ibunya tahu betul tentang itu, dan menjelaskannya berkali-kali sampai terdengar membosankan, seakan itu pengingat supaya Raesaka tidak bertingkah main hakim sendiri.“Ibu semestinya masuk sekolah hukum,” kata Raesaka waktu itu. “Ibu pintar dan berwawasan luas.”Ucapan itu membuat ibunya diam cukup lama, lalu tertawa seperti sedang mendengar humor yang tidak lucu. Demi milyaran menit yang telah berlalu, Raesaka belum pernah menyaksikan ibunya tertawa seperti itu—langit-langit mulutnya yang kemerahan, mengkilat dan basah, dan anak tekaknya sampai terlihat. Bahu ibunya sampai bergetar, dan tangannya menepuk-nepuk meja sambil cegukan. Dengan canggung, Raesaka ikut tertaw
Prisha duduk di lantai koridor pengadilan, bahunya bersandar pada pilar, mengamati area pengadilan yang diramaikan oleh kehadiran para wartawan yang akan meliput persidangan terdakwa terorisme. Sama seperti dua minggu yang lalu, ia mengenakan celana gading pegawai negeri sipil dan kaos putih bercorak, tetapi tanpa kemeja almamaternya. Sesekali, ia melirik ke ruang sidang yang terbuka, di mana suaminya sedang menunggu giliran sidang.Di samping Prisha, ada wanita berusia empat puluhan bersetelan resmi hitam-hitam, yang kemudian berdiri menghampiri Wandra, dan mengobrol. Itu adalah ibu Padma, tetangga yang tinggal di dekat rumahnya Wandra. Kedua tangannya mendekap dua map berisi berkas-berkas. Ada sebentuk logo dan nama universitas pada permukaan map yang dibawanya.“Ibu dipanggil jadi saksi,” kata wanita berambut pendek itu, berdiri membelakangi Prisha. Sesekali ia mengusap kemejanya, menyingkirkan debu yang sebetulnya tidak ada di sana. “Padahal, hari ini ada jadwal ngajar di kampus.
“Gimana kalau kita cari si bangsat ini?” tanya Purangga melalui telepon.“Siapa maksud kamu?” Raesaka bertanya balik, keningnya mengerut.“Maruk,” jawab Purangga, menyebut nama penjahat yang menjadi target pencarian oleh kepolisian. Walaupun suaranya rendah dan terkesan kosong, terselip kebencian yang gelap dari nadanya. “Kita hajar dia sampai mati, atau kalau perlu kita seret dan kita permalukan dia di depan publik.” Mendengar itu, Raesaka menjadi merinding. Ia tidak pernah mengira Purangga yang pemalu, melontarkan kata-kata seperti itu. Tapi, Raesaka paham, mau sebanyak apa pun cuti yang dia ambil, tidak akan meredam kekalutannya, apalagi menyelesaikan situasi yang dialaminya. Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa Purangga tidak benar-benar ingin menangkap Maruk. Purangga hanya ingin segera menyelamatkan kakaknya.“Enggak mungkin kita bertindak di luar prosedur, Pur. Kamu tahu itu, bukan?” ujar Raesaka.“Si Maruk sendiri bertindak di luar aturan!” geram Purangga. “Mereka bahk
“Rae.” Gaduhnya pintu yang dibuka, langkah-langkah kaki yang sibuk, dan keriuhan orang-orang, menumpuk suara Purangga.Kaget, Raesaka membuka matanya dan menoleh cepat, mendapati dirinya sedang berbaring di kursi, dan Purangga yang berlutut di sampingnya, menatapnya tanpa senyuman. Di belakang Purangga, dua kepala rekannya yang kelabu, bergerak-gerak menertawakannya. Bingung, Raesaka mengangkat kepala dan bahunya ketika Bu Dhatri muncul dari balik pintu.“Orang pingsan jangan diketawain,” tegur Bu Dhatri sambil membungkuk, menaruh semangkuk bubur asin yang hanya ditaburi bawang goreng dan irisan telur, disertai teh manis hangat di meja. Kemudian, ia menoleh kepada Raesaka, memintanya supaya segera makan sebelum wanita setengah baya itu meninggalkan ruangan.“Kenapa aku ada di sini?” bisik Raesaka.“Kamu pingsan pas apel,” jawab salah satu rekannya. “Kita semua yang gotong kamu ke sini.”“Apel?” Raesaka melihat topi baret miliknya di meja, lalu mengamati seragamnya selama beberapa s
Raesaka menolak ajakan Purangga yang bersedia mengantarnya ke dokter. “Pernah satu kali,” kata Raesaka di bawah tekanan menyakitkan di kepalanya dan tubuhnya gemetar samar, “aku pergi ke dokter umum di dekat rumah di Niskala, setelah jempol kakiku digigit nyamuk dan sakitnya seperti disengat lebah, lalu aku demam.” “Ah, barangkali itu memang lebah, Re.” Purangga menyesap air di gelas dan terkekeh. “Enggak, enggak, itu beneran nyamuk, kok. Sakitnya memang kayak habis disengat lebah, tapi enggak gatal dan enggak bengkak. Aku lantas bilang sama dokternya, kayaknya aku kena chikungunya. Aku malah dikatain sok tahu sama dokternya, dan cuma dikasih obat pereda sakit dan penurun panas.” “Terus, kondisi kamu gimana?” “Ya, makin parah. Aku demam tinggi malam harinya. Yang sakit bukan lagi jempol, tapi semua persendian, dan baru sembuh sepuluh hari kemudian. Saking sakitnya, aku enggak bisa bangun, dan aku pikir, aku lumpuh, Pur. Tapi, enggak ada yang percaya kalau aku kena chikungunya. Mer
Raesaka membuka mata, melihat siling yang semula buram kini tampak jelas, menyadari kekeliruannya yang mengira neneknya adalah ibunya. Senyuman dan sentuhan neneknya menyambutnya kala itu. Rambutnya yang keriting pendek dan kelabu, berkilat-kilat diterpa cahaya dari luar jendela. Tubuhnya yang pendek tetapi tidak bungkuk, bergerak-gerak di sekitar ranjang Raesaka.“Kapan Nenek datang?” tanya Raesaka sambil menyentuh plester penurun panas di keningnya. Pergi, kata Raesaka dalam hati. Tinggalkan Rae sendiri, Nek. Nenek mengganggu!“Kemarin malam saat kamu tidur—ceroboh sekali kamu enggak kunci pintu depan,” jawab neneknya yang kini sedang memeriksa kotak obat di ujung ranjang. “Setelah tahu kamu sakit, Nenek langsung berangkat ke sini.”“Dari mana Nenek tahu aku sakit?” tanya Raesaka lagi setelah meneguk air.Neneknya menghela nafas pendek, mengangkat wajahnya dan menjawab, “Sena yang kasih kabar. Duh, seperti apa ya dia sekarang? Sudah lama Nenek enggak ketemu Sena.”“Maksudnya?”“M
Ketika lidah pahitnya berusaha menikmati potongan tumis jamur, Raesaka melihat kepulan asap kelabu, yang berputar-putar di sudut siling di atas lemari dapur. Kepulan asap itu berbisik-bisik, membentuk beberapa ekspresi wajah yang berbeda, asing, dan samar. Keberadaannya tidak disadari neneknya dan Arumi, dan Raesaka sudah tidak lagi merasa heran.Di antara wangi-wangi gurih ikan goreng, sambal, dan tumis sayuran, Raesaka melirik kepada neneknya yang sedang menambah beberapa centong nasi ke piring Arumi. Ia mendengar neneknya berkata, “Ayo, ambil nasinya yang banyak. Apa kamu pemilih? Enggak ‘kan?”“Enggak, Nek,” gumam Arumi sambil sesekali melirik kepada Raesaka, berharap pacarnya itu bisa menghentikan apa yang dilakukan neneknya. Jelas Arumi berbohong. Dia tidak suka jamur dan sayuran, jadi dia hanya mengambil ikan goreng dan sedikit sambal, dan diam-diam menyingkirkan potongan bawang dan tomat ke sisi piring. Raesaka tahu betul apa yang ada dalam pikiran pacarnya saat ini: ingin