Share

Senjata Makan Tuan

Drat!

Drat!

Ponselku terus berbunyi. Dengan terpkasa aku hentika mobil di pinggir jalan dan mengangkat ponsel. Siapa gerangan yang menelpon? menganggu saja.

"Kamu dimana, Evania?" tanya Ayu.

"Aku sedang mengikuti Mas Aryan, dia pergi ke daerah pedesaan, sepi sekali. Aku sampai takut."

"Kembali ke Jakarta, Eva. Kamu temui aku di cafe dekat apartemen Naura."

"Maksud kamu apa, Ayu? Aku bisa kehilangan jejak Mas Aryan. Jangan ngawur."

"Dengar kata-kataku. Bahaya jika kamu melanjutkan membuntuti Aryan. Percayalah, aku  selalu memberi saran terbaik untukmu."

Kata-kata Ayu bagai embun yang menyejukan hati. Jujur, sedari tadi, hawa takut terus menyelimuti. Firasta negatif sangat menancap di hati.

"Baiklah, aku langsung kembali ke Jakarta, dan menemuimu."

"Bagus, setelah sampai di sini, kamu akan tau jawabannya Eva." Sambungan telpon terputus.

Apa yang dimaksud Ayu? Sungguh, aku tidak memahami. Biarlah, lebih baik bergegas memutar balik. Sebelum Mas Aryan mengarahkanku menuju tempat yang berbahaya.

Sekuat tenaga aku tancap gas dan mulai menyusuri jalan raya. Rasa lega perlahan menyelinap di dada.

Butuh waktu cukup lama untuk bisa sampai di cafe. Suara adzan magrib menggema ketika aku sampai.

"Ayu, aku mau solat dulu," ucapku ketika bertemu Ayu di depan parkiran.

"Baiklah, aku juga ikut, Eva."

Kemudian, kami berjalan menuju masjid. Cafe ini sangat mewah, tepat di sampingnya sebuah apartemen kelas atas. Yap, tempat tinggal si Naura.

"Kamu tau, Eva, Aryan sedang memadu kasih di dalam apartemen Naura," ucap Ayu setelah kami duduk dan memesan makan.

"Tidak mungkin, jelas-jelas aku mengikuti Mas Aryan. Dia juga chat aku, bilang kalo ada kerjaan di daerah pedesaan. Dia tidak berbohong."

"Hahaha, Eva, kapan kamu sadar. Suamimu itu cerdik dan banyak akal bulusnya."

Aku hanya menggelengkan kepala. Tidak percaya apa yang dikatakan Ayu. Apa sebenernya yang terjadi, kenapa Ayu berbicara seperti itu?

"Baiklah kalo kamu tidak percaya, lihat ini, rekaman cctv di kamar Naura."Ayu menyerahkan ponselnya.

Terdengar jelas suara percakapan di ponsel itu. Membuat jantung berhenti berdetak melihat dua sosok manusia yang sangat aku kenal.

"Aku sudah baca inbox Mas. Ternyata Eva tidak bisa diremehkan. Dia sangat nekat, sampai membuntuti Mas." Naura merangkul tubuh Mas Aryan dan mengecupnya dengan lembut.

"Iya Sayang, kita harus bersandiwara di depan dia. Maafkan aku harus membentakmu pagi tadi. Sekarang, anak buahku akan menyekap Evania, dan memaksanya menghapus semua bukti."

"Syukurlah, setelah ini kita bebas dari ancaman Evania. Perempuan kampung itu harus diberi pelajaran."

"Tenang, itu urusan gampang. Eva pasti tidak menyangka kalo aku ada di sini. Aku tidak bodoh, jika whatsappku dia sadap, maka masih ada telpon via pulsa. Chat lewat F* dan I*."

"hahaha, kamu memang pintar, Sayang."

Setelah puas menertawakanku. Mereka memadu kasih bagai singa yang saling kelaparan. Aku hentikan vidionya. Tidak sanggup lagi melihatnya.

Netraku memandang Ayu dengan tatapan sendu. Buliran air mata jatuh begitu saja. Aku hapus dengan kasar. Tidak boleh ada air mata. Sugestiku dalam hati mencoba menguatkan diri.

"Begitulah kelakuan Aryan, dia pembohong kelas kakap. Jadi, jangan percaya dan luluh lagi kepadanya."

Aku tidak tahu, kenapa Ayu begitu memahami seluk beluk Mas Aryan. Namun, biarlah, lidahku Kelu untuk bertanya. Pikiranku kacau. Betapa tega kamu Mas, bukan hanya menyakiti hatiku tapi berencana melukai tubuhku.

"Sudah jangan sedih, percuma kamu menangis atau bersedih, Aryan tidak akan sadar. Kita harus beri dia pelajaran. Buktikan bahwa kamu lebih cerdas darinya."

"Apa rencana selanjutnya, Yu?"

"Kamu akan tahu nanti, sekarang lebih baik kita pulang. Kamu Jangan banyak pikiran, kasian anak dalam kandunganmu. Aku yakin Aryan tidak akan pulang, maka persiapkan dirimu untuk besok."

Aku ikuti semua perkataan Ayu. Mobil, Aku serahkan lagi kepadanya, lalu dia mengantarku pulang. Selama di perjalanan, Ayu menjelaskan rencana kami. Dia memang sangat cerdas. Aku hanya bisa tersenyum puas membayangkan kejutan untuk Aryan.

[Mas, masih sibuk kerja, Eva. Besok pagi baru bisa pulang. Kamu baik-baik di rumah yah, Sayang.]

Pesan Mas Aryan tadi sore yang baru sempat aku baca.

Aku kirim foto sedang tersenyum di kamar. Aryan pasti heran, ketika dia tahu aku bisa lolos dari penculikan yang direncakannya.

[Aku sudah di rumah, Mas. Tenang saja, aku baik-baik di sini. kamu tidak akan bisa menyakitiku. Karena jika itu terjadi, hancur hidupmu.]

[Maksud kamu apa, Evania, aku tidak akan menyakitimu.]

[Hahaha, jangan pura-pura tidak tahu. Aku punya buktinya. Silahkan nikmati malam dengan gundikmu, tapi jangan salahkan aku, jika besok Uwa akan sampai di apartemen itu dan menghajar kalian berdua.]

Aku kirim rekaman cctv yang durasinya sudah di potong. Hanya sebagian saja, tapi bisa membuat  Mas Aryan kena serangan jantung. Sesudah Vidio terkirim, aku blokir nomernya.

Berulang kali Naura menelponku. Beberapa pesan ancaman juga dia kirim. Aku hanya tertawa membayangkan kepanikan mereka.

[Perempuan tidak tahu diri, jangan macam-macam jika kamu masih mau bernapas.]

Aku balas pesannya dengan mengirim foto Naura tanpa sehelai benang pun di dalam pangkuan Aryan. Di tambah caption yang cukup menarik.

[Sebelum napasku berhenti, foto ini akan jadi konsumsi publik.]

Setelah pesan dibaca, aku blokir nomernya.

"Kita tunggu permainan lain yang lebih menyenangkan, Aryan."

Waktunya aku istirahat, besok akan ada pertujukan yang menguras tenaga.

******

Baru beberapa jam mata tertutup, tiba-tiba suara gedoran pintu terdengar sangat kencang.

"Evania, buka!"

"Evania!" Suara teriakan di luar sana sangat memekikkan telinga. Menganggu mimpi indahku saja, menyebalkan. Dengan malas, aku beringsut turun dari kasur dan memakai hijab.

"Evania buka!"

"Ada apa, Mas?" Jawabku dibalik pintu. Sepertinya, tidak usah dibuka. Aku takut Mas Aryan berbuat nekat.

"Buka dulu pintunya!"

"Aku malas, lebih baik kamu pergi dan kembali pada Naura."

"Tolong Evania, dengarkan penjelasanku."

Manusia batu, penjelasan apa lagi yang akan dia katakan. Toh, semuanya sudah jelas. Heran, ota*nya di taruh di mana, sih.

"Terserah kamu, Mas. Tidurlah di teras," ucapku sambil sedikit membuka jendela.

Meskipun jendela dibuka, Mas Aryan tidak akan bisa masuk. Karena setelah lapisan kaca, bagian jendela rumah ini terdapat besi yang menghalangi. Sebuah proteksi yang digunakan untuk menghindari maling. Maklum, rumah Mas Aryan cukup mewah dengan gaya minimalis.

"Evania, ini rumahku, jangan macam-macam kamu."

"Diam!" bentakku, membuat Mas Aryan mematung.

"Jangan berani lagi mengancamku apalagi melukaiku. Jika itu terjadi, hubungan kalian akan hancur. Kembali saja ke tempat gundikmu. Aku tidak melarang."

"Bagaimana aku bisa kembali kepada Naura, semua duitku kamu kuasai. Kenapa ATM kamu juga di blokir, gila kamu Evania. Aku tidak punya uang. Biar aku ambil uangku di berangkas, dan sesudahnya aku akan pergi dari sini." Pantas saja dia kembali, ternyata dia tidak punya uang untuk menyewa hotel lain.

Mas Aryan memang tidak membawa ATM-nya. Namun, diam-diam dia menukar ATM miliknya dengan punyaku. Baru aku sadari ketika ingin membayar makan di cafe tadi. Tanpa pikir panjang, langsung aku telepon call senter bank yang bersangkutan, dan mengatakan bahwa atmku hilang.

"Hahaha, senjata makan tuan untukmu Mas, selamat menikmati tidur dengan cumbuan nyamuk-nyamuk ganas."

Aku tutup jendela. Teriakan Mas Aryan tidak aku hiraukan lagi. Secerdik apapun orang melakukan kejahatan, tetap saja tidak akan bisa mengalahkan kebenaran. Akan selalu ada balasan bagi orang yang berbuat keji dan mungkar.

Bugh!

Bugh!

Belum beberapa lama aku masuk ke kamar. Tiba-tiba suara kerusuhan terdengar jelas di teras depan. Suara Mas Aryan terdengar seperti orang kesakitan dan memohon ampun. Apa yang terjadi? apa ada maling?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
keren ceritamu thoer. ini yg aku suka dg cerita yg istri Syah bar bar dan pinter tidak kalah dg gundik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status