Share

6

Melihat kedatangan bocah 2 tahun itu, Mas Hanan segera melepas genggaman tangannya. Dia tampak gelagapan, kemudian merentangkan tangan pada Alana yang berlari kearahnya.

"Ayah ana?" Entah apa yang ditanyakan bocah itu, aku tak paham bahasa cadelnya.

"Ayah dari kantor, Sayang. Baru balik kerja. Alana sama siapa disini?" 

Ohh, ternyata Alana bertanya ayahnya dari mana. Mendengar jawaban Mas Hanan kepalanya mengangguk-angguk seolah paham apa yang dikatakan ayahnya.

"Nda na? Ante apa?"

"Eum ... Bunda? Memangnya Alana kesini bukan sama Bunda?" tanya Mas Hanan. Alana yang berada dalam gendongan sang ayah menggeleng.

"Alana kesini bareng aku, soalnya Ridho katanya rindu sama adiknya ini," sambar seseorang dari arah dalam. Bisa kutebak, perempuan berhijab itu adalah kakak tertua Mas Hanan. Dia seorang single parents, dua tahun lalu suaminya meninggal karena kecelakaan.

Mereka hanya bertiga bersaudara, yang pertama Mbak Ike, yang kedua Mas Hanan dan yang bungsu namanya Kamila. Dari mana aku tau? Tentu saja dari Mas Hanan, lelaki itu sering kali menceritakan tentang keluarganya sangat menelpon atau video call denganku. Makanya sedikit banyaknya aku tau tentang mereka.

Alana melompat meminta turun, terpaksa Mas Hanan menurunkannya. Ada bocah laki-laki berumur 7 tahun disana, kurasa itu adalah Ridho anak Mbak Ike. Alana kembali berlari masuk kedalam, dan dikejar Ridho dari belakang. Mbak Ike mengingatkan anaknya, agar lebih hati-hati takut Alana terjatuh.

Keluarga yang hangat menurutku. Aku yakin pasti betah berada disini, apalagi melihat wajah-wajah teduh keluarga Mas Hanan. Aku jadi ingat dengan Ibu dan Bapak.

"Ah, Ibu sampai lupa. Ayok, mari duduk dulu," ajak Ibu Mas Hanan. Aku tersenyum menanggapi, ku ikuti langkah Mas Hanan menuju sofa empuk berwarna putih gading di tengah ruangan.

Aku duduk disamping Mas Hanan, kemudian disusul oleh Ibunya, kemudian Mbak Ike. Hanya si bungsu yang tak terlihat, kemana dia? Apa dia tak ingin berkenalan dengan kakak iparnya ini?

Aku lebih banyak menunduk, tak berani mengangkat wajah. Masih malu berhadapan dengan orang-orang yang terlihat berkelas ini. Dari sudut hatiku yang lain, aku sedikit merasa insecure berada disini, beruntung ada Mas Hanan yang setia menemaniku.

"Jadi ... perempuan ini yang akan menjadi pengganti Aluna?" Ibu Mas Hanan memulai pembicaraan.

"Dia punya nama, Bu. Panggil saja Nayma," sahut Mas Hanan mengingatkan. Kulihat wanita itu mengangguk pelan, netranya tak lepas dariku, membuat aku merasa terintimidasi.

"Oh, namanya Nayma? Nama yang bagus," puji Ibu Mas Hanan. Aku tersenyum menanggapi, begitu juga dengan Mas Hanan saat aku meliriknya.

"Tapi tidak dengan kelakuannya."

Degh!

Aku terkesiap. Mataku mengerjap pelan mendengar celetukan Mbak Ike. Apa maksud perempuan itu? Apa dia sedang ... menyindirku? Kulihat wajahnya berubah, tak seramah saat pertama tadi, begitu juga dengan Ibu Mas Hanan.

"Apa maksudmu, Mbak?" Pertanyaan Mas Hanan mewakili pertanyaan yang bergelayut di kepalaku.

"Aku rasa kamu pun paham, Hanan! Kelakuannya itu sama sekali tak baik. Coba kamu pikir, perempuan baik mana yang tega merebut milik perempuan lain?" balas Mbak Ike. Kulihat Mas Hanan mengepalkan tangannya. 

Suasana yang tadi ku anggap sejuk dan tenang berubah seketika. Mbak Ike dan Ibu Mas Hanan menatapku sinis. Ternyata dugaanku salah! Wajah-wajah yang kuanggap teduh tadi tak lebih busuk dari bangkai. Lagian apa baiknya Aluna itu? Sampai-sampai mereka harus menentang pilihan Mas Hanan sendiri.

"Bicara dengan sopan, Mbak! Nayma adalah pilihanku. Dia perempuan yang ku cintai. Dia juga tak seburuk yang kalian kira!" Suara Mas Hanan meninggi. Aku suka ini, aku suka lebih diprioritaskan oleh Mas Hanan dibanding keluarganya.

Ku tatap Mbak Ike dengan senyum miring, perempuan itu menatapku dengan tajam. Aku tak takut, sedikit pun aku tak merasa gentar dengan tatapannya itu. Sebab ada Mas Hanan yang akan selalu berada di sampingku. Sikap keluarga Mas Hanan ternyata lebih bar-bar dibanding Aluna, perempuan itu saja bisa sangat tenang, sedang mereka ini?

"Pilihan katamu? Cinta katamu? Lantas Aluna itu apa? Dan satu lagi, perempuan ini memang tak seburuk yang kukira, tetapi ... lebih buruk dari itu!" Mbak Ike semakin menjadi. Suasana semakin panas dan tegang. Napas Mas Hanan memburu mendengar hinaan kakaknya yang ditujukan untukku.

"Berhenti menghina Nayma, Mbak! Atau–"

"Atau apa? Kamu mau mengancam apa? Laki-laki pengecut sepertimu ini, tak pantas untuk ditakuti! Kamu nggak sadar? Dengan sikapmu ini, sudah sangat menyakiti hati Aluna. Bukan hanya Aluna yang tersakiti, ada Ibu dan juga Alana yang ikut tersakiti dengan sikapmu ini. Kamu itu punya saudara perempuan, punya anak perempuan, tapi kenapa kelakuanmu malah sebejat ini?" teriak Mbak Ike menggelegar. Aku sampai terkesiap mendengar kemarahan perempuan itu. Ternyata hijabnya itu tak sedikit pun mencerminkan sikap lembutnya.

"Terserah apa katamu. Yang pasti, aku akan lebih memilih Nayma di banding Aluna. Dan kedatanganku kemari hanya untuk memberitahu sekaligus meminta restu Ibu, secepatnya aku akan menikahi Nayma." Aku tersenyum puas mendengar penuturan Mas Hanan.

Kulihat Ibu dan kakaknya Mas Hanan terkejut. Mungkin tak menyangka, jika secepat ini Mas Hanan akan menikahiku. Melihat ekspresi terkejut di wajah mereka, aku merasa sangat puas sekali.

"Hanan, tidakkah kamu pikirkan Alana? Anakmu masih sangat kecil, Nak. Ibu mohon, jangan berpisah dengan Aluna." Ibu Mas Hanan yang sejak tadi hanya diam menyaksikan perdebatan sengit kedua anaknya akhirnya bersuara.

"Aku tidak peduli, Bu. Aku tak mencintai Aluna, aku tak bisa bertahan lebih lama dengannya," sahut Mas Hanan. Dia menggenggam tanganku, mungkin ingin memperlihatkan pada keluarganya, jika akulah pemenangnya.

"Tidak cinta katamu? Lalu bagaimana bisa kalian memiliki Alana? Semua kata-katamu itu hanya omong kosong. Sekarang kamu mengatakan tak mencintai Aluna, dan malah mencintai perempuan ini. Kemudian kedepannya jika kamu bosan, kamu kembali mengatakan tak mencintai perempuan ini dan malah mencintai perempuan lain, begitu?" Ucapan macam apa itu? Apa dia sedang mendoakan aku agar diselingkuhi adiknya juga? Dasar perempuan gila.

"Terserah pikiranmu, Mbak. Yang pasti, aku benar-benar merasakan jatuh cinta saat bersama Nayma. Sedang dengan Aluna, aku hanya merasa sedang menjalankan wasiat almarhum ayah yang ingin menjodohkan kami. Jadi aku mohon maaf, aku tak bisa bertahan lebih lama dengan Aluna," sahut Mas Hanan tegas.

"Yang kamu bicarakan sejak tadi, hanya cinta dan cinta. Kamu pikir, ibu dan almarhum ayahmu itu menikah karena cinta? Tidak! Kami juga menikah karena perjodohan. Tapi, lambat laun rasa itu mulai tumbuh. Yang kamu rasakan sekarang ini bukan cinta, Hanan. Ini hanya sebuah nafsu belaka, tipu daya setan. Disaat kamu tak mampu menjaga keimananmu, tak mampu menundukkan pandanganmu, maka disitulah setan beraksi, dia akan membuat pasangan halalmu terasa membosankan, dan menjadikan yang haram terasa memabukkan. Jadi, apa itu yang kamu katakan cinta?" tekan Ibu Mas Hanan.

Lelaki di sampingku itu terdiam sejenak. Mungkin sedang mencerna kata-kata sang Ibu. Ah, aku jadi takut. Bagaimana jika Mas Hanan malah berubah pikiran?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status