Share

Bab 7

SUAMI ONLINE 7

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

        Wanita merupakan makhluk paling benar di muka bumi. Wanita juga sebagian tulang rusuk dari pasangannya. Sebagai pria sekaligus suami, jangan pernah berharap akan ada pembelaan tentang rumah tangga dan perasaan. Apa yang kita lakukan bisa selalu salah di mata istri. 

        

Ada beberapa hal sensitif yang memicu emosi wanita, seperti handuk basah yang tertinggal di atas kasur, mengambil baju dengan asal, dan masih banyak lagi.

Jiwa dan mental harus bersiaga setiap saat jika sewaktu-waktu mereka komplain. 

Seperti sekarang .... 

Danesh masih tidak percaya kalau apa yang ia lakukan menjadi kesalahan. Bibirnya masih kaku untuk menjawab pertanyaan sang wanita.

"Jawab, Mas?! Ini baju-bajunya kenapa? Kok, malah berantakan?" Kenes mengulang lagi pertanyaannya. 

"Aku cuma mindahin baju kamu aja, Dek. Soalnya semua penuh. Lagian kenapa baju banyak begitu tapi yang dipakai itu-itu aja. Sayang, Dek! Itu pun, cuma dapat tempat setengah rak," jelas Danesh berusaha membuat jalan aman. Tangannya tak lupa menunjuk bagian rak yang terdapat baju-bajunya.

Kenes melirik lagi baju-baju suaminya yang bertumpuk di rak bagian tengah. Matanya kembali menatap dari atas rak sampai bawah. Memang benar apa yang ia ucapkan. Selama ini ia sering membeli baju yang ujungnya jarang dipakai. Ia idak sadar bahwa bajunya sudah penuh satu lemari. 

"Coba renungkan ... buat apa coba? Buat apa baju penuh begitu sampai tidak ada tempat lain untuk bajuku? Sama kaya aku. Aku juga ingin punya tempat di hatimu. Pikirkanlah, Dek." Danesh berlalu pergi meninggalkan Kenes yang masih menatap isi lemarinya.

"Jangan lupa sarapan. Aku tunggu di dapur," ucapnya lagi. Kemudian berlalu tanpa menoleh ke belakang.

Kenes menatap punggung lelaki itu hingga menghilang dari balik pintu. Ada rasa malu di hatinya. Ia berani menentang kebiasaan buruknya. Padahal selama ini ia merasa kesusahan dengan hobi belanjanya. Baginya membeli apa pun yang diinginkan adalah suatu keharusan. Apalagi ia punya penghasilan sendiri. 

Kenes menggeleng berkali-kali. Lalu mengambil baju santai dan memakainya. Masa cutinya akan berakhir hari ini. Entah dengannya. Pekerjaannya pun ia tidak tahu. Dia terlihat misterius juga tertutup. Danesh hanya berterus terang soal hatinya. Haruskah bertanya biar terlihat akrab?

Aroma nasi goreng menguar di setiap sudut ruangan. Semakin mengundang perut yang kelaparan untuk mendekat. Kenes berjalan cepat agar sampai di dapur.

Matanya berbinar menatap satu baskom nasi goreng di meja. Dia bergegas menarik ujung kursi lalu mendudukinya. Danesh yang mendengar bunyi derit kursi langsung ikut duduk sembari membawa teh manis hangat.

Menu sarapan kali ini tidak jauh beda seperti tadi malam. Namun, dari aromanya berbeda, terasa lebih enak buatan suaminya. 

Kenes melirik pria di sebelahnya. Kaos biru dongker polos melekat sempurna di tubuhnya. Balutan kain celemek di pinggang menambah kesan maskulinnya. 

Tanpa sadar Kenes menatap lekat menikmati Danesh yang begitu mencuri perhatiannya. Mungkinkah sihir itu telah bekerja?

"Kamu nggak perlu ngeliatin begitu. Aku memang tampan," ucapnya yang sadar tengah diperhatikan.

Kenes membuang wajah seketika. Ia benar-benar merasa malu ketahuan mencuri pandang.

'Ish! Mau ditaruh mana mukaku,' rutuknya dalam hati.

Danesh tersenyum. Kesempatan memang akan selalu ada dan terbuka. Ia akan membuat jalannya sendiri dengan cara yang tidak disangka. Ia meyakini kalau perasaan Kenes pasti menjadi miliknya. Bukan hanya raganya, melainkan juga hatinya.

"Makan, gih. Mumpung masih panas," titahnya sembari mengambil dua centong nasi goreng. Lalu menggeser piring ke depan Kenes.

"Hari ini spesial. Manjaiin istri di rumah biar tambah terpesona. Habis ini kita seru-seruan," ucapnya lagi. Mata kanannya membuat kerlingan manja. 

Kenes yang baru saja memasukkan sendok ke mulut, langsung tersedak begitu saja mendengar ucapan Danesh.

'Seru-seruan? Maksudnya apa? Malam pertama? Eh, tapi ini, kan, siang hari,' batinnya. Kenes mulai berpikir yang aneh-aneh. Keseruan apa yang dimaksud membuatnya salah tingkah.

Saat tangannya akan mengambil teh manis, ia keduluan dengan Danesh. Kedua tangan mereka tidak sengaja bersentuhan. Serasa ada desiran yang sama seperti tadi malam. Namun, kali ini lebih nyata dan hebat. 

Kedua bola mata yang saling menatap membuat debar semakin menjadi. Sadar membuat kecanggungan, Danesh melepaskan tangannya.

"Kamu cepetan minum. Biar enakan. Kalau makan jangan mikir yang aneh-aneh ya ... kan, jadi keselek," ucap Danesh dengan pandangan mata yang tertuju pada Kenes.

"Siapa juga yang mikir aneh-aneh. Kamu aja yang mancing-mancing," jawab Kenes mengalihkan perasaannya. Kemudian fokus kembali ke makanan.

Mereka saling terdiam. Bibir mereka tidak mengeluarkan suara apa pun. Hanya suara denting sendok yang terdengar di rungu masing-masing.

"Nanti yang cuci piring biar aku aja. Tadi kamu udah masak. Sekarang giliran aku," ujar Kenes yang bangkit berdiri dengan membawa kedua piring ke wastafel.

Danesh membayangkan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Suami memasak dan istri mencuci piring. Bukankah itu sempurna? Apalagi jika ditambah kesadaran diri ikut membantu. Tubuhnya tiba-tiba bergerak menuju wanita yang sedang sibuk membasuh piring dengan air sabun.

Sebagai pria sejati pantang baginya melihat wanita kesusahan, apalagi istri sendiri. Danesh berdiri di samping Kenes, lalu mengambil piring yang penuh busa dan membilasnya hingga bersih. Kemudian ditatanya tengkurap agar tetesan air mengering.

Pekerjaan yang dilakukan bersama akan cepat selesai, juga bisa saling mendekatkan diri satu sama lain. Itulah yang Danesh rasakan. Entah apa yang dirasakan wanita di sampingnya. Ia tidak pernah tahu.

"Udah selesai, kan?" tanya Danesh memastikan.

"Udah. Kenapa? Mau ngajak main yang seru-seru?" jawab Kenes sedikit ketus. Ia masih berpikir kalau permainan yang dimaksud adalah tentang malam pertama.

"Iya. Kita cari tempat yang enak dan nyaman." Danesh mendorong pelan bahu Kenes layaknya bermain kereta, persis seperti anak kecil.

Kenes menurut mau dibawa ke mana. Ia hanya harus memasrahkan diri. Ia merasa wajar kalau semisal Danesh meminta haknya sebagai suami. Bukankah ini juga kewajibannya sebagai istri? Meskipun pernikahan mereka secara virtual.

Danesh mendorong hingga ke kamar. Pintu tak lupa ditutup tanpa dikunci. Karena memang ingin melakukan permainan seru sambil bersantai di kamar.

Kenes terduduk di atas tempat tidur. Kepalanya terus menerka apa yang akan dilakukan oleh pria di depannya. Apalagi saat Danesh ikut duduk di depannya dengan jarak yang sangat dekat. Pikirannya semakin menggila, tubuhnya bergidik ngeri membayangkan tangan besar itu menyentuh tubuhnya.

"Udah siap?" tanya Danesh.

"U--udah," jawab Kenes terbata karena rasa gugup.

"Oke. Kita akan bermain batu, kertas, gunting. Tiap yang kalah harus menjawab satu pertanyaan. Tidak boleh ada kebohongan, harus jujur. Anggap aja ini permainan uji kejujuran. Tapi dengan cara sederhana." Danesh menjelaskan aturan permainan dengan detail.

Kenes seketika melega mendengar permainan yang dimaksud Danesh. Hampir saja ia berpikir yang tidak-tidak, membuat rasa takut semakin menjadi.

"Oke. Deal!" 

Kenes sangat bersemangat karena ada jalan untuk bertanya tentang Danesh. Ini bisa membuka rasa penasaran yang beberapa hari menyiksa perasaan.

"Siap?!"

"Hm."

"Batu, kertas, gunting!"

Mereka menghentikan tangan secara bersamaan dengan posisi yang berbeda. Danesh tangannya menggenggam simbol batu, sedangkan Kenes tangannya membentuk huruf V simbol gunting. Batu mengalahkan gunting dalam permainan.

Bibir Kenes membentuk kerucut mendapati gunting mengalahkan batu. Helaan napas dalam juga terdengar lirih. Baru pertama bermain sudah kalah dan harus menjawab pertanyaan lebih dulu.

"Ehem. Aku yang tanya duluan, nih. Ingat! Harus jujur!" Danesh mengingatkan aturan permainan dengan wajah yang berseri. 

"Iya. Aku ingat, kok. Ya udah, apa pertanyaannya?" 

"Apa kamu menyesal menikah secara online denganku?" Danesh menatap Kenes tanpa berkedip. Dadanya berdebar menunggu jawaban apa yang akan didengarnya.

Kenes sendiri merasa bingung harus menjawab apa. Ia masih belum mengetahui isi hatinya sendiri. Sebenarnya, setelah berinteraksi dengan Danesh selama beberapa hari, ia mulai merasa nyaman berdua di satu rumah. 

"Harus jujur kah? Jujur, aku belum tahu menyesal atau tidak dengan pernikahan ini. Sebenarnya aku mulai terbiasa denganmu, tetapi di sisi lain masih ada rasa tidak terima dengan cara pernikahan kita. Maaf ...." Akhirnya Kenes bisa menjawab sesuai hatinya setelah beberapa menit terdiam. Ia memang belum tahu kalau menikah dengan Danesh merupakan penyesalan atau pengabdian.

Danesh tersenyum mendengar jawaban dari wanita yang mulai bimbang. Akan tetapi, cukup menyiratkan celah untuk jalan selanjutnya masih terbuka lebar.

"Baiklah. Aku menerima jawabanmu. Sekarang kita mulai lagi dari awal permainan," ucap Danesh yang langsung mengambil posisi sempurna dengan menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung.

"Batu, kertas, gunting!"

Tangan Danesh masih membentuk simbol batu, sedangkan tangan Kenes membentuk simbol kertas. Kenes menjadi pemenang. Inilah saat yang ia tunggu-tunggu.

"Sekarang giliran aku yang bertanya. Sebenarnya apa pekerjaanmu?" tanya Kenes. Rasa penasarannya sudah sampai di puncak. 

Danesh sedikit lega mendapat pertanyaan tentang pekerjaan. Kenes mungkin tidak menganggap penting tentang Silviana.

"Aku tidak bekerja. Aku hanya mengerjakan usaha kecil-kecilan yang digeluti keluarga, tetapi sekarang lumayan peminatnya." Danesh menjawab dengan tegas, membuat wajah Kenes seperti berpikir usaha apa yang digeluti.

"Lagi, ya?" tawar Danesh.

"Oke. Siapa takut!"

"Batu, kertas, gunting!"

Permainan kali ini dimenangkan oleh Danesh. Tangan Kenes membentuk simbol kertas, sedangkan tangan Danesh membentuk simbol gunting.

Kenes mengembuskan napasnya kasar. Ia takut mendapat pertanyaan yang aneh-aneh darinya. Karena kepalanya lumayan kotor untuk membayangkan yang tidak-tidak.

"Kok, diam? Katanya mau tanya?" tanya Kenes yang merasa heran tak kunjung mendapat pertanyaan.

"Iya ... ini lagi mikir mau tanya apa?" Kedua tangannya melipat di depan dada, sedangkan matanya melirik ke kanan dan ke kiri mencari inspirasi pertanyaan. Danesh bingung kalau pertanyaannya akan berubah menjadi keinginan.

"Gitu amat mikirnya. Tinggal tanya apa aja pake mikir, kaya lagi ujian nasional," cecar Kenes yang merasa kehilangan rasa sabar karena menunggu.

Danesh mengangkat kedua tangannya, menandakan akan menyudahi pemikirannya. Ia tidak lagi peduli jawaban wanita di depannya akan diam atau menjawab.

"A–apa aku boleh menciummu?" tanya sang pria dengan rasa gugup. Dadanya juga ikut berdebar menunggu jawaban wanita yang kini menatapnya aneh.

Kedua mata Kenes melebar mendengar pertanyaan Danesh. Sorot matanya yang tajam membuat Kenes ingin menenggelamkan kepalanya ke bantal guling. Ia ingin menghindar dari satu pertanyaan yang nyaris menyamarkan rasa takut menjadi keinginan.

Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ini seperti makan buah simalakama. Mau menjawab tidak boleh, berarti tidak memenuhi haknya sebagai suami. Mau menjawab boleh, raga dan mental belum siap bersentuhan dengannya.

"Haish! Kalau ada super jin, tolong hilangkan raga ini sejenak dari pandangannya."

----------***----------

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status