Share

Bab 4

SUAMI ONLINE 4

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

     Banyak jalan ketika memilih mengawali sebuah pernikahan. Ada yang mulai proses pengenalan diri lebih dulu, ada juga yang langsung menuju ke pernikahan tanpa tahu perasaan mereka.      

Danesh dan Kenes berada di posisi kedua. Di mana pernikahan tidak dibarengi oleh perkenalan dan perasaan.

Untuk bisa mengawali keduanya, Danesh memilih dengan caranya sendiri. Mendekati dan menggali wujud Kenes secara pelan.

Jadi wajar saja kalau kode tubuh masih kaku menyampaikan perasaan. Baik suka atau tidak suka.

Sebagai lelaki, tentunya harus bisa menutupi kelemahan hubungan mereka berdua. Termasuk dari godaan receh para remaja. Danesh tidak ingin wanita yang tengah diperjuangkan mengalami hal tidak menyenangkan.

"Em ... kamu gak apa-apa kan?" tanya Danesh memastikan. Ia takut Kenes merasa malu atau minder. Karena ini adalah momen pertama bagi mereka.

"Aku gak apa-apa. Santai aja," jawab Kenes sebiasa mungkin. Padahal hatinya mungkin sudah berdarah dan perih.

"Syukurlah kalau begitu. Ya udah, kita makan di sini aja. Yang deket," titahnya lagi sambil mendekati penjual nasi goreng.

Kenes memperhatikan sekeliling. Ada banyak pasangan remaja dan sudah berkeluarga sedang makan bersama. Menikmati malam dengan orang-orang terkasih, sungguh hal sederhana tapi bahagia.

Cara mereka berinteraksi dengan pasangan sangat bertolak belakang dengan dirinya. Ia justru merasa tidak bersyukur bisa mendapat pria yang menurutnya lumayan dari segi mana pun. 

Danesh memang pria yang tampan. Ia akui. Tapi ya itu ... ia masih belum menerima caranya menikah. 

"Hei ... kamu liatin apa? Kamu pengen kayak mereka?" bisik Danesh yang membuat Kenes terkejut. Lamunannya membuyar seketika.

Saat Kenes berbalik, tanpa sengaja wajah mereka bertemu di jarak yang begitu dekat. Kenes berusaha menelan ludahnya sendiri. Ia mencoba menahan gejolak dalam dada yang mulai tak terkendali.

Sorot mata itu seperti memiliki magnet. Yang menarik untuk menatapnya terus menerus. Manik kehitaman itu ... mengingatkan mata milik Emran.

Lampu sudut kota yang bercahaya terang membuat wajah Danesh berubah menjadi lebih tampan. Senyum lesung pipinya semakin menambah pesonanya. Kenes baru menyadari kalau Danesh punya pesona lain di malam hari.

Seperti bulan yang hanya bersinar di malam hari. Sinarnya menyihir mata yang memandangnya. Kenes merasakan desiran aneh merasuk lebih dalam ke relung jiwa.

"Aku tampan, kan?" Danesh berbisik tepat di rungu wanita yang masih menatapnya tanpa berkedip. Ia tahu wanita di depannya sudah mulai terperangkap sihir cinta.

Anehnya, Kenes malah mengangguk sekali. Mengiakan ketampanan Danesh. Sungguh pengakuan yang sangat jujur. Namun, senggolan bahu dari seseorang langsung menyadarkan akalnya. Hingga kembali dalam mode kenyataan.

"Kamu kenapa senyum begitu? Deket-deket lagi ... jauhan dikit dari wajahku!" ucap Kenes sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia sadar dirinya telah berbeda.

"Haish! Bisa-bisanya mengakui kalau Danesh tampan. Pasti ia punya mantra untuk menyihirnya," gumamnya dalam hati.

Seketika tangan Danesh menggenggam erat jemari Kenes dan menuntunnya mencari tempat duduk. Melihatnya sok kuat, sok cuek, membuat hatinya sedikit sakit. Apa susahnya sih, jujur sama perasaan sendiri. Iya, gak?

Padahal tadi sangat jelas arti tatapan matanya.  Namun, selalu saja berpaling dan menghindar. Ia mungkin masih membutuhkan waktu untuk memahami hatinya sendiri.

Kenes menurut ketika tangannya digandeng begitu saja. Ia tidak menolak meski akalnya sering bergejolak.

Kenes menatap sendok dan garpu dalam wadah. Ia ingin menjadi seperti mereka yang selalu berpasangan. Saling menjaga dan saling membutuhkan. Sedangkan dirinya? Berpasangan tapi belum bisa saling membutuhkan.

"Ini, Mas, mie gorengnya. Dua porsi, satu pedas, satunya lagi setengah pedas," ucap bapak penjual sembari meletakkan dua piring mie goreng di meja.

Suara benturan piring dan meja kembali mengalihkan pikiran Kenes.

"Makasih, Pak," jawab Danesh sopan.

Kenes melongo menatap piring dengan porsi mie goreng yang lumayan banyak untuk ukuran perempuan. Kalau tiap Minggu pergi ke sini, bisa dipastikan tubuhnya akan melar seperti bola bekel yang direndam minyak tanah.

"Kenapa diliatin? Ayo makan," titah Danesh sambil menggeser mie goreng pedas tepat di depan Kenes.

Ia sedikit tahu kalau Kenes suka makanan pedas. Sedangkan dirinya tidak terlalu suka.

"Tapi ini porsinya kebanyakan? Kalau gak habis sayang ...." Kenes menatap pria yang mungkin tidak pernah peduli akan timbangan. Bagi wanita mana pun, timbangan itu sangat penting. Bahkan bisa menentukan hidup dan mati. Lebay!

Danesh meletakkan sendok kembali ke piring. Lalu menatapnya lekat. Ia tahu, Kenes pasti takut tubuhnya berisi. Padahal, mau dia berisi atau tidak, perasaanya akan selalu sama. Eaaa ....

"Emang kenapa? Butuh tenaga banyak untuk menghadapi kehidupan. Apalagi kenyataan akan pernikahan kita. Kamu butuh tenaga ekstra untuk memikirkan hubungan ini mau dibawa ke mana. Kalau kamu takut berisi, aku siap menemani lari pagi. Dengan senang hati malah," ucap Danesh panjang lebar yang membuat Kenes merasa serba salah.

"Udah makan. Jangan banyak mikir ini itu. Aku tahu kamu lapar," imbuhnya lagi. Lalu kembali menyentuh sendok yang sempat ia lupakan.

Pria juga harus begitu. Tidak boleh melupakan sesuatu yang sudah dipegang sebelumnya. Termasuk janji Danesh yang telah disaksikan orang tua Kenes dan Tuhan akan menjadi suami yang patut dibanggakan.

Hampir lima belas menit keduanya sibuk saling menyantap mie goreng. Tidak ada yang bicara. Hanya suara denting sendok yang beradu mewakili perasaan keduanya.

Danesh menghabiskan makanannya lebih dulu. Kemudian meminum teh manis hangat untuk menutup makan malamnya.

Teh manis itu lagi-lagi membawa ingatan Kenes akan Emran. Kenapa ada banyak sekali persamaan antara Danesh dan Emran.

Matanya ... dan sekarang teh manis hangat.

Apa mungkin mereka kembar? 

Danesh menatap Kenes yang terus melihat gelasnya. Apa dia kepedasan? 

"Kamu mau minum?" tawarnya. Ia merasa heran melihat ekspresi Kenes.

Kenes tersadar sedang diperhatikan.

"Heh? Eh, iya. Mienya pedes banget," jawabnya sambil menarik napas dari bibirnya yang memerah. Bukan karena gincu tapi karena cabai.

"Ini minum punyaku. Teh manis hangat cukup manjur buat ngilangin pedas." Danesh menyodorkan gelasnya yang masih tersisa setengah.

Kenes meminumnya habis dalam sekali tegukan.

"Pelan-pelan, Ken-ken ...." Danesh mengambil tisu lalu mengelap bibir yang masih sedikit memerah. Lalu beralih mengusap keringat di kening karena kepedasan.

Kenes mematung mendapati perlakuan Danesh yang di luar dugaan. Apalagi tadi cara memanggil namanya. Sama seperti Emran yang sempat memberinya banyak gulali lewat panggilannya.

Pikirannya kini semakin tidak terkendali. Ingin bertanya tapi takut marah karena membahas pria lain di depannya. Ingin memendam tapi sudah terlanjur penasaran.

"Tadi kamu manggil aku apa?" tanya Kenes ragu. Cukup sudah ia menyimpan semua dugaannya.

Danesh menurunkan tangannya dan membuang tisu di piring.

"Ken-ken-kenes ... itu namamu, kan? Emang kenapa sih? Apa ada orang lain yang memanggil Ken-ken?" tanya Danesh seolah ingin tahu. Ia dapat melihat ada sesuatu yang berbeda di mata Kenes kala menyebut nama itu.

"Enggak apa-apa. Hanya mengingatkan seseorang yang pernah singgah sebentar," jawab Kenes lalu menatap ke arah lain.

"Oh. Kenapa singgahnya hanya sebentar? Cuma numpang ngopi kah?" tanyanya lagi. 

Dada Kenes terasa nyeri. Waktu memang sungguh egois. Selalu berputar dengan caranya sendiri dan meninggalkan bekas ingatan. Ia berharap ada mesin waktu untuk menghentikan pertemuannya dengan Emran. 

"Iya. Bukan numpang ngopi tapi ngeteh. Lagian juga dia udah nikah di hari yang sama dengan pernikahan kita." Kenes berusaha tidak menutupi apa pun.

Karena ia sadar, lambat laun kejujuran akan membuka jalan mana yang akan diambil.

Entah perpisahan atau melanjutkan hubungan yang terlanjur sudah ada ikatan.

Danesh merasa bersalah sudah bertanya tentang hal yang membuat wanita di depannya merasa sedih. Ia seharusnya tidak bertanya. Akan tetapi, ini memudahkan langkahnya harus mengambil sikap seperti apa nantinya.

"Ya udah. Yang lalu biarlah berlalu. Kita akan buat cerita baru. Meski caranya beda, tapi usaha akan menghasilkan hati yang sama. Aku percaya waktu akan memberikan kesempatan kita untuk bahagia. Gimana kalau kita jalan kaki mengelilingi Alun-Alun?" Danesh menawari sesuatu yang ingin Kenes lakukan sejak dulu.

Kenes dulu sempat punya keinginan berjalan kaki dengan pria yang akan menjadi suaminya. Sekarang akan terwujud, meski hatinya belum sepenuhnya menerima Danesh sebagai suaminya.

Danesh ingin membayar semua makanannya agar bisa segera jalan-jalan berdua bersama Kenes.

"Pak, semuanya berapa?" tanya Danesh.

Penjual mie goreng berbalik, melirik dua piring dan satu teh manis hangat. Air putih tidak masuk hitungan.

"Semuanya dua puluh lima ribu, Mas," jawab penjual mie dengan ramah.

Danesh segera merogoh saku celananya, membuka dompetnya dan menyerahkan uang pas. "Makasih, Pak."

"Sama-sama, Mas. Semoga kalau ke sini lagi sudah bertiga," ucapnya tanpa dosa. 

Keduanya saling melirik menanggapi ucapan penjual mie. Danesh mengamini sebagai doa dalam hati. Akan tetapi, Kenes sepertinya merasa sedikit terkejut. 

Danesh mengulurkan tangannya membantu Kenes berdiri. Ia hanya menatap tangan yang menggantung di depan wajahnya. Hatinya ragu mau menerima atau tidak. 

"Buruan ... jadi jalan-jalan gak?" ucap Danesh membuyarkan pilihannya. 

Kenes perlahan menempelkan tangannya dan mengenggam kuat agar bisa berdiri. Mereka hampir bertubrukan saat berhasil berdiri sejajar. Menyisakan jarak yang begitu dekat, sampai debar dalam dada terdengar hebat.

Danesh menatap lekat sepasang manik kehitaman yang masih tersirat banyak keraguan. Sedangkan Kenes mulai merasa tatapan Danesh persis seperti milik Emran. Nama mereka mungkin berbeda, tetapi dari sorot matanya terlihat nyata, sama.

"Cie ... udah berani pegangan dan tatap-tatapan. Bentar lagi pasti hatinya berjatuhan di taman cinta karena kasmaran."

"Entar habis pulang dari sini pasti akan terbayang dia seorang."

Mereka tersadar saat mendengar suara godaan dari para remaja yang sama. Kenes segera melepaskan pegangan tangannya. Harga dirinya lenyap seketika karena godaan yang tidak berm*ral.

Sementara Danesh menatap Kenes yang tersipu malu. Wajahnya yang merona kemerahan membuat Danesh ingin tertawa. Namun, ia tahan sebisa mungkin.

Ia merasa beruntung mengajak Kenes jalan-jalan malam ini. Ia jadi bisa melihat reaksi Kenes yang salah tingkah, lucu. Sama persis saat mereka bertemu pertama kali. 

"Maaf, Ken ... aku memang Emran. Tapi aku ingin kamu menyadari sendiri. Sampai hatimu yakin akan perasaanmu."

-------***--------

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status