Share

Bab 3

SUAMI ONLINE 3

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

       Kehadiran orang yang mendadak apalagi dengan cara yang luar biasa nyeleneh, tentu akan menimbulkan rasa sungkan. Mungkin tepatnya ... risih. Dan belum terbiasa.

Pikiran aneh dan menggila bisa saja hadir di kepala. Apalagi ditambah sikapnya yang bergaya. Lagaknya sok ganteng. Akan tetapi, emang lumaya sih ... cukup mewah kalau diajak kondangan dan pergi-pergi.

Kenes menggeleng beberapa kali, mengenyahkan pikiran gaib yang sempat singgah sebentar. Tidak etis kalau bibir bilang tidak tapi hati malah bertindak memuji.

"Aku nggak disuruh masuk, Dek?" tanyanya. Mungkin heran dari tadi masih berdiri di ambang pintu.

"Dek?! Emang aku adek kamu apa?" jawab Kenes kesal. Pun wajahnya berubah judes.

Danesh tersenyum tipis melihat sikap Kenes yang sengaja galak. Menurutnya, judesnya itu semakin menambah kecantikannya. 

"Ya udah, Sayang ... aku mau masuk dulu. Dikit capek karena perjalanan. Soalnya semalam gak bisa tidur karena terlalu memikirkan acara tadi," ucap Danesh lalu masuk melewati wanita yang masih berdiri mematung.

"Apa? Sayang?! Hei ...! Tunggu dulu! Emang kamu tahu kamarku di mana?" teriak Kenes sembari menutup pintu rumah. Kemudian berlari mengejar Danesh, suami online-nya yang dirancang oleh sang ibu.

Danesh berhenti, menunggu Kenes sampai di depannya. Ia tentu tidak tahu di mana kamarnya, hanya asal masuk. Untuk kelas rumah kontrakan, Danesh mengira kamar tidurnya hanya ada dua ruangan. Jadi kalau bukan ini, ya, yang itu. 

"Ya udah, buruan. Tunjukkan di mana kamarmu? Aku mau menata baju-bajuku," titahnya layaknya yang punya rumah.

Kenes terpaksa memimpin jalan, diikuti oleh sang pria. Masih ada rasa tidak rela harus berbagi kamar dengan orang asing yang membuat kepalanya hampir pusing.

"Ini kamarnya. Kamu masukin aja baju-bajunya di lemari," ucap Kenes lalu pergi begitu saja.

Danesh melihat sekeliling. Kamarnya cukup rapi untuk seorang wanita. Meski ada beberapa baju yang bergantungan di belakang pintu.

Ia menaruh tas ransel di atas tempat tidur. Lagi, senyumnya merekah melihat sprei berwarna hijau dengan gambar bunga matahari.

"Apa dia seorang pencinta alam?" gumamnya dalam hati.

Danesh mengeluarkan baju-bajunya, lalu menata di lemari. Akan tetapi, saat lemari terbuka, matanya membesar menatap isinya.

Dari rak atas sampai bawah, semua bajunya Kenes. Lah terus bajunya mau ditaruh di mana? Tempatnya sudah tidak ada lagi. Padahal bajunya paling butuh tempat satu rak saja.

Apakah semua wanita juga seperti Kenes?

Danesh menata kembali baju Kenes dan merapikannya sampai ada rak yang tersisa. Setelah berjuang keras, akhirnya mendapat bagian setengah rak. Lumayan lah dari pada tidak ada tempat sama sekali.

Celana santai dan resmi ia taruh bertumpuk menjadi satu dengan baju. Sampai menggunung menyentuh rak atasnya.

Ada rasa takjub tentang sifat belanja seorang wanita. Terutama Kenes. Koleksi bajunya banyak tapi hanya menjadi penghuni lemari. Sedangkan yang dipakai di rumah hanya yang disukai saja.

'Perlu dikasih tempe nih, eh, tahu. Kalau memilki baju banyak tak terpakai maka bajunya akan menangis. Udah dibeli tapi tak pernah dipakai,' pikirnya dalam hati.

Setelah semua selesai, Danesh menyusul Kenes yang mungkin sedang rebahan manja di sofa sembari menonton TV. Ia berjalan terus menyusuri tiap ruangan dengan mata mencari Kenes, wanita yang dinikahinya secara online.

"Sayang ... kamu di mana?" teriaknya sebelum menemukan sosok wanita yang sudah menjadi istrinya.

"Haish! Sayang?! Kenal juga belum udah sayang-sayangan," geram Kenes. Kedua kakinya menghantam pelan punggung sofa. Sebagai tanda protesnya akan kenyataan.

"Aku di sini ...!" Kenes ikut berteriak agar terdengar oleh sang pria.

Kan, betul ... baru sedetik, wajahnya sudah terlihat di pelupuk mata. Kenes sempat terpesona melihat Danesh memakai kaos berwarna putih dan celana jeans sebatas lutut. 

Cakep ....

Ia bergegas menyadarkan diri sendiri. Ia tidak mau tergoda oleh pria sepertinya. Baginya Danesh masih seperti orang asing karena informasi tentangnya tidak terperinci. Jadi, simpatinya sama sekali belum terpancing.

Danesh berjalan mendekat, kemudian ikut duduk di sampingnya. Aroma wangi khas pria langsung tercium oleh Kenes. Membuatnya terasa tenang saat menghirupnya.

Ternyata ia pria yang peduli dengan penampilan dan kenyamanan untuk orang lain. Ia tahu bagaimana cara berdandan di depan wanita.

Kenes melirik sekilas pria di sebelahnya. Rasa kagum tergambar dalam benaknya. Membuatnya ingin menatap ketampanannya. Namun, ia urungkan karena takut ketahuan sedang memperhatikan.

"Cari makan yuk? Kamu nggak lapar?" tanya Danesh pura-pura menatap ke arah lain. Ia ingin memberikan ruang pada Kenes untuk mengagumi pesonanya.

"Enggak. Aku udah kenyang karena nurutin kemauannya Ibu," jawab Kenes asal. Hatinya masih saja berperang antara menerima dan meminta pisah. Namun, ucapan Bu Hesti kembali terngiang di kepalanya.

"Tambah kenyang lagi kalau nuruti mauku. Gimana?" tawar Danesh lagi mencoba merayunya.

Seketika mata Kenes melebar. Maksudnya apa coba? Mau ngajak makan di Malindo gitu? Atau ngajak yang iya-iya?

Hih ...! Kenes berrgidik geli membayangkan maksud ucapan Danesh. Pikirannya terlalu jelek tentangnya. Padahal dia suami sendiri, walaupun cara mendapatkannya terlalu menjatuhkan harga diri.

Kenes menatap pria di sampingnya. Saat empat mata bertemu, entah kenapa pandangannya tidak mau beralih. Serasa ada sesuatu yang ingin tetap menatapnya tanpa jeda.

Mungkin ... sihir?

"E-- emang maumu apa?" Akhirnya Kenes mampu mengeluarkan suaranya. Tatapannya pun sudah berganti ke layar televisi.

"Jalan-jalan bentar yuk? Deket juga kalau ke Alun-Alun. Sambil kencan pertama dan nyari makan. Ya, itung-itung tahap awal perkenalan biar kamu bisa terkesan," tuturnya tanpa malu. Namanya juga lagi usaha, semua stok malu sudah didiskon besar-besaran.

Kenes berpikir sejenak. Lagian ini malam menjelang akhir pekan, sekalian bisa buat refreshing kepala. Biar kewarasan tetap terjaga.

"Ya udah. Tunggu bentar, mau ambil jaket dulu. Tapi nanti sekalian mampir warung. Mau ngecek keadaan," jawab Kenes yang langsung disetujui oleh Danesh.

Sementara menunggu Kenes mengambil jaket, Danesh berjalan menuju garasi. Satu unit motor merk ya-maha yang lagi digandrungi emak-emak kece terparkir manis. 

Senyum Danesh merekah membayangkan dirinya boncengan mesra dengan Kenes. Pasti auto jadi perhatian semua orang. Ternyata seleranya hampir mirip. Hanya berbeda warna kesukaan. 

Danesh juga memiliki motor seperti itu, hanya saja warnanya putih. Sedangkan Kenes menyukai warna gelap. Mungkin agar tidak terlalu mencolok kalau kotor.

"Kenapa cuma diliatin? Bukannya dikeluarin dari garasi," ucap Kenes tiba-tiba yang sudah berada di dekatnya. 

Danesh sedikit terkejut. Namun, terus bersikap biasa. "Tadi bayangin dulu," jawabnya asal lalu mengeluarkan motor dari garasi.

'Bayangin? Dasar cowok! Otaknya selalu ngeres,' batin Kenes sambil mengunci garasi. Karena sebelumnya sudah mengunci pintu rumah utama.

Kenes sedikit merasa canggung boncengan berdua dengan pria. Karena biasanya ia selalu sendiri. Tapi kali ini ... berdua, Gaes!

Hidupnya kini berbeda. Apalagi statusnya. Ia bukan lagi perawan tua tapi wanita yang sudah menikah. Jadi mau tidak mau, Kenes harus bisa berdamai dengan keadaan. Keadaan yang entah bagaimana nasib akan membawanya.

"Udah kan?" tanya Danesh sebelum melajukan motornya.

"Udah. Ayo berangkat. Entar keburu pingsan karena kelaparan," jawab Kenes yang mendapatkan respon tawa kecil dari sang pria.

"Pegangan dong, Sayang ...." 

"Enggak!"

"Entar jatuh nggak ketahuan gimana?"

"Biarin aja. Asal bukan hatiku yang jatuh dan ketahuan."

Kenes lama-lama emosi beradu mulut seperti ini. Padahal ini hari pertama loh ... apalagi hari kedua dan seterusnya. Pasti lebih menguras mental jiwa.

"Hahahaha ... ya udah lah. Mau pegangan kek, mau enggak kek ... yang penting bisa pergi berdua." Danesh mencoba tak mau memperpanjang masalah ini. Karena memang perutnya sudah lapar. 

Sebenarnya bisa saja makan di rumah, tetapi sebagai pengantin baru ia ingin menjajagi dan mengenal lebih dalam seperti apa istrinya.

Tanpa ada pegangan tangan kecil di perut, Danesh melajukan motor dan membawa Kenes hingga keluar dari area rumah kontrakan. Suara deru kendaraan lain seakan berlomba untuk sampai tujuan. 

Danesh menunggu dengan sabar di pertigaan agar bisa menyeberang. Sama halnya hatinya yang siap menunggu agar bisa menyeberangi perasaan wanita yang tengah menarik ujung kaosnya erat.

Ketika jalan sudah kosong, Danesh menarik gas motornya. Sedetik kemudian, Danesh mengerem mendadak karena ada jalan berlubang. 

Kenes yang terkejut langsung berinisiatif memeluk Danesh untuk berpegangan kuat. Jantungnya sedikit berantakan karena rasa syok yang tiba-tiba motor berhenti.

Danesh tersenyum lebar. Jalanan saja mengerti kalau pasangan itu harus pegangan. Sedangkan wanita di belakangnya justru mengabaikan dengan alasan belum ada perkenalan apalagi perasaan.

"Maaf ... gak liat jalannya bolong," sesal Danesh dengan hati bahagia.

"Kembali maaf. Makanya fokus ... jangan melenceng pikirannya," jawab Kenes sambil melepaskan pegangan.

Akan tetapi, Danesh menahannya. Membuat Kenes ingin bersembunyi di balik helm.

"Biarin aja begini. Biar kelihatan mesra," kata Danesh lirih. 

Seketika Kenes mengurungkan niatnya melepaskan tangannya. Mendengar Danesh meminta dengan lembut dan sopan, hatinya merasa tersentil. Tidak ada salahnya berpegangan seperti ini.

Bukankah wajar jika pasangan selalu pegangan?

Heh? Mulai terkena jebakan Batman kayaknya.

Merasa tangan Kenes masih di tempat yang sama, Danesh melajukan kembali motornya. Tidak ada lima menit, pemandangan Alun-Alun kota di malam hari sudah memanjakan mata.

Banyak orang yang menikmati malam menjelang akhir pekan membuat Danesh merasa iri. Oleh karena itulah, ia mengajak Kenes. Ia iri dengan pasangan remaja yang selalu mesra, padahal belum tentu menjadi pasangan yang sah.

Sedangkan dirinya? Sudah menjadi pasangan sah tapi belum bisa bersikap seperti pasangan para remaja. 

Kan, kebalik ya?

Danesh menepikan motor tepat di depan Masjid Agung Kebumen. Di depannya ada mi  goreng yang lumayan enak dengan harga terjangkau.

Kenes menunggu sang pria menepikan motor. Lalu berjalan bersama. Beberapa orang menatapnya. Mungkin mereka berpikir orang dewasa yang belum pernah kenalan sama cinta. Karena jalannya saja tidak bergandengan tangan.

 Harga diri merosot bebas kala mendengar para remaja mulai menggoda.

"Cie ... cie ... jalannya gak pegangan tangan. Pasti kenalnya karena perjodohan."

"Jangan-jangan kenal lewat media sosial lalu nikah juga di media sosial."

"Awas, Mbak ... kesandung cinta kalau nggak pegangan."

Danesh dan Kenes hanya saling diam mendengar banyaknya godaan yang sepenuhnya mengarah kebenaran.

Astaga ... begini sangat nasib menikah tanpa perkenalan. Padahal ini niatnya juga mau memulai perjuangan.

Masa harus berhenti sebelum permulaan?

---------***--------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status