Share

Aku, Laila

Aku terbangun di pagi hari dengan Hendro di sisiku yang helaan nafasnya terdengar teratur. Kurapatkan tubuhku padanya, kupandangi wajahnya lekat-lekat lalu kusentuh pipinya dengan ujung jariku. Seakan ingin memastikan ini bukanlah mimpi. Aroma tubuhnya begitu menyenangkan. Rasa nyaman pun menyelinap dalam sukmaku. Ia tidak menyadari apa yang kulakukan, sepertinya masih jauh tenggelam dalam tidurnya.

Hendro, tahukah kau?

Semenjak pertama kita bertemu, aku seperti telah mengenalmu puluhan tahun lamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ataukah pertanda jodoh? Sosokmu serupa tokoh dalam bayangku. Kau persis sama seperti yang kumau. Keceriaanmu, gaya bicaramu yang apa adanya, kecerdasanmu, dan penampilanmu yang mempesona. Begitu mudah bagi siapa pun untuk akrab denganmu.

Kau selalu lebih dahulu memulai percakapan. Menyapaku duluan saat melihatku santai sendirian di bar, atau saat aku tengah sibuk dengan tumpukan kertas, juga saat aku jalan-jalan di halaman resort yang teduh.

Aku menikmati setiap detik bersamamu. Denganmu seakan waktu bukan sahabat, ia selalu saja berlalu dengan cepatnya. Meninggalkan kita yang masih ingin terus berbincang.

Pada suatu ketika, kau pernah menanyakan jika kita pernah bertemu sebelumnya. Aku hanya tertawa karena meyakini kita baru bertemu, akan tetapi perasaanku senang ternyata kau merasakan hal yang sama. Waktu itu aku yakin sekali bahwa kaulah jodohku.

Andai saja Ngurah--tukang masak muda yang baru saja kau rekrut--tidak melakukan kekeliruan melayani tamu, mungkin kita tak akan pernah sedekat ini.

Di pagi hari yang bersejarah itu, aku menerima tamu bule yang begitu ganteng. Penampilannya membuat siapa pun terpesona seketika tetapi rasa dalam hatiku perlahan musnah seiring mendengar ucapannya yang begitu emosional. Ia ungkapkan kekeliruan Ngurah sejelas-jelasnya. Lelaki bertubuh tinggi, berambut pirang bernama Kevin itu merasa anak buahmu yang masih belia tersebut tidak memasak dengan baik. Ia bilang steak-nya terlalu kering, padahal yang dipesan setengah matang. Pria malang tersebut kecewa karena sebetulnya ingin makan malam yang romantis bersama sang kekasih. Namun sepotong steak telah berhasil menghancurkan rencananya.

Kuterima semua keluhan Kevin dengan penuh empati, ia pasti mengetahui rasa prihatinku melalui sorot mata. Pada akhirnya nada suara Kevin melembut seiring dengan ungkapan ‘I am sorry’ yang terlontar dariku.

Datanglah kamu dengan senyuman lebar dan wajah sumringah. Kembali sang bule Eropa tersebut menyampaikan keluhannya tapi kali ini dengan intonasi yang jauh menurun. Kamu mendengarkan sambil mengangguk-angguk lalu sepuluh menit kemudian ia pun pamit.

Hendro, bagimu tak ada masalah yang terlalu rumit. Semua dapat kau atasi dengan tenang. Aku menyukai karaktermu yang satu ini. Sungguh mirip dengan Cinta Pertamaku.

Semenjak pertemuan dengan Kevin, kau kerap menyambangi meja Front Office untuk menanyakan jika sang tamu ada keluhan lainnya ataukah sudah puas dengan layanan tim dapur. Aku ingat waktu itu setidaknya dua kali dalam sehari kau datang menemui. Terkadang kehadiranmu diiringi tertawa kecil para junior. Mereka menggodamu seakan kita tengah menjalin sebuah hubungan. Lima hari Kevin dan kekasih menginap, lima hari pula kita bertemu dalam suasana yang akrab.

Saat Kevin pulang, aku seperti sepi dalam keramaian. Tak ada lagi sosok Chef murah senyuman yang mendatangi mejaku setiap pagi. Namun demikian, kusimpan sendiri rasa itu.

Di suatu sore yang cerah, saat jam pulangku. Sesosok bermotor memelankan kendaraan roda duanya ketika sudah di dekatku. Ternyata kau. Sumpah mati aku girang melihatmu. Kurasa senyumku menjadi jauh lebih sumringah saat itu. Wajahku pasti bersemu. Kau mengajakku pulang bersama, sebab arah tujuan kita satu.

Kita tak banyak cakap, akan tetapi begitu saja aku sudah senang. Setiba di kosku yang berhalaman luas berpohon besar nan rindang. Kau sempatkan mengaso sambil mengagumi lingkungan kos yang asri berhawa sejuk. Keringat bermunculan di keningmu tapi kutahan diri menyentuhnya dengan tisu.

Aku ingin membalas kebaikanmu, kukeluarkan jus jeruk dari lemari pendingin untuk menyegarkanmu kembali. Kamu tampak menikmati suasana. Ketika kukembali ke teras, kau telah pulih kembali. Kau menegakkan posisi dudukmu lalu mulai bertanya padaku, apakah aku sudah punya kekasih. Kali ini parasmu tanpa senyuman. Aku berharap kau sungguh-sungguh, bukan hanya sekedar bertanya. Namun kutepis perasaan penuh harap tersebut keras-keras.

Kujawab bahwa aku belum punya kekasih. Kukatakan padamu bahwa aku tidak ingin menjalin hubungan tanpa restu, yang kuinginkan adalah sebuah mahligai nan suci yang kokoh. Wajahmu tercenung semakin dalam seakan merenungi kata-kataku.

Tiba-tiba kamu memujiku, kamu bilang aku baik banget. Kamu berharap mudah-mudahan yang menjadi suamiku orangnya juga baik. Aku sebetulnya agak kecewa mendengar kalimat tersebut, tetapi aku amini sambil tersenyum ringan. Tak lama kemudian, kamu pun pamitan.

Hendro, di hari-hari selanjutnya, kenapa aku merasa kau begitu memperhatikan aku? Sedangkan kamu begitu baik pada semua orang, jadi, kurasa aku tak berhak memiliki perasaan tersanjung itu. Hati kecilku ingin menepis segala harap tersebut, tetapi sikap manismu terus memberiku harapan.

Aku membawa perasaan tersebut dalam doa, sungguh aku takut jika ilusi tersebut menguat, mengakar karena hanya membuat aku terjatuh kecewa.

Pada sore hari yang berangin agak kuat, kita berdua jalan-jalan di pantai. Rasa penat mempertemukan kita sehingga untaian kalimat curhat tercurah cukup panjang lagi dalam. Kau ceritakan segala harapan dalam hidup, cita-citamu lalu kau ungkapkan juga latar belakang keluarga yang makmur. Aku pun berucap, semoga bertemu perempuan yang benar-benar memahami kamu.

Beberapa kali kita janjian jalan-jalan. Segala kemelut hidup pun terurai. Hati kita menemukan kecocokan. Relung jiwa saling mengisi. Saat tengah duduk di gazebo pinggir pantai, kau bertanya apakah aku mau berkenalan dengan orang tuamu. Aku jawab aku mau.

Kau pun mempertemukan aku dengan kedua orang tuamu di sebuah restoran bersuasana homey. Tak disangka kami langsung menyatu, suasana penuh dengan keakraban. Cerita demi cerita mengalir begitu saja dengan apa adanya. Dalam hati kuberteriak, tolong jangan membuatku berharap.

Rupanya Tuhan tak sedang menggodaku, ibumu yang cantik nan anggun mendekatiku sehingga kami tinggal berdua saja. Dia tanya apakah aku mau menjagamu dengan sepenuh hati. Ibumu mengaku bahwa ia terkesan dengan kepribadianku. Ia bilang ia percaya, aku sanggup mengemban tugas darinya.

Saat itu hatiku bagaikan kembang api tahun baru. Begitu meriah, kelap-kelip, menggelegar. Aku berjanji tidak akan mengecewakan ibumu. Kan kujaga kamu dengan sepenuh hati, kuusahakan untuk selalu memahami setiap arti kecewamu.

Senyumanmu pun menjadi lebih indah. Kau menjadi lebih tampan, atau kah hanya perasaanku saja. Hari-hari merajut harapan kita lewati dengan apa adanya. Tak ada impian yang muluk-muluk, hanya ada janji akan saling setia dan saling memahami.

“Sudah bangun?”

Aku terkejut lalu langsung tertawa malu. Kau terbangun kemudian membuyarkan lamunanku. Kau meraihku ke dalam pelukan lalu mencium bibirku yang masih menyungging senyuman. Kukendalikan diri agar seirama denganmu, lalu kedua bibirku menyambut hangatnya kecupanmu.

--Bersambung--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status