Share

Mahligai

Pagi yang cerah, Hendro dan Laila bergerak dengan sigap membersihkan dan menata rumah mungil mereka. Dalam tiga puluh menit rumah tinggal pasangan muda tersebut telah rapi dan bersih.

Laila mengenakan blazer hitam dan gaun warna senada yang berpotongan sederhana, roknya mengembang sehingga ia terlihat langsing. Kedua kaki jenjangnya dilapisi stoking hitam dan bersepatu hitam setinggi lima sentimeter. Sebuah bros berbentuk kembang kecil bertahtakan sepuluh buah berlian tersemat di dada kirinya.

Hendro berseragam Chef serba putih di mana lis hitam menghiasi pinggir kain. Terlihat garis samar sisa-sisa mencukur berwarna hijau menghiasi area dagu dan pipi, wajahnya terlihat bersih dan segar. Sebelum berangkat, mereka berdua mematut diri pada sebuah cermin besar yang hampir setinggi tubuh manusia.

Situasi area F&B masih dalam renovasi, tidak hanya restoran tetapi juga meliputi kantor F&B dan loker perempuan. Ruang kerja para jajaran manajemen F&B dialihkan ke sebuah area luas tanpa penyekat bergabung menjadi satu dengan General Administration dan Front Office.

Area kerja Laila dan kawan-kawannya diapit oleh General Administration dan F&B. Selama satu hari penuh, semua staf ketiga departemen tersebut sibuk memindahkan dan mengatur meja kerja masing-masing. Laila lebih dahulu membereskan mejanya. Ia memang cekatan, walaupun mengenakan rok dan high heels tetapi tak sungkan mengangkat benda yang besar dan berat. Bahkan ia sanggup memasang kembali perangkat komputernya sampai menyala kembali seperti sedia kala. Hendro memposisikan mejanya berdekatan dengan Laila.

Saat Laila dan Hendro tengah asyik dalam pekerjaan masing-masing, Wendi dan Elsa masih merapikan meja mereka.

“Wah, asyik, niy, bisa sekamar sama cowok-cowok.” Elsa mengomentari sambil terus bekerja. Matanya mengerling ke arah Hendro yang serius.

What do you say?” Wendi yang berkebangsaan Italia bertanya.

I said, it’s great to share a room with guys.

Oh, yeah. We will be working together with the men at the same area, means we will be at the same room.” Wendi menyahut dengan wajah tetap datar. Perempuan cantik berambut pirang dan bermata jeli tersebut memang tidak terlalu ekspresif, bahkan sering terlihat jutek.

“Hendro, do you love to watch what we do at the cupboard? Hihihi.” Kali ini suara Elsa terdengar menggoda. Ia bekerja dan berbicara sambil terus mengerling ke arah Hendro.

Yeah. Do you?” Wendi turut menambah.

No, I don’t like to watch you, girls, but I love to watch my wife.” Kata Hendro dengan diplomatis.

Kedua perempuan tersebut pun tertawa. Lebih tepatnya Wendi ikut tertawa melihat Elsa tertawa.

He would ‘ask’ Laila for more.” kata Elsa kepada Wendi.

What he said?” Wendi bertanya penasaran yang langsung dijelaskan oleh Elsa.

Yeah.” Wendi pun menyetujui pendapat Elsa.

Laila bergeming pada pekerjaannya. Ia sudah terbiasa dengan celoteh genit kedua perempuan tersebut.

Wendi dan Elsa, keduanya berada di bawah departemen yang dimanajeri oleh Laila. Elsa adalah Room Reservation Supervisor, sementara Wendi adalah Revenue Management Manager.

Sementara itu masuklah Aila beserta dua orang staf Housekeeping yang dipanggilnya untuk membereskan meja. Sesaat kemudian ia memanggil Rikardo, salah seorang staf IT berdarah Kupang untuk membereskan perangkat komputernya sampai menyala kembali. Ia sendiri berdiri sambil melipat kedua tangan di dada, memantau ketiga laki-laki suruhannya bekerja. Dalam sepuluh menit, meja Alia sudah kembali seperti sewaktu masih di ruang F&B. Perempuan berkulit putih berambut lurus pendek sebahu tersebut meletakkan sebuah kaktus kecil, menghiasi sudut mejanya.

Elsa dan Wendi yang memposisikan mejanya di seberang Laila, menghentikan percakapan mereka, pada akhirnya turut tenggelam dalam pekerjaan.

Meja Aila terletak seberang Hendro. Desas-desus yang menyeruak mengatakan bahwa ia sering terlihat seperti tak ingin berjauhan dari laki-laki menawan tersebut.

Kring… kring…

Bunyi dering pendek dua kali berbunyi dari meja Alia, menandakan ada panggilan dari dalam gedung.

“Laila.”

“Bu, ini ada tamu dari kamar 203 mau komplain masalah makanan. Dia bilang mau bicara sama manajernya langsung, tidak mau bicara sama saya.” kata sebuah suara perempuan muda di seberang.

“Oke, Lisa. Cantona, ya?” kata Laila yang menjawab telepon sambil membuka system reservasi di komputernya.

“Betul, Bu.”

Tak lama kemudian Laila telah menyimak serangkaian kalimat dalam bahasa Inggris melalui teleponnya, suara sesosok laki-laki berdialek Asia. Gagang telepon diapit diantara telinga dan pundak kiri sementara tangan kanan siap dengan catatan. Sesekali Laila menanyakan informasi detail, terkadang menyuarakan rasa prihatin.

Uhuh? Uhuh? Hm… I see… Yeah, right... Okey… I am sorry for the inconvenience. We will get back to you shortly.” Laila menutup pembicaraan dengan tamunya.

Hendro terlihat memusatkan perhatian. Tanpa disadari oleh Laila, ia mendengarkan seluruh pembicaraan sang Front Office and Reservation Manager dengan tamu kamar 203.

Sejurus kemudian Laila berdiri sambil memegang catatan keluhan tamu, ia seperti hendak beranjak dari posisinya. Sebuah cubitan lembut mendarat di paha Laila.

“Sini.” kata Hendro sambil mengangkat tangan kirinya.

“Eh, ada Chef di sini.” Laila terkejut. Ia pun memberikan catatan keluhan tamu kepada Hendro. Chef muda tersebut menyambut sambil menyentuhkan ujung jarinya ke tangan Laila lalu membaca isi catatan dengan cepat.

Aila memperhatikan semua adegan yang terjadi dengan mata melebar. Wajahnya terlihat menahan perasaan emosional, mungkin baginya itu sangat romantis. Laila dan Hendro memang salah satu dari sekian banyak pasangan yang disukai oleh rekan-rekan mereka.

Pasangan kekasih yang kini sudah menjadi suami-isteri tersebut sebetulnya tidak pernah mengumbar kemesraan di depan umum. Namun gesture kecil seperti tadi adalah sebuah pukulan berat bagi perempuan single seperti Aila.

Sungguh kasihan Aila, kisah kasihnya bukanlah seperti yang diharapkan sedangkan ia sudah berusaha menjadi perempuan baik. Ia berusaha tegar dengan kenyataan hidupnya akan tetapi tak kuat menahan rasa saat melihat keharmonisan pasangan suami-isteri. Aila yang rapuh begitu merana setiap kali diterpa vibrasi kebahagiaan Hendro dan Laila yang sangat kuat.

“Ada masalah apa, Hen?” tanya Alia kepada Hendro sambil menatap wajah rekannya itu lekat-lekat.

“Ini ….” Lalu Alia pun beranjak mengikuti ke mana Hendro melangkah. Kedua Chef de Party itu pun jalan bersisian. Dari ruangan besar masih terdengar suara Hendro dan Alia yang saling bertukar pikiran. Alia yang berkarakter dominan berusaha memberikan saran terbaik kepada Hendro, walaupun Hendro sendiri sebetulnya tidak begitu memerlukan saran siapa pun, akan tetapi ia ingin menghargai suara setiap rekannya. Mungkin itu sebabnya, Hendro tak memiliki banyak musuh. Semua dirangkul dengan baik oleh pria tersebut.

Laila, Elsa dan Wendi tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Sesekali terdengar suara mereka berdiskusi dari meja masing-masing. Tiga puluh menit kemudian, terdengar suara sepatu yang dihentakkan keras. Alia menghampiri meja Laila.

Tak… tok… tak… tok… tak… tok…

“Laila, kasus Cantona sudah done, ya. Gue yang ngurusin barusan. Jadi anak buah kamu salah mencatat pesanan tamu, Cantona harusnya sarapan jam enam pagi tapi karena tidak ada keterangan apa-apa, oleh anak dapur diantar jam tujuh seperti biasa ke kamarnya.” kata Aila dengan suara tegas dan keras sambil menatap Laila dengan matanya yang tajam. “Kita tadi membuatkan puding sebagai apologize untuk Cantona, expense ke Front Office karena ini kesalahan kamu.”

“Tidak usah, tetap ke F&B. Cantona sebetulnya tidak komplain keras. Dia cuma heran kenapa sarapannya datang jam tujuh bukan jam enam. Kalo dari makanan, dia suka, malahan tadi memuji makanan kita.” Tiba-tiba Hendro sudah berada di belakang Aila.

“Iya, tapi ini kan tetep kesalahan namanya.”

“Sudah, aku yang tanggung semuanya. Lagian berapa, siy, harga pudding. Nggak bikin F&B bangkrut.” Hendro meraih lembaran warna-warni yang dibawa oleh Alia lalu menandatanganinya. Tak lama kemudian dikembalikan kepada Alia, “Nih, kasih ke Accounting.”

Alia tak banyak bicara, Laila pun kembali menatap layar monitornya.

So, drama is over, shall we go for coffee?” tanya Wendi kepada seisi ruangan.

Sure, let’s go, Laila.” Elsa menjawab ajakan Wendi sambil beranjak dari mejanya.

Laila menurut. Namun sebelum bergabung dengan kedua rekannya itu, ia menghampiri Hendro yang telah kembali ke mejanya lalu memeluk belahan jiwanya tersebut dengan sangat kuat. Hendro pun mengusap punggung istrinya lalu mengecup keningnya.

--bersambung--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status