POV ADAMAku mengerjapkan mata saat merasa ada yang menindih tubuh. Semula aku pikir ini kelakuan Sila karena hampir sepuluh hari aku tak menyentuh. Namun, betapa terkejutnya saat kulihat wajah lain yang tengah menghujaniku dengan ciuman. Secepat kilat aku mendorong hingga dia terpental. “Aw ....” Dia memekik kesakitan sambil berusaha bangkit. “Gila kami, Nin!” Aku mengumpat kasar. Ini sudah kali ke empat Kakak iparku mencoba memaksakan keinginannya, tapi selalu tegas kutolak. Bukan munafik, aku hanya berusaha menjadi suami setia sebisaku. Kalaupun selingkuh, tentu bukan dengan Kakak iparku sendiri karena akan lebih menyakiti hati Sila. “Kamu yang membuatku Gila, Dam! Ayolah, mumpung Sila enggak di rumah.” Tanpa malu perempuan itu mendekat dan hendak bergelayut, tapi aku lekas berdiri menjauh. “Sadar, Nin! Sadar. Aku adik iparmu,” Dia ikut bangkit. “Tidak, Dam! Aku tak pernah menganggap kamu adik ipar. Bagiku kamu tetaplah Adam, kekasihku. Ayolah, jangan pura-pura. Bukankah sa
Ucapan Mas Daffa tadi siang masih berdengung di telinga. Kata-katanya memaksaku untuk curiga dengan Mbak Nina, kakakku sendiri. Terlebih jika mengingat bahwa mereka pernah dekat. Ah ... masa sih begitu? Jangan-jangan ini hanya bualan Mas Daffa saja karena tak terima ditinggal Mbak Nina. Sempat ingin menanyakan langsung pada Mas Adam, tapi suamiku sekarang telah berubah. Dia tak mau mendengar sedikit pun aku bicara. Malah pergi entah ke mana. Atau dia sedang ke rumah sakit lagi? Jujur. Aku lelah dengan semua ini. Aku merindukan kedamaian seperti dulu. Saat hari-hari kami masih diwarnai canda dan tawa, bahkan nyaris tak ada pertengkaran. Namun, agaknya kebahagiaan itu akan susah kuulang mengingat Mas Adam akan tetap marah jika Mbak Nina masih di sini. Sejenak aku diam. Mencoba merenungi setiap apa yang telah terjadi. Hingga akhirnya kusadari bahwa semua berubah sejak Mbak Nina di sini. Kutarik nafas panjang lalu menghempaskan perlahan. Hati berkata bahwa aku harus bicara dengan Mba
Senja hampir berlalu saat aku sampai rumah. Gontai langkah terayun naik ke teras. Sesosok perempuan berwajah polos menyambut dengan seulas senyum. Namun, entah mengapa senyum itu tak lagi mampu menggetarkan hati. “Mau aku buatkan minum atau mandi dulu, Mas?” tawar Sila istriku. Kelembutan sebagai seorang istri memang tak kuragukan. Pun kepiawaian menyiapkan semua kebutuhan. Hanya saja sikap yang membiarkan kakaknya tetap di sini, itu yang membuatku muak. “Enggak usah!” Aku terus berjalan melewatinya. Meski tak menoleh, derap kaki yang terdengar membuatku tahu jika Sila mengikuti. Aku terus melangkah masuk ke kamar dan langsung duduk di depan meja rias. Dari balik pantulan cermin terlihat dia mendekat. “Kamu kenapa, Mas? Kok kusut banget?” tanyanya. Aku menoleh. Kemudian bangkit dan berpindah duduk di tepian ranjang. “Duduk, Sil!” Aku menepuk bagian kasur di sebelahku. Sila mendekat kemudian duduk. “Ada apa, Mas?” Aku merogoh saku celana, mengeluarkan amplop coklat yang kudapa
“Kakakmu masih tinggal di situ, Sil?” Seorang tetangga menanyai saat aku sedang berbelanja sayur. “Masih, Bu! Memangnya kenapa?” sahutku sekaligus bertanya. “Apa kamu enggak kasihan sama Adam? Kasih makan kamu saja sudah pontang-panting. Malah ditambah kakakmu juga,” Bukan kali ini saja aku mendapat pertanyaan seperti itu. Awalnya aku mengira mereka hanya julid, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata mereka mengingatkan meski terkadang cara bicaranya menyinggung. Aku diam. Meneruskan memilih sayur ketimbang menggubris mereka. “Maaf. Bukan menakut-nakuti. Ada loh di kota asalku seorang suami selingkuh dengan kakak iparnya gara-gara tinggal serumah. Kamu harus waspada!” ucap tetangga yang lain. Mendadak tenggorokan tercekat. Entah itu benar terjadi atau membual, yang jelas aku khawatir hal seperti itu menimpaku. Terlebih kata Mas Daffa mereka pernah dekat, meski aku tak tahu sedekat apa dulu. “Enggak bakalan, Bu! Lagian kakakku juga bentar lagi pindah. Tapi nunggu dapat kerja dulu,
Setelah pertengkaran dengan Mbak Nina, pikiran terus dihantui prasangka. Hati tak sabar menunggu Mas Adam pulang dan ingin segera menanyakan kebenaran tentang pengakuan kakakku. Pukul lima sore dua bocah sudah kumandikan. Aku duduk di teras menanti Mas Adam yang sedang pergi entah ke mana. Dia tak pamit. Sebuah mobil perlahan memasuki pekarangan rumah yang tak seberapa luas. Aku menatap lekat pada kendaraan itu, menduga-duga siapa yang datang. Pasalnya, aku ataupun Mas Adam tak memiliki banyak kenalan orang bermobil. Aku tersentak kaget saat pintu mobil terbuka. Seorang lelaki yang sedang kutunggu kepulangannya turun lalu berjalan ke arah rumah. Buru-buru aku bangkit dan menyambutnya. “Itu mobil siapa, Mas? Kenapa kamu memakainya?” tanyaku keheranan. Selama ini Mas Adam tak pernah membawa mobil ke rumah. Tentu saja hal ini menimbulkan tanya di benak.“Itu mobil Ervina. Mulai kemarin aku menjadi sopirnya,” sahutnya datar, nyaris tanpa ekspresi. “Ervina perempuan yang kamu tabrak
Mas Adam sudah sangat mengkhawatirkan. Sepertinya dia tak main-main dengan ucapan bernada ancaman itu. Terbukti sampai pagi menjelang, dia tak kunjung pulang. Sebagai perempuan yang ingin mempertahankan rumah tangga, tentu aku tak akan tinggal diam. Lekas kuhubungi Mas Daffa melalui telepon, dan untungnya dia mau mengangkat meski masih terbilang pagi. “Ada apa, Sil?” tanya suara dari seberang sana. “Ada yang ingin aku bicarakan, Mas! Bisa kita ketemu?” tanyaku balik. Dia tidak langsung menjawab, dan aku rasa tengah berpikir. “Bisa. Kapan dan di mana?” Kali ini gantian aku yang berpikir, sebab tak biasa bertemu di tempat tertentu. Untung saja teringat sebuah tempat ngopi saat motor mogok. “Di tempat kemarin. Waktunya terserah kamu saja, Mas!” “Ya udah sekarang saja. Aku langsung ke sana,” sanggupnya. Aku melongok jam digital di layar ponsel yang baru menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit. Apa ini enggak terlalu pagi? Ah ..., tapi enggak apa-apa. Semakin cepat bertemu, sema
POV. ADAMSemula aku pikir rumah tanggaku akan baik-baik saja. Selalu diwarnai kebersamaan dalam suka ataupun duka. Namun, nyatanya prahara datang menguji. Kedatangan Mbak Nina ke rumah membuat semua berubah total. Sebagai lelaki, aku lelah dengan kebodohan yang selalu istriku lakukan. Tingkahnya berhasil menggerus rindu yang dulu selalu menggebu. Bahkan, kurasakan hubungan ini semakin hambar. Pertengkaran demi pertengkaran harus kami lewati setiap hari. Secuil masa lalu pun tak luput dipermasalahkan. Jika sudah begini, sampai kapan aku sanggup bertahan? Adalah Ervina. Gadis yang kakinya masih dalam proses penyembuhan itu menjadi satu-satunya tempat berbagi beban. Sesekali dia juga mengeluhkan permasalahan hidup yang pernah dialami. Kami semakin dekat hingga seakan tak ada jarak antara bos dan majikan. Pagi ini, dia meminta diantar ke taman. Ingin menikmati suasana baru katanya. Wajar sih, lebih dari seminggu dia hanya berbaring di rumah sakit. Selebihnya tinggal di rumah saja. “
Nyatanya, rumah tangga yang sudah lebih dari lima tahun kubina tengah berada di ujung tanduk. Meski keinginannya sudah kuturuti, Mas Adam masih saja dingin. Dia seperti menganggapku orang lain. Jika karena sibuk bekerja, aku masih maklum. Namun, apa daruratnya hingga dua malam berturut dia tak pulang? Tidur di mana dia? Apa di rumah Ervina?Aku sudah menanyakan perihal itu pada suami, tapi tak dijawab. Malah pergi lagi dan entah kapan akan pulang. Kuakui memang kusalah karena tak cepat tanggap saat Mbak Nina pertama datang ke rumah ini. Tapi apa dengan mendiamkan semua akan selesai? Tidak kan? Seharusnya dia mengerti karena aku sudah memberi alasan dan berulang kali minta maaf. Nyatanya, dia tak menggubris. Mendadak terdengar suara pintu yang diketuk. Dengan malas aku beranjak ke arah sumber suara tersebut dan membuka pintu. Seorang lelaki yang sama sekali tak kukenal berdiri mematung di depan pintu. “Apa benar Anda istri dari Adam?” tanya lelaki itu. Aku mengerutkan kening. Dia