Share

2. BUKTI

"Hai!" Ririn tersenyum melihat Damar, tapi detik kemudian wajahnya langsung berubah sinis begitu melihat Qeiza.

"Se-sedang apa kamu di sini?!" tanya Damar langsung diselimuti kegugupan.

Ririn langsung berdiri di depan Damar. "Aku mencarimu kemana-mana, ternyata kamu ada di sini." 

Damar dengan cepat membalikkan tubuh melihat Qeiza. "Ini ...." Kalimatnya tercekat karena gugup.

Qeiza tersenyum sinis menatap Damar. "Ya. Silakan berbicara dengan wanita di videomu itu"

 

"Aku dan Ririn hanya berteman." Damar kembali berbicara. Tapi, dia merasakan tenggorokannya mendadak kering.

"Memangnya, kamu lupa dengan apa yang kamu katakan padaku beberapa hari yang lalu?! Kamu bilang, kita sepasang kekasih. Kamu bilang secepatnya akan membuang Qeiza Noura karena ....," Ririn menatap Qeiza dari atas sampai bawah dengan tatapan meledek, "Sangat kampungan! Norak dan juga bodoh!"

Sementara itu, Damar tampak panik. "Apa yang kamu katakan?! Ngarang kamu! Aku tidak pernah bicara seperti itu!" ucapnya lalu menarik tangannya dari tautan jemari Ririn. 

Qeiza tertegun. Namun, dia menahan diri untuk tidak menangis. "I don't care! Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi!"

Setelahnya, ia pergi dari sana.

Teriknya sinar matahari tak menghalangi Qeiza berjalan cepat. Tujuannya hanya satu menuju sebuah cafe, di mana tadi sudah janji bertemu dengan temannya.

"Akhirnya, sampai juga. Gila, panas banget di luar, rasanya kulitku mau melepuh!" gerutu Qeiza setelah duduk.

"Dasar tuan putri! Panas begitu saja sudah mengomel!" celetuk suara pria tidak jauh darinya. 

Qeiza langsung menoleh, wajahnya tertegun begitu menatap wajah pria tersebut.

"Hai, Qeiza Noura!" orang tersebut datang mendekat. 

Qeiza tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Arlando! Arlando Meshach! OMG! Apa ini kamu?!" Qeiza langsung  bangun dari duduk, melihat pria tinggi wajah blasteran yang ada di depannya dari atas sampai bawah. "OMG!" 

"Yes! It's me," jawab Arlando, ada perasaan haru menyelinap masuk ke dalam hatinya begitu menatap wajah Qeiza. 

"Aku ....," mata Qeiza berkaca-kaca. "Apa aku bermimpi?"

Apa yang dirasakan Qeiza, sama dengan apa yang dirasakan Arlando. "Kamu tidak sedang bermimpi. Ini aku, nyata! Sahabat kecilmu!"

Tanpa diduga, Qeiza memeluk erat tubuh  Arlando. "Aku seperti sedang bermimpi bisa melihatmu lagi." Bulir air mata jatuh dari kedua kelopak mata. "Aku sangat merindukanmu. Berapa tahun kita tidak pernah bertemu? Aku sangat rindu, kamu hilang bagai ditelan bumi."

Arlando mengelus lembut punggung Qeiza.  "Aku juga merindukan kamu, sahabat kecilku yang cengeng! Tapi sampai kapan kita akan berpelukan seperti ini? Malu dilihat orang, nanti disangkanya aku ngapa-ngapain kamu."

Qeiza melepas pelukannya dengan malu-malu. "Maaf."

"He-he," Arlando terkekeh melihat wajah Qeiza yang basah oleh air mata. "Dasar cengeng!" jari telunjuknya mencolek hidung mancung Qeiza. 

"Kamu selama ini ada di mana? Aku mencarimu dari Utara ke selatan, dari timur ke barat, tapi tidak ketemu juga."

Arlando tertawa terbahak. "Ha-ha-ha. Tidak bakalan ketemu karena aku tinggal di planet lain yang sangat jauh dari bumi."

Qeiza tersenyum menatap wajah Arlando. "Kamu sangat berbeda sekali sekarang."

"O ya? Pasti sekarang, aku jauh lebih tampan. Iyakan?!" tanya Arlando sambil duduk.

Qeiza mencibir ikut duduk. "Percaya diri banget! Sekarang kamu jauh lebih tinggi! Sampai pegal leherku melihatmu! Apa selama menghilang, kamu makannya pohon bambu?!"

"Ha-ha-ha. Sembarangan!" Arlando menyentil kening Qeiza pelan. "Kamu pikir aku ini keturunan panda!"

"He-he-he," Qeiza ikut terkekeh, rasanya seperti mimpi bisa bertemu dengan sahabat kecilnya lagi.

TING!

Suara notif pesan masuk. Qeiza langsung mengambil ponsel dan membaca pesan yang tertera di layar. "Yaelah!" ucap Qeiza kesal.

"Ada apa?!" tanya Arlando. "Apa ada masalah?!"

Qeiza menaruh ponsel di atas meja. "Temanku membatalkan janjinya. Aku sudah jauh-jauh datang, seenaknya saja dia tidak datang."

"By the way, apa kamu datang sendirian ke sini?!" tanya Arlando.

"Iya," jawab Qeiza. "Kemana-mana aku selalu sendirian." 

Tak lama datang seorang pelayan cafe. Setelah memesan semua yang diinginkan Qeiza dan Arlando, pembicaraan dilanjutkan kembali.

"Kamu kuliah atau bekerja?!" tanya Arlando melihat beberapa buku menumpuk di atas meja, diambilnya salah satu. "Wow, kamu seorang desainer?!" 

"Desainer recehan," jawab Qeiza merendah. "Hanya sekedar hobi saja."

"Aku baru ingat sekarang. Dulu, aku selalu kesal kalau kamu sudah menggambar baju karena ujung-ujungnya kamu tidak mau main denganku!" Arlando melihat lembar demi lembar kertas dengan gambar berbagai macam desain baju dari hasil tangan Qeiza.

"Lalu kamu sendiri, bekerja atau kuliah?!" tanya Qeiza, tapi detik berikutnya malah terkikik. "Hi-hi-hi. Aku lupa, ngapain aku mengajukan pertanyaan tolol seperti itu," ujarnya lagi. "Sudah tentu, kamu pasti meneruskan perusahaan Papimu itu."

Arlando menaruh kembali semua buku-buku Qeiza ke tempat semula. "Setelah menyelesaikan kuliah di luar negeri, aku bekerja di perusahaan Papi. Setiap hari bekerja sampai aku tidak tahu dunia luar."

Qeiza terkekeh. "He-he-he. Kamu jadi kuper dong," ledeknya. "Eh, by the way busway, kamu sudah menikah atau belum?! Jangan sampai pertemuan kita di sini menimbulkan fitnah. Aku tidak bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa dengan hidupmu."

Arlando tertegun, langsung teringat dengan permintaan kedua orangtuanya.

"Tapi melihat jari manismu tidak ada cincinnya, berarti kamu belum menikah. Ternyata wajah gantengmu itu bukan jaminan untuk segera menikah," ucap Qeiza.

"Kamu meledek atau menyanjung?" Arlando mendengus kesal. "Kamu seperti Papi, senangnya meledekku!"

"Hah?!" Qeiza menatap bingung wajah Arlando yang berubah kesal.

Arlando lalu menceritakan keinginan orangtuanya pada Qeiza. "Jadi begitulah Qei,  keinginan kedua orangtuaku yang membuat kepalaku pusing tujuh keliling sampai aku terdampar di cafe ini atas ide si Bibi."

"Menurutku wajar kalau Om Theo dan Tante Sarah menginginkan putranya menikah, apalagi kamu ini putra tunggal mereka," ujar Qeiza. 

Arlando menghela napas. "Wajar sih, tapi aku yang pusing," ditatapnya wajah Qeiza dengan intens. "Pusing karena aku tidak punya kekasih! Jangankan kekasih, pacaran saja aku tidak pernah!"

Qeiza sedang meneguk orange juice sampai tersedak begitu mendengar sahabat masa kecilnya belum pernah pacaran. "Uhukh ... Uhukh."

Arlando langsung bangun dari duduknya begitu melihat Qeiza tersedak. "Pelan-pelan kalau minum." Tangan Arlando menepuk pelan punggung Qeiza. "Kamu tidak pernah berubah, selalu saja tersedak kalau sedang minum."

"Uhukh, uhukh," wajah Qeiza memerah, tangan mungilnya menepuk dadanya pelan. "Uhukh, sudah, sudah aku tidak apa-apa."

Arlando segera mengambil tisu yang ada di atas meja. "Ini, bersihkan bibirmu. Lain kali hati-hati kalau minum." Arlando kembali duduk.

Qeiza membersihkan bibirnya. "Terima kasih," ucapnya. "Kita lanjutkan lagi pembicaraan kita. Sudah sampai mana tadi?!" Qeiza mengatur posisi duduknya kembali agar lebih nyaman mengobrol.

"Sampai aku ...," ucap Arlando mau melanjutkan lagi omongannya, tapi seketika terhenti begitu melihat ekspresi wajah Qeiza.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status