Share

Bab 1 Sindu. Kala.

Sindu. Kala. Sindu Kala. Sindukala.

Nama itu terketik di langit-langit kepala Raesaka, melebur dengan bau lantai ruang kerja, dan remangnya cahaya yang dipantulkan dinding berwarna krem. Tidak ada informasi yang muncul terkait nama itu di layar komputer. Dia bahkan tidak menemukan berkas-berkas tentang Sindukala di laci arsip, seolah perkaranya memang tidak pernah ada sejak semula.

Dalam waktu yang terbatas, rasa penasaran dan kebingungan mengoyak jiwanya. Ia bahkan jijik pada sensasi kering berdebu di sela-sela jemarinya setelah menyortir berkas. Semua itu memicu kemarahan kepada dirinya sendiri, satuannya, pimpinannya, dan negara ini.  Memang tidak pernah ada yang beres di negeri ini—sistemnya, orang-orangnya—semuanya hanya membuatnya muak. Hampir saja mulutnya meludahkan kata-kata kasar.

“Saat mencari keadilan, ada seribu lebih pintu yang harus kamu lewati. Begitu absurd dan rumit,”  kata Marsala, ibunya. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalanya, membuyarkan nama Sindukala, seakan-akan kalimat ibunya itu terlontar melalui bibir petugas yang menjaga kantor kepolisian sektor Lindunagari.

“Belum juga selesai nih?” tanya rekannya, berdiri di ambang pintu ruangan sambil menyesap secangkir kopi. “Ini sudah pukul setengah dua belas lho.”

Mendengar ucapan rekannya, titik-titik keringat bermunculan di kulit kepala Raesaka. Suhu tubuhnya meningkat, dan dadanya agak berdebar, tapi sensasi menyebalkan di jemarinya tidak juga hilang.  Raesaka hanya menanggapinya dengan gelengan kepala, berharap rekannya pergi.  Dia belum mau menyerah, tapi kalau sudah nihil, apa lagi yang harus diperbuatnya?

Raesaka memutuskan berhenti dan mematikan komputer. Punggungnya melemas dan bersandar pada kusen pintu. Bunyi-bunyi televisi dari ruangan lain, melebur dengan gumaman para petugas yang berjaga.  Pandangannya berpaling ke lorong di samping kiri, di mana ruang sel tahanan yang muram berada di ujungnya.

Saat Raesaka berbalik, sepasang mata sedang mengamatinya di belakang punggung, di suatu tempat—ia tidak bisa memastikan apakah mata itu berada di luar, atau di dalam sel tahanan. Kelopak pada mata itu agak turun, seperti orang yang mengantuk, dan bentuknya tidak simetris satu sama lain. Putih matanya suram kekuningan, pupilnya coklat menggelap dan berkaca-kaca. Tidak ada perasaan dendam atau pun amarah, melainkan kesedihan yang diliputi pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab.

Ketika ia melangkah lagi, mata itu kembali mengawasinya, dengan nuansa yang sama seperti tadi. Entah kenapa, tiba-tiba ia menjadi familiar dengan pandangan itu. Namun, ia juga merasa terganggu, jadi Raesaka berbalik, berjalan melewati lorong itu untuk memeriksa.

Di balik jeruji besi, dua tahanan sedang tidur beralaskan karpet lusuh berdebu. Kemudian, ia bergerak ke kanan, menuju ruang tahanan lain. Di sana ada petugas kepolisian yang dikenalnya, yang juga sedang tidur, namanya Remi. Hatinya bertanya-tanya: kenapa Remi bisa ada di sini?  Begitu memeriksa sel tahanan paling ujung, paling kecil dan kosong, Raesaka tidak lagi merasa diawasi.

Jelas itu cuma perasaanku saja, pikirnya.

“Hey,” seru rekannya, muncul di balik tiang dinding. “Saya cari ke mana-mana, ternyata kamu ada di sini. Lagi ngapain sih?”

“Enggak lagi apa-apa, Pak,” jawab Raesaka, agak kikuk.

“Gimana?” tanya rekannya saat Raesaka berjalan mendekat. “Apa yang dicari sudah ketemu?”

Raesaka menggeleng dan bertanya, “Mereka melakukan apa?” Telunjuknya menunjuk ke sel tahanan.

“Yang satu maling ponsel. Satunya lagi penggelapan kendaraan. Kalau si Remi berantem gara-gara urusan cewek.”  Rekannya itu kemudian mengamati Raesaka dan menepuk pundaknya. “Kamu kelihatannya capek. Sebaiknya kamu pulang. Kalau masih kurang, kamu bisa ketemu sama pimpinan besok. Mungkin beliau tahu sesuatu.”

“Saya enggak ada waktu, Pak,” gumam Raesaka seraya beranjak meninggalkan tempat. “Tapi, terima kasih. Maaf sudah mengganggu.” Ia mengambil botol air mineral ukuran kecil dan meneguk isinya sampai habis.

Petugas yang lain sedang menerima telepon saat Raesaka berjalan menyeberangi lapangan apel yang basah dan remang. Udara malam menggelitik bulu romanya selama beberapa detik. Dengan punggung tangannya, ia mengusap bibirnya yang basah, dan memaksa memutar otaknya kembali. Akibatnya, pikirannya menjadi terbelah dua; jangan-jangan, selama ini ibunya memang mengarang cerita? Atau.. mungkin ada yang merekayasa perkara itu dan menghilangkannya?

Raesaka sama sekali tidak menemukan petunjuk.  Sambil meremas botol air mineralnya, ia menggeram pelan—rasanya ingin sekali merobek kulit wajahnya sendiri. Dilemparnya botol yang sudah remuk itu ke tempat sampah, lalu ia berdiri di tengah lapangan, matanya menerawang  jauh ke seberang  jalan yang lengang dan gelap. Pepohonan akasia dan mahoni membawanya kembali pada peristiwa yang pernah terjadi di sini tujuh tahun lalu, ketika ia baru saja menjalankan tugasnya sebagai polisi.

Dulu, setelah mendapat kabar ibunya dijambret orang, Raesaka menemui ibunya di kantor polisi ini selepas maghrib. Walaupun tasnya sudah kembali, kesedihan masih mewarnai wajah ibunya yang pucat kekuningan.

“Bu, gimana keadaannya?” tanya Raesaka setelah memarkir motornya.

“Enggak apa-apa. Tasnya juga udah balik lagi kok,” gumam ibunya. Punggungnya setengah membungkuk, mendekap tasnya di dada.

“Orangnya udah tertangkap ‘kan?”

“Enggak tahu.” Marsala menggeleng. “Kenapa kamu datang ke sini? Bukannya kamu lagi kerja?”

“Nanti Rae balik lagi ke markas setelah mengantar Ibu pulang.”

Ibunya menolak. Ia menjauh dari lapangan apel, menuju pintu gerbang. Kalau mengingat kembali kaki ibunya yang pincang saat berjalan, hati Raesaka menjadi pilu.

“Tapi, dari sini jauh, Bu.”  Raesaka mengikutinya.

Marsala menyentuh keningnya dan menggeleng. Ia menepis tangan anaknya. Wajahnya berpaling ke arah lain, menyembunyikan matanya yang mulai perih dan memerah.

“Bu, ada apa?” Raesaka yang khawatir memeganggi lengan ibunya.

Marsala meninju bahu anaknya, mendorongnya supaya menjauh. Kemudian, ia melangkah lebih cepat meninggalkan area kantor polisi, berbelok ke kiri,  menelusuri trotoar. Kakinya menyandung batu bata yang menonjol. Jika anaknya tidak sigap, pasti Marsala sudah jatuh tersungkur.  Sambil melepaskan pegangan tangan anaknya, ia berkata, “Ibu mau jalan kaki sebentar.”

Raesaka mengikutinya lagi. Ia melihat tangan ibunya yang kurus berkali-kali mengusap hidung dan matanya yang basah. Kepalanya menggeleng-geleng, terus menolak ajakan Raesaka yang mau mengantarnya pulang.

“Rae ngerti. Mungkin Ibu syok gara-gara dijambret, makanya—”.

“Bukan itu,” potong Marsala, suaranya bergetar. “Kamu enggak dengar Ibu ngomong apa tqdi?”

“Enggak bisa begitu,”  ujar Raesaka bersikeras. “Rae harus antar Ibu pulang.”

Marsala menghentikan langkahnya, wajahnya terangkat, matanya menyapu jalanan di depannya. Pepohonan yang rimbun terlihat terlalu hijau dan menggelap. Kabut-kabut dingin turun, menutupi langit dan sisa cahaya matahari di cakrawala. Tidak ada orang lain,  angin, suara, mau pun kendaraan yang lewat. Sambil berjalan ke sana ke mari, kepalanya menoleh ke belakang, lalu ke depan, ke belakang lagi, berkali-kali, lalu diam dengan pandangan terpaku pada satu titik, cemas dan gelisah.

“Aku harus,” gumam Marsala, memeluk tasnya lebih erat, kembali melangkah. “Aku harus mencarinya. Dia enggak pulang-pulang sejak tadi.”

Mendengar ucapan ibunya, kening Raesaka mengernyit. Memangnya siapa yang dia cari dan tidak pulang?  Ibunya terus mengulang perkataan yang sama, dan selalu diakhiri dengan kalimat, “Enggak ada yang peduli. Enggak ada yang bersedia menolong, bahkan Tuhan sekali pun.”

“Rae di sini, Bu. Ibu enggak...“ Raesaka melihat tetesan darah mengalir dari hidung ibunya. Buru-buru ia merogoh saku celananya, mengambil sapu tangan. Namun, ibunya menepis saat Raesaka mau menyeka darahnya.

Ibunya mundur beberapa langkah, merasakan sensasi panas yang menggelitik di sekitar lubang hidungnya. Ia sentuh hidungnya, lalu mengamati sedikit darah yang menempel di jemarinya. Ibunya menoleh kepada Raesaka, matanya berkaca-kaca saat bibirnya yang pucat kemerahan merekah. 

“Kamu rasakan apa yang Ibu rasakan, Re?” Ibunya tertawa, sekaligus menangis.

Sambil masih membayangkan tawa dan tangis ibunya, Raesaka kembali masuk ke kantor kepolisian itu,  menggebrak pintu dan berteriak cukup keras, “Kalian pasti tahu perkaranya!  Kalian bersekongkol menghapus jejaknya, bukan? Jujur saja!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status