Apa aku gadaikan sertifikat rumah saja ya?“Bagaimana, Ar?”“Kalau sertifikat rumah ibuku kira-kira bisa buat pinjam berapa duit, Jo?”“Jangan terlalu bernafsu, Ar. Pinjam secukupnya, takut nanti tidak bisa bayar nyaho, lo!”“Halah...! ‘Kan kamu tau sendiri gaji aku itu gede. Pasti bisalah bayar angsuran doang mah! Yang penting angsurannya jangan terlalu besar!”“Ya sudah. Aku hubungi temen dulu, nanti kalo udah deal, aku langsung kabari kamu. Gimana?”“Aku butuh cepet, Jo. Kalo bisa besok ato lusa!”“Kamu itu hidup susah dibikin sendiri. Udah enak-enakkan hidup sama Nirmala, malah bertingkah. Padahal apa sih kurangnya dia. Cacat juga kamu sendiri yang bikin!” Dia menggeleng kepala.“Jangan sampai rahasia aku bocor, Jo. Masalah ini juga. Apalagi kalau Siska istri baruku tau tentang statusku. Bisa ditinggalin aku sama dia!”“Aku nggak mau ikut campur urusan lain, Ar.”“Ya sudah. Aku pamit balik. Jangan lupa kabari segera. Nggak pake lama, jangan sampai aku dipermalukan!”Jojo hanya dia
Ragu-ragu berjalan menghampiri Nirmala yang tengah asik bercengkerama dengan Pak Irsyad, menyapa perempuan yang masih menyandang status sebagai istriku itu tapi ekspresinya terlihat begitu datar seolah tidak mengenali diriku. "Kamu ke mana saja, La? Mas nyariin kamu dari kemarin. Mas kangen," ucapku dengan suara bergetar, apalagi ketika Pak Irsyad menatap tajam serta tidak suka ke arahku. "Kamu kenal sama laki-laki itu, La?" tanya pria dengan tuksedo hitam itu kepada Nirmala. "Enggak, Kak!" Nirmala menggeleng. "La, kamu boleh marah dan kecewa sama Mas. Tapi tolong jangan begitu. Kamu itu istrinya Mas. Masa malah bilang nggak kenal sama Mas?!" protesku kesal. "Arya. Kamu jangan kurang ajar sama pacar saya, atau nanti saya pecat!" "Pak, Bapak ditipu sama perempuan ini. Dia sudah menikah dengan saya setahun yang lalu. Bapak jangan percaya sama dia. Dia bukan perempuan baik-baik!" Buk!! Sebuah tinju mendarat di rahang. Aku meringis kesakitan sementara Nirmala hanya menatap tanpa m
Jojo lekas mengayunkan kaki meninggalkan aku juga Ibu, sementara Pak Handoyo terlihat sedang sibuk menghubungi seseorang. "Baik, Bu. Sudah saya lakukan sesuai perintah Ibu. Iya, nanti saya antarkan ke rumah Ibu!" sekilas indra pendengaranku menangkap percakapan laki-laki gendut itu dengan seseorang. Mungkin dengan rekan bisnisnya, atau... Sudahlah. Bukan urusanku dia berbicara dengan siapa. Yang penting aku sudah mendapatkan uang untuk menyelesaikan masalah yang tengah membelenggu, meski dengan cara membuat masalah baru. Ini yang disebut menyelesaikan masalah dengan masalah. "Ayo, Ar. Kita mampir ke toko perhiasan dulu. Ibu udah nggak sabar pengen beli cincin baru!" ajak Ibu seraya menggandeng tanganku. "Besok saja lah, Bu. Aku sudah kangen berat sama Siska. Aku mau langsung pulang!" tolakku karena sudah tidak sabar ingin bertemu istri baru. Rindu rasanya dua hari satu malam tidak bertemu dengan dia. Ketika sampai di parkiran. Beberapa orang bertubuh tinggi besar berdiri mengelil
Tidak bisa. Aku bukan boneka yang bisa dimainkan oleh siapa saja dengan seenaknya. Lebih baik sendiri, menata hidup yang sudah terlanjur berantakan dan mencoba untuk mencari terapis yang baru agar aku bisa berjalan kembali.Mobil milik Kak Irsyad menepi di depan rumah yang aku tinggali. Dia lalu membuka pintu kendaraan roda empatnya, mengeluarkan kursi roda milikku dari bagasi dan tersenyum ramah ketika Bi Sarni membuka pintu garasi.“Bi, tolong bawa kursi rodanya masuk!” perintah laki-laki bertubuh tinggi itu kepada embanku.“Kamu sengaja meledekku, Kak. Sudah tau aku tidak bisa jalan, cacat, tapi malah kursi rodanya disuruh dibawa masuk. Aneh!” sungutku kesal.Tanpa menjawab pertanyaan dariku dia langsung membopong tubuh ini, membawaku masuk ke dalam sehingga aku bisa menghidu aroma maskulin yang dulu selalu aku rindukan. Ia lalu merebahkan tubuhku di atas ranjang, mengusap lembut rambut ini sambil mengunci netraku dengan tatapannya.Jujur, berada di dekat Kak Irsyad getaran di hati
“Apa kamu bisa antar saya ke rumah anak itu sekarang, Vir?” “Besok saja, Mbak. Tadi ‘kan Mbak Lala habis pergi sama Pak Irsyad. Saya takut Mbak Lala kecapean. Nggak tega liatnya!” Aku menghela napas. Benar juga sih, apa yang dikatakan Virgo. Aku tidak boleh terlalu memaksakan diri, supaya lekas sehat dan bisa kembali berjalan.“Mbak, besok ke lapangan yuk. Dulu ibu saya juga sakit kaya Mbak Lala. Tapi dia rajin belajar jalan tiap pagi, nginjek rumput yang masih berembun sambil berjemur, alhamdulillah sekarang ibu udah bisa jalan. Tapi ya dibarengi tetapi juga sih!” ajak Virgo dan sepertinya aku berminat. Siapa tahu dengan cara terapi seperti itu lama-lama bisa jalan. ‘Kan tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.“Oke. Jam berapa?” tanyaku mantap.“Jam enem, Mbak. Besok setengah enem saya jemput. Bagaimana?”“Oke. Saya setuju.”Laki-laki berambut cepak itu menerbitkan senyuman.“Bayaran kamu saya transfer sekarang, ya Vir!” “Siap, Mbak. Saya minta lima ratus ribu s
“Ya sudah. Kita pulang sekarang!” Tanpa dikomando pria berusia dua puluh lima tahun itu segera membopong tubuhku, dan aku mengalungkan tangan di leher Virgo sambil melempar senyum nakal, persis seperti wanita kurang belaian kasih sayang yang suka menjajakan tubuh di pinggir jalan.Biarlah. Semua kulakukan demi mengobati luka hatiku. Karena dalam sanubari ada kepuasan tersendiri melihat pengkhianat itu marah dan terbakar cemburu.Mungkin dia pikir saat ini aku sedang meratapi nasib dan menangisi kepergiannya. Kamu salah, Mas. Terlalu mahal air mataku buat menangisi suami tidak setia seperti kamu. Aku sudah biasa dilukai sejak kecil. Dari ditinggal oleh wanita yang menyandang gelar sebagai ibu, tidak diakui oleh dia, dan sekarang diduakan oleh kamu. Hatiku sudah kebal.Ekor mataku terus melirik ke arah suami yang sedang berdiri mematung di samping selingkuhannya. Kepalan tangannya terlihat semakin erat sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa melihatku bersama laki-laki lain.Dasar cem
“Lho Mas Arya kok belum jalan? Mana mobilnya? Nggak pernah keliatan?” sapa tetangga ketika melihatku sedang berdiri di depan pagar menunggu taksi yang kupesan.“Dibegal, Bu. Kemarin pas dari luar kota. Tapi lagi beli yang baru, kok. Tinggal nunggu datang!” jawabku berbohong juga sedikit menyombong.“Astaga...Saya turut prihatin ya, Mas.”“Terima kasih, Bu.”“Omong-omong sudah lapor polisi belum Mas Ar?”“Tidak perlu lah, Bu. Ribet. Mobil nggak kembali, tapi malah buang-buang waktu saya. Tidak masalah mobil saya ilang. Toh, masih bisa beli yang baru!”“Duh! Mantap. Coba anak saya udah ada yang gede. Saya angkat mantu kamu, Mas!”Aku membusungkan dada, merasa bangga jika dipuji tetangga seperti itu.Lamat-lamat kulihat Siska tengah berlari-lari kecil diikuti oleh bapak-bapak komplek sambil bercengkerama juga bercanda ria. Mata para bapak terlihat menyusuri tubuh istri yang berpakaian serba pres di badan sehingga membuat siapa saja yang melihatnya terpesona karena kecantikan alami yang d
“Kamu kenapa malah duduk di lantai kaya anak kecil, Arya? Saya membayar kamu bukan untuk berlaku kekanakan. Tapi untuk kerja!” sentak Pak Irsyad dengan tatapan tajam bak harimau lapar. Dasar bujang lapuk.“Ma—maaf, Pak. Saya tiba-tiba lemas. Belum sarapan!” Mencoba berdiri tegak mesti kaki terasa gemetar.Pak Isyad lalu segera mengayunkan kaki meninggal diriku sendiri di lobi.Ah, sial. Malu sekali aku. Sudah sok-sokan nunjukkin foto si Nirmala sama selingkuhannya malah nggak digubris. Memang kalau sudah cinta dan bucin, orang salah juga tetap terlihat benar. Batu kali saja terlihat seperti berlian di matanya. Namanya juga lagi tergila-gila. Tapi coba lihat saja nanti jika kedok Nirmala terbongkar. Pasti dia akan menyesal tidak mendengarkan aku.Masuk ke dalam ruangan, duduk di kursi singgasanaku lalu menyalakan laptop, mengerjakan tugas yang tiada pernah ada habisnya sambil sesekali berbalas pesan dengan sang bidadari hati.Jak