Share

Part 4

Mendadak dadaku bergemuruh tidak karuan membayangkan jika ternyata Nirmala tidak ada. Bisa mati aku.

Duh! Lala. Kamu ke mana sih?

Merogoh saku celana, mengambil ponsel mencoba menghubungi nomor istri, tetapi tidak aktif.

Ya salam...

Kepanikan mulai kurasakan ketika sudah hampir setengah jam menekan bel tapi tidak kunjung ada yang membukakan pintu. Jantung ini semakin mengentak kuat, seperti ingin lepas dan terhempas dari raga.

Aku menguyar rambut frustrasi. Stres, khawatir, takut malu, itu yang sedang kurasakan saat ini.

Sekali lagi menekan bel rumah, berharap Nirmala keluar sambil menerbitkan senyuman lalu mengajakku masuk kemudian memberikan uang setelah kupuaskan.

Hening. Hanya angin yang menyapa, membelai kulit seolah sedang menertawakan diriku.

S*al!

Argh!!!

Bisa gila mendadak aku kalau begini.

“Cari siapa, Mas? Mbak Lala ya?” tanya seorang tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah.

“Iya, Bu. Tapi dari tadi nggak ada yang bukain pintu. Kira-kira pada ke mana ya penghuninya?”

“Memangnya Mas Arya nggak tau? Mbak Lala ‘kan sudah pindah kemarin.”

“Pi—pindah?”

“Iya, Mas.”

“Ke mana, Bu?”

“Saya kurang tau. Soalnya Mbak Lala dan Bi Sarni tidak bilang apa-apa sama saya!”

Aku menelan saliva dengan susah payah. Mendadak napas ini terasa sesak, seperti terhimpit batu besar serta hampir tidak bisa bernapas. Tubuh ini lemas seketika dan merosot tanpa disadari.

Duduk bersandar di body mobil, aku menjambak rambut sendiri. Frustrasi.

Sebenarnya ke mana perginya istri pertamaku? Kenapa dia tidak pamit kepadaku?

Ponsel dalam genggaman tiba-tiba berdering nyaring. Ada panggilan masuk dari Siska istriku tercinta.

Kira-kira ada apa ya?

Segera kugeser kutekan ikon hijau, menyapa bidadari hatiku, menanyakan ada apa dia sudah menghubungi. Padahal belum ada sehari kami berpisah, tetapi sepertinya dia sudah merindukan suaminya ini.

Emang Siska ini wanita paling sempurna dan berhati malaikat yang pernah aku temui, meskipun aku bukan yang pertama untuk dia tapi, setidaknya sikap manisnya sudah membayar semua kekurangan yang dia miliki.

Lagian, kehilangan selaput dara itu bukan serta merta karena pernah berhubungan. Bisa jadi dia pernah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kehilangan mahkota paling berharganya itu.

“Ada apa, Sayang? Kangen ya?” sapaku semanis mungkin, supaya Siska juga merasakan apa yang sedang kurasa saat ini.

“Emm ... belum kangen, sih. ‘Kan baru beberapa jam berpisah.” Jawaban istri membuat hati ini mendadak perih laksana sedang tertancap ribuan panah Pandawa Lima yang mematikan Bisma secara perlahan.

Aku sudah gede rasa serta bahagia setengah mati, eh, malah dia bilang belum rindu.

Lantas, untuk apa dia menghubungi kalau tidak kangen?

“Mas, transfer uang sekarang ya. Dua juta. Aku lagi di salon, pengen manjain tubuh supaya nanti pas kamu pulang pangling dan tambah cinta sama aku!”

Aku menelan ludah dengan susah payah. Kepala saja rasanya sudah mau pecah karena tidak berhasil menemui Nirmala, sekarang dia malah minta uang dua juta.

Tuhan, berat sekali cobaan yang mendera hidupku saat ini. Semoga segera menemukan jalan keluar dan bisa membayar semua hutang yang melilit.

“Mas, kamu dengar nggak sih? Transferin aku uang sekarang ya? Aku tunggu!” katanya lagi.

“Apa, Dek? Halo...Dek? Halo...” Aku pura-pura tidak mendengar dan buru-buru mematikan sambungan telepon juga menonaktifkan ponsel.

Sekarang aku tidak tahu harus ke mana dan bagaimana. Kalau langsung pulang Siska akan curiga dan merajuk jika tidak kuberikan uang kepadanya. Tapi kalau terus-terusan di jalan seperti ini, aku bisa kelaparan dan kehausan. Sementara di rekening hanya tersisa seratus ribu saja.

Lebih baik aku mendatangi rumah Jojo dan meminta dicarikan solusi olehnya. Dia ‘kan punya banyak kenalan. Siapa tahu ada salah satu temannya yang mau meminjamkan uang kepadaku.

Sambil merapalkan doa menyalakan mesin kendaraan roda empat milikku, membelah jalanan kota Mangga menuju kediaman Jojo. Aku disambut ramah oleh pria berambut kribo itu dan langsung dibuatkan kopi sebagai ucapan selamat datang.

Padahal, aku sangat berharap dia menyuguhi nasi Padang karena perut sudah terasa lapar. Nasib...nasib.

“Ada apa Ar. Tumbenan mampir?” tanya Jojo setelah kami sama-sama duduk di ruang tamu.

Setelah berbasa-basi sebentar kuceritakan semua masalah yang menimpa, dari A sampai Z supaya dia mengerti dan bisa memberikan solusi.

“Kamu bisa bantu carikan pinjaman tidak, Jo. Seratus juta saja kalo ada. Kalo nggak ada tujuh puluh lima juga nggak apa-apa. Yang penting aku nggak malu karena nggak bisa bayar WO dan bisa nurutin kemauan istri baru aku,” kataku penuh harap.

Jojo menghela napas panjang lalu membuangnya secara perlahan. Dia terlihat berpikir, mengusap wajah lalu menyenderkan punggung di penopang kursi.

“Lagian kamu, Ar. Mbok ya kalo belum mampu itu nggak usah sok-sokan poligami. Kamu hidup saja masih pas-pasan. Nyari duit masih ngos-ngosan dan kalau nggak ada Lala kamu nggak bisa apa-apa. Eh, pake bergaya punya istri dua. Sekarang kamu bingung sendiri ‘kan? Makanya hidup itu mendingan ngukur kemampuan saja, Ar. Nggak usah banyak tingkah, biar nggak tambah susah!” Bukannya memberi solusi malah ceramah panjang lebar. Dasar kawan tidak ada guna.

“Kamu mau bantuin aku apa enggak?!” tanyaku mulai emosi.

“Agak susah cari pinjaman segitu, Ar. Kecuali kamu punya sertifikat rumah atau surat-surat lainnya. Misal BPKB gitu. ‘Kan mobil kamu bagus, tuh. Kayaknya tipe mobil seperti ini masih bisa buat jaminan pinjaman uang tujuh puluh jutaan sampai seratus, asal ada BPKB-nya.”

Kini giliran aku yang menghela napas dalam-dalam, sebab buku pemilik kendaraan bermotornya ada sama Nirmala.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
siti fhia
sekeluarga ga tau malu si arya
goodnovel comment avatar
Putri Leo
Bilang Siska yg terbaik,gk salh tu
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Hati malaikat ndasmu. Matre sama kayak lu sekeluarga iya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status