Share

Bab 2

SUAMI ONLINE 2

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

        Jumat adalah hari yang tidak diinginkan Kenes. Hari ini ia akan melepas statusnya. Sebenarnya ia ingin melawan dan berlari sejauh mungkin, ke tempat di mana tidak ada aturan perjodohan dan pernikahan. Maka tidak akan ada istilah yang menyebut 'Perawan Tua' untuk wanita belum menikah.

I'm single, very happy. Single? Why not?

Perawan tua itu sudah mengenakan kebaya seadanya. Berdiri menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Kebaya yang sering dipakai untuk undangan hajatan tetangga, sebentar lagi akan menjadi saksi pernikahan konyol ini. 

Untuk menghindari fitnah dan kehaluan, Kenes meminta Bu Hesti, tetangga sebelah rumah, agar mau menemani melewati hari yang cukup menorehkan sejarah baru dalam hidupnya.

Ia masih mengingat dengan jelas wajah Bu Hesti yang terkejut saat Kenes meminta bantuannya menjadi saksi. Meskipun begitu, Bu Hesti ikut berbahagia karena tetangganya tidak perlu lagi hidup sendiri. Bu Hesti kadang merasa kasian melihat Kenes selalu pulang menjelang petang bahkan malam, tanpa ada yang menyambutnya. 

Sebagai tetangga yang baik, Bu Hesti selalu mendoakan kebahagiaan untuk Kenes. Walaupun tahu kalau pernikahan ini karena perjodohan, tetapi selalu mendoakan agar awet sampai nanti. Bu Hesti menatap Kenes yang terlihat cantik meski dengan dandanan seadanya.

"Mbak Kenes, selamat ya ... semoga bisa saling menerima satu sama lain. Terkadang cinta juga bisa datang karena terbiasa," ucap Bu Hesti sambil tersenyum. Tangannya mengelus lembut punggung wanita yang sudah bersiap di depan ponsel.

"Makasih, Bu, atas doanya." Kenes memberikan senyumnya untuk Bu Hesti. 

"Cukup satu dalam pernikahan, Mbak ... ikhlas," pesan Bu Hesti. Ucapannya bagaikan pedang yang siap mengajak perang dengan akalnya. Mungkin benar, ikhlas adalah sikap yang harus ia lakukan saat ini.

Meskipun ikhlas mulai setengah merayap, Kenes tetap memilih tidak menghias diri seperti pengantin pada umumnya. Ia ingin membuat sang pria itu tidak begitu mengaguminya. 

Tatanan rambutnya tergerai sederhana tanpa hiasan jepit rambut. Bibirnya pun tidak berwarna. Hanya sedikit diolesi pelembab bibir. Agar tidak pecah seperti hatinya yang kini pecah karena menikah dadakan.

Dalam video call, Kenes melihat Ibu dan Bapak sudah duduk di kursi ruang tamu. Bahkan wajah calon suaminya menghiasi layar ponsel.

Kenes akui, wajahnya lumayan, pun dengan tubuhnya. Akan tetapi, nama Emran masih belum mau hilang dari kepalanya setelah pertemuan kemarin. Padahal hanya melihat matanya, tetapi nyatanya bisa mencuri seperempat hatinya.

Ia tidak menyangka nasibnya dipertemukan suami secara online tanpa ada perkenalan terlebih dahulu. Bahkan tidak memberikan kesempatan sama sekali untuk menggali perasaannya sendiri.

 Kepalanya terus mengingat Emran. Dia juga akan menikah di hari yang sama. Kenes masih sangat mengingat wajahnya yang cukup bahagia menerima pernikahannya.

Haruskah mendoakannya? Tapi mungkin tidak begitu perlu. Dia, kan, menerima dengan senang hati penikahannya.

Justru dirinyalah yang membutuhkan banyak doa untuk diri sendiri, supaya suaminya tidak betah dan memilih pergi meninggalkan dirinya.

"Apa semua sudah siap?" tanya penghulu dari seberang telepon.

"Sudah, Pak ...." Semua yang hadir menjawab, termasuk Kenes. Meski mereka di tempat berbeda, Kenes bisa mendengar dan melihat dengan jelas yang berada di layar ponsel.

Kenes juga bisa melihat kala pria itu berjabat tangan dengan bapaknya. Lamunan tentang Emran langsung buyar seketika.

"Baiklah ... kita bisa mulai. Silakan, Pak ...." Penghulu terlihat memberikan waktu untuk sang bapak dengan calon suami.

Semua adegan itu terpampang jelas di layar ponsel. Hatinya berdebar melihat sang bapak membuka mulutnya. Wajah calon suami juga terlihat menegang. Mungkin gerogi.

"Mas Danesh siap?" tanya penghulu memastikan sekali lagi.

Danesh mengangguk. Dengan duduk di dampingi sang ayah, ia menerima uluran tangan calon mertua. Saudara dari Ayah juga ikut menjadi saksi. Ayah dan pamannya memang berangkat lebih dulu menemui calon besannya. Katanya sekalian melepas kangen.

Maklum, dulunya pernah menjadi tetangga dan menjalin pertemanan yang lumayan erat. Makanya perjodohan ini bisa sampai terlaksana. Beberapa tetangga dekat juga turut serta menjadi saksi pernikahan mereka.

Kenes melihat lagi sang bapak yang meminta persetujuan penghulu untuk memulai acara. 

"Nasibku tinggal menghitung detik," rutuknya dalam hati. Matanya fokus ke layar ponsel menyaksikan detik-detik proklamasi, eh, detik-detik ijab qabul.

Akan tetapi, hatinya malah berdebar tidak karuan. Bukan saking bahagianya, melainkan saking terkejut karena statusnya sebentar lagi akan kawin. Bukan single apalagi cerai.

Bu Hesti yang melihat kecemasan Kenes, mencoba menggenggam jemarinya. Ia ingin Kenes tidak terlalu gugup.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Danesh Emran dengan putri saya, Kenes Nismara binti Karta Sanjaya dengan mas kawin uang sebesar dua ratus ribu dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Kenes Nismara binti Karta Sanjaya dengan mas kawin  uang sebesar dua ratus ribu rupiah dibayar tunai."

Semua yang hadir saling tatap.

"Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu mencari jawaban.

"Saaahhh!" 

"Alhamdulillah."

Kenes menitikan air matanya menyaksikan pria  di sana sudah menjadi suaminya. Pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Akan tetapi, ia jadi mengingat pertemuannya dengan Emran. Ia juga pasti sudah selesai mengucapkan ijab.

Mungkinkah orang yang sama? Tapi dia namanya Danesh. Jadi itu tidak mungkin. Eh, tapi semua bisa saja mungkin di dunia ini. Tidak ada salahnya jika sedikit berharap akan hal itu.

Kenes mencubit lengannya sendiri. Agar terbangun dari semua khayalan. Dirinya sekarang harus ikhlas menerima semuanya. Apalagi wajah suaminya lumayan tampan, tidak terlalu jelek untuk diajak jalan dan kondangan.

Bu Hesti masih setia menemani Kenes menyaksikan pernikahannya hingga selesai. Sesekali mereka berdua memakan cemilan kue bolu yang disediakan Kenes. Tiga puluh menit berlalu begitu saja setelah acara selesai. Petuah pernikahan dari Bu Hesti, Kenes menyimpannya dalam hati.

Suara ketukan pintu yang cukup keras membuat Kenes dan Bu Hesti saling pandang. Mereka berdua berjalan menghampiri pintu untuk melihat siapa yang datang. Ketika pintu terbuka, ternyata tetangga belakang rumah ibu, Om Heru sedang berdiri dengan mengenakan pakaian batik.

"Om Heru ngapain ke sini? Emang gak bantuin Bapak di sana?" tanya Kenes heran.

"Ini lagi bantuin. Aku disuruh nganter mas kawin dari Mas Danesh. Tolong diterima. Tadi pas ijab selesai, saya langsung berangkat ke sini dengan mode ninja," jawab Om Heru sembari menyerahkan amplop berwarna putih.

"Makasih, Om ... sudah jauh-jauh ke sini." Kenes menerima amplop dan menggenggamnya erat.

"Mas Danesh orangnya ramah, Nes. Ganteng, lagi. Insya Allah pilihan bapakmu itu terbaik buatmu. Lagian Mas Danesh anak temannya, jadi pasti bapakmu sudah tahu baik dan buruknya hingga pernikahan ini terlaksana. Sekali lagi, selamat ya ... Om, pulang dulu," jelasnya panjang lebar. Kemudian berlalu pergi meninggalkan Kenes.

"Tuh, bener kan, Mbak. Suami Mbak orang baik. Dari wajahnya sudah keliatan auranya," ucap Bu Hesti sekali lagi.

Mereka berdua kembali lagi ke ruang tamu. Menatap layar ponsel yang masih menampilkan sang suami sedang berbicara dengan penghulu.

Buku nikah yang harusnya ditanda tangani berdua, hanya pria bernama Danesh saja yang menandatangani. Punya Kenes menunggu Danesh mendatanginya. Tentunya sebagai lelaki dan suami.

Penghulu menatap layar ponsel, untuk menyampaikan selamat. 

"Selamat, ya, Mbak ... semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah. Mas kawinnya sudah diterima, kan?," ucap penghulu dengan senyum menghiasi penuh layar ponsel.

"Makasih, Pak. Sudah, ini barusan pulang yang nganter."

Wajah Danesh tertangkap tersenyum sembari menatap ponsel. Entah apa yang membuatnya lucu. Atau dia bahagia sendiri?

Setelah penghulu berpamitan, giliran wajah Ibu yang menghiasi layar ponsel. Kenes tahu, pasti ia sangat bahagia di atas penderitaan anaknya. Meskipun begitu, ia masih percaya kalau orang tuanya tidak akan menikahkan dengan lelaki sembarangan.

"Enes ... jadi istri yang baik ya? Insya Allah, Nak Danesh pria yang baik buat kamu. Nanti habis Ashar, ia akan berangkat menuju tempatmu. Inget, kamu harus sopan. Bagaimana pun dia sudah jadi suamimu. Sah secara agama dan hukum," kata Ibu dengan begitu jelas. Nadanya terdengar seperti perintah.

"Iya, Bu. Kenes inget. Tapi kalau lupa, maaf." Kenes merasa tidak bersemangat menjalani hari. Pernikahan ini tidak begitu diinginkan. Menurutnya belum sah karena ada unsur pemaksaan. Namun, mengingat wejangan Bu Hesti harus ikhlas menjalani, hati Kenes merasa tidak terlalu terbebani.

"Jangan lupa! Tidak boleh menunda memiliki momongan. Usiamu sudah tidak sehebat saat muda. Ibu juga ingin cepet punya cucu." 

Danesh tertawa lirih mendengar ibu mertuanya berpesan begitu. Sebenarnya Danesh sudah mulai klik saat pertama kali melihat foto Kenes yang ditunjukkan mamanya. 

Kenes cantik, dari fotonya. Aslinya sangat cantik malah. Nyatanya, ia menyetujui untuk menikahinya. Namun, hatinya menciut kala tahu Kenes sering menolak beberapa pria. Entah karena alasan apa.

Makanya ia sengaja menyambangi Kenes di tempat kerjanya sebelum melakukan acara ini. Sengaja memakai masker agar Kenes tidak curiga padanya.

 Kenes tipe orang yang manut sama orang tua. Walau sempat menolak beberapa pria tapi akhinya kali ini egonya menyerah. 

 Ia sadar diri kalau usianya sudah tidak lagi muda. Belum lagi ditambah julukan perawan tua. Yang dijamin bakal terpatri dalam hingga ke relung jiwa.

Danesh mengintip percakapan ibu dan anak itu.  Meski wajahnya belum rela mengabdikan diri sebagai seorang istri.

Kenes yang merasa diperhatikan langsung membuang muka ke arah lain. Menyembunyikan jauh sisi penolakannya. Lama kelamaan merasa jenuh digoda perawan tua, gak laku, dan sebagainya.

Rasanya sakit, dan ... malu.

"Awas aja ... aku akan buat Danesh mundur perlahan dan mengakhiri pernikahan tak normal ini," janjinya dalam hati. Kenes melupakan tentang ungkapan benci dan cinta bisa seperti mata uang yang perbedaannya sangat tipis.

"Ya sudah. Ibu mau nyiapin keperluan mantu untuk ke tempatmu. Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam."

Video call terputus setelah hampir satu jam lamanya. Badan pun sudah terasa gerah memakai kebaya. Apalagi hatinya ... gerah melihat Danesh yang sok manis di depan ibunya.

Bu Hesti pun berpamitan setelah memberinya selamat. "Sekali lagi selamat, ya, Mbak. Kalau begitu saya pamit."

"Sama-sama, Bu. Oh, ya, ini ada bingkisan sedikit. Sebagai ucapan terima kasih." Kenes menyodorkan sesuatu ke tangan Bu Hesti, lalu mengantarnya sampai ujung pintu.

Kenes berbalik kembali ke kamar dan melepaskan kebaya dengan asal. Lalu membuangnya dalam keranjang pakaian kotor. 

Kemudian mandi dengan air hangat agar suasana hatinya sedikit tenang. 

Hidup sendiri dalam rumah kontrakan membuat Kenes bebas mau melakukan apa saja. Mau bermalas-malasan, mau rumah kaya kapal pecah, mau sibuk kerja, tidak ada yang mengomel.

Tapi sekarang? Semua berbeda.

Statusnya sebagai istri dari Danesh Emran pasti akan membuatnya mawas diri. Kenes memang belum tahu sifat dan pekerjaan Danesh. Ibu tidak memberi informasi detail tentangnya. Yang ia tahu, Danesh adalah anak teman bapaknya.

"Haish! Kenapa juga aku mau ngelakuin pernikahan konyol ini. Kenal Danesh juga enggak, tahu-tahu jadi istrinya. Nasib ... nasib." 

Kenes masih merutuki diri sendiri. 

Dengan memakai baju tidur bergambar hello kitty, Kenes rebahan manja dan menonton TV. Mumpung hari cutinya masih dua hari lagi, ia ingin bersantai ria di rumah. Kesibukannya telah merenggut rasa bebasnya. Jadi sekarang ia ingin menikmati masa ini.

Akan tetapi, baru lima menit merebahkan tubuhnya di sofa, rungunya mendengar suara ketukan pintu.

Tok ... tok ... tok!

Sedikit malas Kenes menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Persis di depannya tampak seorang pria menggendong tas ransel warna hitam.

"Maaf ... cari siapa?" tanya Kenes.

Pria itu menoleh. Lalu tersenyum manis.

Beda dengan Kenes. Ia justru merasa kaget akan kedatangan pria di depannya yang secepat ini. 

"Kenes Nismara?" Pria itu bertanya dengan menyebut nama lengkap sang wanita. Membuat Kenes semakin yakin kalau pria itu adalah pria yang telah berani menikahi dirinya secara virtual.

"Iya, betul. Apa ka--kamu ... Danesh?!" Kenes bertanya sedikit ragu. Takut salah orang. Soalnya jaman sekarang marak orang dengan wajah berbeda di telepon dan dunia nyata.

"Tidak salah. Ternyata ingatan kamu lumayan bagus. Padahal cuma berjumpa saat acara tadi pagi. Tapi bisa langsung paham kalau itu aku. Berarti itu tanda-tanda kamu mulai menyukaiku," jawabnya dengan percaya diri.

"Hih?! Kamu gede rasa sekali. Paham bukan berarti suka ya ...!" jawab Kenes angkuh.

"Pantes jadi perawan tua. Gengsi sama perasaan sendiri sih ... jadi wanita itu gak usah gengsi. Kalau suka bilang suka ...." Sindiran Danesh membuat mata Kenes membulat sempurna.

Pria baik apaan? Kelakuan aja begini. Ibu pembohong besar. Tega menipu anak sendiri demi pria di depannya.

Mau minta cerai juga tidak mungkin. Yang ada Ibu nanti sakit hati dan pria ini semakin menjadi lagaknya.

Mungkin perlu dikerjain sedikit.

Harus nyuruh tidur di sofa kayaknya, atau ... tidur di luar?

---------***---------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status