Share

Berita Tengah Malam

Setya terbahak melihat istri kecilnya kabur. "Raniah, kakak hanya bercanda!" serunya segera beranjak untuk menyusul.

"Bodo amat!" timpal Raniah dari ruang Tv.

Setya menyusul dan duduk di samping istrinya. "Kok malah nonton Tv, bukannya balik ke kamar, kan masih malam?" tanya Setya.

"Baru makan jangan langsung tidur, nanti perutnya buncit dong, Kak," sahut Raniah.

Setya mengangguk dan ikut memperhatikan acara Tv. "Berita tengah malam, siang 8 Juli. Timsar mengevakuasi dua mayat dengan kondisi yang memperhatinkan, diduga korban adalah pendaki gunung. Mereka berjumlah empat orang, dua di antaranya tewas dalam keadaan tanpa busana. Satu orang selamat dan satu orang lagi tidak ditemukan keberadaannya ...." Raniah tampak bergidik takut, pada saat ia melihat para Timsar membawa kantung-kantung jenazah dan memasukkannya ke mobil ambulance.

"Kak, Kakak!" Raniah menyenggol lengan suaminya, karena Setya tampak serius menyimak berita. "Kak!"

"Hmm!" gumaman saja sebagai respon. "Ada apa?" lanjutnya bertanya.

"Kira-kira pendaki yang hilang itu ada di mana?" tanya Raniah penasaran, seperti yang dia tahu Setya adalah seorang indigo.

"Ada," jawab Setya singkat.

"Iya, ada di mana?" cecar Raniah.

"Di situ," jawab Setya, membuat Raniah kesal karena jawaban pria itu hanya singkat-singkat.

"Serius, di mana? Apakah dia masih hidup? Kalau masih, dia di mana? Terus masih bisa ketemu tidak?" berondong Raniah, sangat-sangat penasaran.

"Bisa jadi," jawab Setya santai.

Setiap jawaban Setya membuat Raniah jadi kesal, pertanyaan banyak-banyak, jawabannya cuma begitu. "Hiii, ngeselin banget sih kamu, Kak!" ketusnya seraya mencubit lengan atas Setya.

Setya meringis seraya mengusap lengannya yang terasa panas. "Kamu tidur sendiri saja takut, apalagi nanti kakak cerita, nanti repot." Raniah cemberut, kembali menatap kembali pada layar TV yang sudah memberitakan kasus lain.

"Kakak mau tidur, kamu mau di sini apa mau ikut? Masih malam loh," bisik Setya sengaja menakut-nakuti.

Pria itu lalu berdiri dan melangkah pergi, Raniah melebarkan kelopak mata dan menekan tombol off pada remote. Dia berlari mengejar suaminya. "Kakak, tunggu!"

Raniah menyusul Setya yang baru akan menaiki anak tangga, gadis itu mendahului suaminya berlari kecil menuju lantai dua, Setya hanya tersenyum tipis melihat istrinya yang selalu saja seperti anak kecil.

Raniah masuk ke dalam kamar dan segera menutup pintunya. Napasnya terengah dan segera berlari ke atas ranjang, mentupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Sunyi! Tidak ada tanda-tanda Setya masuk ke kamar? Raniah masih bersembunyi di bawah selimut tebalnya. Terdengar suara pintu terbuka dan tertutup, Raniah semakin menegang di tempatnya.

Kedua mata Raniah terpejam saat ranjang perlahan bergerak seperti ada yang naik ke atasnya. Terasa selimut dibuka, dan Raniah menoleh mengira Setya yang ikut masuk ke dalam selimut. Tapi, Raniah salah, makhluk hitam berbulu yang ternyata terlihat oleh Raniah.

Mata merahnya yang tajam seketika membuat Raniah berteriak histeris. "Aaah! Kakak!" Raniah menjerit dan membuka selimut dari tubuhnya. Di luar dugaan kamar yang tadinya indah kini gelap dan seperti bukan kamar Setya. "Aaaah! Tolong!"

Raniah berteriak ketakutan, saat sosok hitam besar itu mendekat. wanita itu berusaha membuka pintu ruangan dan memukul-mukulnya sekuat tenaga. "Tolong, kak Setya, tolong Raniah!"

Keringat dingin membasahi tubuhnya saat makhluk itu terus mendekat dan menunjukkan seringainya. "Jangan mendekat, pergi, pergi!" usir Raniah. Napas wanita itu terengah dan kedua matanya basah, tubuhnya gemetar saat makhluk itu siap menerkam dirinya. "Aaaaaa!"

Gelap!

Pandangan Raniah meggelap, dan tergeletak di lantai begitu saja. Terdengar dobrakan di pintu dan tampak Setya masuk mendapati Raniah pingsan di lantai. "Astagfirullah, Raniah!" Dengan cepat Setya meraih Raniah dan menggendongnya menuju ke kamarnya, karena ternyata tadi itu Raniah masuk ke kamarnya sendiri yang dia kira kamar Setya.

Setya merasa ada yang tidak beres saat pintu kamar Raniah tadi sulit dibuka, dan ternyata Raniah masih saja kena gangguan jin kiriman Sari. Sepertinya dukun Sari tahu kalau Raniah sudah tidak punya aura pemikat itu lagi, hingga berniat untuk melenyapkannya dengan cara lain.

***

"Bagaimana keadaannya, Setya?" Danu Adji masuk ke kamar untuk memastikan keadaan menantunya.

"Dia pingsan, Ayah." Setya mengelus puncak kepala Raniah, dan wanita itu tersadar.

Perlahan dia membuka matanya dan langsung panik histeris. "Ah, jangan dekati aku, jangan! Kakak!"

Setya merangkum wajah Raniah hingga membuat gadis itu menghentikan teriakannya. "Kakak, tadi ada makhluk jahat, Kak. Tolong Raniah, Kak. Raniah takut!" Raniah segera memeluk suaminya sangat erat, air matanya masih saja mengalir deras karena takut.

"Sshh, tenanglah, Raniah. Sekarang kakak di sini bersamamu, kamu akan baik-baik saja." Setya menepuk dan mengelus punggung Raniah lembut, mencoba menenangkannya.

"Raniah takuuut!" lirihnya di sela isak tangisnya.

"Setya, tenangkan dia, ayah kembali dulu ke kamar," pamit Danu Adji.

"Iya, Ayah," sahut Setya. Danu Adji kemudian berjalan menuju pintu keluar dan menutup pintu kamar pengantin itu lagi.

***

Prank!

Suara barang dibanting ke lantai, benda logam bentuk cawan itu menumpahkan darah dan bunga. "Bodoh!" umpatan keluar dari bibir merah Nyai Ratu Pandan Wangi. "Bagaimana bisa kau kecolongan? Gadis itu sekarang sudah tidak perawan lagi, Bodoh!" Nyai Ratu Pandan Wangi begitu sangat geram, menatap nyalang pada Sari yang menunduk takut.

Persembahan darah ayam cemaninya ditolak, karena Nyai Ratu Pandan Wangi merasakan aura pemikat itu memudar dari diri gadis keturunan satu-satunya Irma Sukma Ayu. Kini pupuslah sudah harapan siluman ular itu untuk menjadi kuat dan abadi, harus berapa puluh tahun lagi dia menunggu sampai Raniah dan Setya memiliki keturunan. Keturunan yang akan memiliki dua keistimewaan yang diwariskan dari kedua orang tuanya.

Sari masih menangkup kedua telapak tangan berada di depan kening. "Ampuni hamba, Nyai. Kukira hari pernikahannya besok, tanpa diduga Danu Adji dan putranya cukup pintar mengelabui kami. Mereka sangat licik," ucap Sari membela diri.

"Bukan si Danu yang pintar, tapi kamu yang kelewat bodoh, Sari!" Nyai Ratu Pandan Wangi menyeringai dan wajahnya sekilas berubah bersisik dengan mata ular, lidah bercabangnya terulur, tapi tak berselang lama wujudnya kembali cantik. "Pemuda itu telah memecah keperawanan gadis pemilik aura pemikat itu, kini gadis itu layaknya wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun, tidak bisa aku memanfaatkannya untuk menambah kekuatanku." Nyai Ratu mengibaskan selendang hijaunya dengan geram.

"Biar kubunuh saja gadis itu, Nyai. Aku yakin Danu dan putranya akan mati perlahan karena kehilangan gadis bernama Raniah itu." Sari terlihat begitu bernafsu, karena memang sejak dulu dia sudah ingin membunuh anak keturunan Irma, musuh bebuyutannya.

"Jangan coba-coba kamu memutus rantai keturunan pewaris aura pemikat sebelum aku mendapatkan tujuanku, atau kamu tahu akibatnya, Sari!" ancam Nyai Ratu Pandan Wangi. "Dia akan melahirkan seorang anak, baru setelah itu kamu boleh melenyapkannya."

Sari mengepalkan kedua telapak tangannya, geram. Di usianya yang sudah kepala lima, Sari harus masih menahan dirinya untuk menuntaskan dendam. Tapi, di bawah kuasa Nyai Ratu Pandan Wangi, Sari tidak bisa melakukan apa-apa. "Baik, Nyai. Sesuai keinginanmu, hamba akan menuruti apa titahmu, Nyai."

"Bagus, tetaplah jadi abdi abadiku yang setia, Sari!" Nyai Ratu Pandan Wangi tertawa sebelum menghilang dari hadapan Sari. Selepas kepergian Nyai Ratu Pandan Wangi, Sari tampak sangat kesal.

Dirinya sudah tidak bisa menahan lagi, dia harus menuntaskan dendamnya agar jiwa kakaknya bisa tenang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status