Share

Bab 5 Purivan

“Kapan kamu ada waktu ke Niskala? Udah berbulan-bulan kita enggak ketemu. Aku kangen sama kamu,” kata Arumi, pacar Raesaka, melalui pesan di ponselnya.

Di dalam pikirannya, wajah Arumi dan ibunya saling berbenturan. Semakin lama, sosok ibunya terpampang semakin jelas, seperti lembaran-lembaran memori yang beterbangan.  Saat itu, ia sedang menyapu lantai rumah ibunya, ditemani musik yang mengalun melalui mp3 player,  yang ia taruh di meja ruang televisi.

“Sekarang aku lagi sibuk, Rum. Nanti sore aku hubungi lagi, ya,” balas Raesaka,  mendengar bunyi bel pintu. Bunyinya membuatnya terpukau selama beberapa saat—sudah berapa lama ia tidak mendengar iramanya? Sambil membetulkan letak maskernya yang melorot di hidung, ia berjalan menyeberangi ruangan dan membuka pintu.

“Hai,” sapa Ivan sambil melepas topinya. Matanya yang sipit menyerupai dua garis hitam ketika ia nyengir seperti itu. Sinar matahari menyengat pipinya yang putih kekuningan sampai memerah. Ia memakai seragam coklat berbahan kaos, celana panjang hitam dan sepatu boots. Di belakang bahunya ada Purangga, yang tidak berpakaian dinas, tersenyum canggung.  “Aku sedang enggak ada kegiatan,” lanjut Ivan,  “jadi aku ikut Purangga ke sini. Sorry, aku enggak sengaja dengar obrolan kamu dan Purangga sehabis simulasi kemarin,  jadi...”

“Aku dapat cuti dua hari,” sahut Purangga, berusaha menutupi rasa cemas dan ketidakinginannya berada di sini.

Raesaka dapat memahami alasan kenapa Purangga diizinkan libur, tetapi Ivan, bagaimana ia menjelaskannya kepada Nawasena jika pimpinannya memergokinya?

“Ya, sudah,” ujar Raesaka. “Buka sepatu kalian dan simpan di situ,” lanjutnya sambil menunjuk rak kayu, lalu berbalik. “Ibuku enggak suka kalau ada orang yang injak-injak lantainya pake sandal atau sepatu.”

Merasa aneh, Ivan dan Purangga saling berpandangan, tetapi mereka tetap menurut. Begitu masuk mengikuti Raesaka, keduanya menghirup aroma khas rumah yang asing, dan melihat-lihat sekitar.

“Mana foto keluarga kamu, Re?” tanya Ivan. “Ini lukisan siapa? Marsh?”

Raesaka mengacungkan jari, memberi tanda supaya tidak ribut. Sambil memaksa bibirnya tersenyum, ia pun menjawab, “Foto keluargaku semuanya ada di Niskala. Kalian pernah ke Niskala? Dan itu, lukisan buatan ibuku, jadi, stop bertanya-tanya, ya.”

Ivan dan Purangga membantu Raesaka menyapu, mengepel, menyikat kamar mandi, dan lainnya. Hanya kamar ibunya yang sengaja Raesaka lewatkan, dan itu lagi-lagi meninggalkan kesan aneh bagi Ivan dan Purangga, tapi mereka ingat, Raesaka tidak suka ditanya-tanya.

Jam hampir menunjukkan pukul dua belas siang, saat Ivan dan Purangga menggulung beberapa karpet yang rencananya akan dibawa ke binatu nanti sore, sementara Raesaka membenahi perpustakaan. Setiap kali masuk ke ruang perpustakaan, segala sesuatu yang berada di luar terasa menjauh, seakan ia berada di dalam kotak putih raksasa yang terpisah dari realita, tapi, ia tidak lagi begitu peduli.  Setelah semuanya selesai,  Raesaka mematikan musik pada mp3 player-nya, dan memperhatikan sekeliling.

Sosok-sosok absurd itu kembali bermunculan. Tidak seperti sosok tempo hari, mereka berbentuk siluet-siluet kelabu tipis, berkeliaran dan berbisik-bisik di setiap sudut ruangan. Kadang-kadang menyerupai kepala, wajah, atau hanya tubuhnya saja. Salah satu sosok itu menembus tubuh Ivan dan Purangga seperti asap yang tidak mereka sadari. Di hari-hari pertama, Raesaka tidak terbiasa dengan kehadiran mereka, tapi sekarang, ia sudah bisa menyesuaikan diri.

Raesaka tidak pernah tahu, kenapa hanya dirinya saja yang melihat mereka?  Dia pernah membahas ini dengan ibunya, tapi reaksi ibunya malah membuatnya merasa seperti orang idiot.

“Semua itu hanya ada di kepala kamu aja, Re,” kata ibunya sambil tertawa.

Raesaka memasak sop ayam untuk makan siang. Ia duduk di kursi yang biasa ia duduki. Dulu, ibunya selalu duduk di seberang meja, tepat di depannya, membelakangi jendela dapur. Dan di sampingnya ada Ni Champa, asisten rumah tangga yang cukup loyal pada ibunya. Dia ingat sekali, bagaimana ibunya berbincang bersama Ni Champa, seakan-akan wanita tua itu sahabat satu-satunya. Sementara di sisi lain meja, neneknya Raesaka memandang Ni Champa sebagaimana “semut pekerja”,  yang tidak layak duduk sejajar bersamanya.

“Sebagai penegak hukum, apa kamu memahami hal yang paling esensial dari hukum, Re?”  Ibunya menoleh kepada Raesaka, dan menopangkan dagu.

Raesaka batuk satu kali. Sesuatu seperti cairan melompat dari mulutnya, mengotori sisa kuah sop ayamnya.  Ketika ia menengok ke piringnya, sesuatu itu sudah tidak ada di sana. Ia menyentuh area bibirnya, dan baik-baik saja.  Jemarinya pun bersih. Raesaka mengangkat wajahnya, menyadari Ivan masih di sini, duduk di kursi ibunya, sedangkan Purangga duduk di kursi yang pernah ditempati Ni Champa. Keduanya sedang mengobrol.

“Sop bikinan kamu enak, Re,” puji Ivan, melihat Raesaka berdeham dan meneguk air. “Enggak terlalu kerasa ladanya, tapi aku suka sop yang kayak begini.”

“Kalau suka habiskan dong,” kata Raesaka.

“Ngomong-ngomong,” kata Ivan lagi, “rumahmu besar juga, ya. Sepi dan nyaman ditinggali. Ketika aku melewati gerbang depan, rasanya pikiranku jadi tenang.”

“Tapi, ini rumah ibuku, Van.”

Ivan melipat bibirnya sebentar, berpikir mungkin ada ucapannya yang salah, tapi setelah melihat ekspresi Raesaka yang biasa, ia melahap lagi nasinya.

“Aku tahu,” Ivan mengangguk,  “gaji kita memang terlalu kecil untuk punya rumah seperti ini. Aku cuma mengkhayal bisa tinggal di sini sama istriku.”

“Istri?” ucap Raesaka dan Purangga berbarengan.

“Maksudnya calon. Mau lihat?”  Ivan mengambil ponsel dan menggulir layarnya, lalu memperlihatkan foto seorang perempuan kurus berkulit coklat. Rambutnya panjang bergelombang sampai ke pinggang, dan ia berpose sambil memegang gitar akustik. “Namanya Marissa. Dia penyanyi musik indie yang suka manggung di cafe-cafe,” jelas Ivan. Seluruh wajahnya agak memerah saat bercerita di mana ia dan Marissa bertemu.

Usai makan siang, mereka pergi ke gudang di halaman belakang, memakai sepatu boot karet dan topi koboy yang dulu pernah dipakai Duri si tukang kebun. Sayang sekali, mesin pemotong rumputnya tidak berfungsi, jadi mereka terpaksa menggunakan arit.  Walaupun tidak sepenuhnya kembali seperti sedia kala, Raesaka cukup puas. Ia pun memotret rumah dan sekitarnya (tanpa Ivan dan Purangga) menggunakan ponsel, lalu hasilnya dikirim kepada Nawasena.

“Saya ada di rumah ibu saya, Pak. Rumahnya kotor, jadi saya bersihkan. Halaman dan kebunnya juga sudah saya rapikan,” ketik Raesaka.  Foto-foto itu juga ia kirimkan kepada neneknya di Niskala, tetapi tidak mendapat tanggapan.

Ivan memanjat pohon asam yang ada di sudut halaman belakang, sedangkan Purangga berada di bawahnya, mendongak memperhatikan rekannya. Tawa riang mereka terbawa semilir angin sore, bercampur dengan nuansa yang selalu Raesaka rindukan. Ini benar-benar seperti kembali ke pangkuan ibunya, sehingga ia membayangkan tubuhnya menciut, sedangkan ibunya meninggi menutupi sebagian langit.  Sambil tersenyum damai, kedua tangan ibunya menyentuh pipi Raesaka yang tembam dan mungil.

“Jangan ragu-ragu,” kata ibunya dengan lembut. “Jangan dengarkan apa pun selain hati kamu sendiri. Kamu harus yakin, bahwa kamu bisa melewati apa pun yang ada di hadapan kamu.”

Walaupun Raesaka kecil belum memahami apa yang diucapkan ibunya, kalimat itu membuat hatinya dipenuhi kegembiraan, perasaan terlindungi, dan rasa sayang yang terus merambah. Setelah agak besar, dia tidak pernah memahami apa yang membuat ibunya pergi selama belasan tahun, meninggalkan ruang-ruang kosong di hatinya. Padahal, ibunya pernah berpesan supaya ia selalu berbahagia, sedangkan saat itu, satu-satunya hal yang membuatnya bahagia adalah kehadiran ibunya.

Sampai akhirnya ia menerimanya kembali, dan terjadilah peristiwa itu...

“Re.” Ivan memanggil namanya berkali-kali. Telapak tangannya bergerak naik turun di hadapan Raesaka. “Rae. Re!”

Raesaka mengerjap, kemudian menatap lurus kepada Ivan yang sudah berdiri di dekatnya. Keningnya mengerut dan bingung selama beberapa saat.

“Aku lihat kamu sering melamun. Ada apa sih?” tanya Ivan.

“Enggak,” jawab Raesaka, melihat Purangga sedang duduk di teras dapur, meneguk air mineral. Kemudian, Raesaka berjalan memunggungi Ivan dan katanya, “Kalau mau mandi, silakan pakai kamar mandinya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status