Share

Part 8

Tidak bisa. Aku bukan boneka yang bisa dimainkan oleh siapa saja dengan seenaknya. Lebih baik sendiri, menata hidup yang sudah terlanjur berantakan dan mencoba untuk mencari terapis yang baru agar aku bisa berjalan kembali.

Mobil milik Kak Irsyad menepi di depan rumah yang aku tinggali. Dia lalu membuka pintu kendaraan roda empatnya, mengeluarkan kursi roda milikku dari bagasi dan tersenyum ramah ketika Bi Sarni membuka pintu garasi.

“Bi, tolong bawa kursi rodanya masuk!” perintah laki-laki bertubuh tinggi itu kepada embanku.

“Kamu sengaja meledekku, Kak. Sudah tau aku tidak bisa jalan, cacat, tapi malah kursi rodanya disuruh dibawa masuk. Aneh!” sungutku kesal.

Tanpa menjawab pertanyaan dariku dia langsung membopong tubuh ini, membawaku masuk ke dalam sehingga aku bisa menghidu aroma maskulin yang dulu selalu aku rindukan. Ia lalu merebahkan tubuhku di atas ranjang, mengusap lembut rambut ini sambil mengunci netraku dengan tatapannya.

Jujur, berada di dekat Kak Irsyad getaran di hati masih ada. Aku masih menyimpan setitik rasa cinta di dalam sanubari, karena memang pernikahanku dengan Mas Arya dulu bukan didasari oleh cinta. Mas Arya datang bagai malaikat tanpa sayap, yang melengkapi hidupku juga menghidupkan kembali harapanku yang patah dan menyediakan bahu untuk bersandar.

Aku berusaha menjadi istri yang baik juga berbakti, memberikan apa saja yang dia mau, sebagai ungkapan rasa terima kasih karena telah menerima diriku yang tidak sempurna.

Namun, nyatanya cinta yang selalu dia gaungkan, kata-kata yang selalu terucap dari mulut manisnya semua hanya dusta belaka. Dia hanya memanfaatkan diriku, menikahiku karena uang, bukan karena cinta. Sakit rasanya diperlakukan seperti itu oleh para lelaki.

Dan siapa pun orang yang sudah membuatku menjadi cacat seperti ini, aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan, supaya kelak mendapatkan balasan yang setimpal supaya bisa merasakan apa yang aku rasa. Bahkan mungkin mendapatkan balasan yang lebih menyakitkan.

Andai saja dia mau bertanggungjawab dan tidak langsung kabur meninggalkan diriku yang terkapar tidak berdaya di tengah jalan. Jika saja pelaku itu membawaku ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan, mungkin saat ini aku sudah bisa jalan karena mendapatkan penanganan lebih cepat juga tepat. Tetapi bed*bah itu langsung kabur meninggalkan diriku setelah menabrak tubuh ini hingga terpental, bahkan aku saja tidak sampai melihat siapa yang melakukannya, juga pelat kendaraan yang dia gunakan.

“Kamu kenapa melamun, La. Apa masih memikirkan Arya? Aku bisa memecatnya kalau kamu mau!” ucap Kak Irsyad membuyarkan lamunanku.

“Tidak perlu. Aku ingin bermain cantik dengan dia. Jangan Kakak pecat dia dari pekerjaan, karena aku masih ingin bersenang-senang dengan pengkhianat itu!”

“Ya sudah. Aku pulang dulu. Kalau butuh sesuatu jangan sungkan hubungi aku, La. Aku akan setia membantu kapan pun dan jam berapa pun.”

Aku menerbitkan senyuman. Kak Irsyad kembali mengusap rambutku, mencondongkan tubuh hendak mendaratkan ciuman tetapi aku segera mendorong tubuh kekar itu menjauh.

“Maaf, La. Aku Cuma terbawa suasana!” lirih Kak Irsyad.

Dua bulat beningnya mengisyaratkan luka serta cinta yang teramat dalam, juga rindu yang belum sepenuhnya ia curahkan.

“Ya sudah. Aku pulang. Besok aku ke sini lagi.”

Aku diam tidak menyahut, takut terbawa perasaan hingga akhirnya kembali jatuh juga sakit seperti dulu.

Kak Irsyad beranjak dari duduknya lalu mengayunkan kaki meninggal aku sendiri di dalam kamar.

Ponsel di dalam tas terdengar berbunyi nyaring. Ada panggilan masuk dari Virgo—orang yang aku suruh memata-matai suami serta istri barunya. Aku juga membayar beberapa orang lagi untuk membantu menghancurkan Mas Arya serta gundiknya itu.

Dia berani bermain api, maka dia sendiri yang akan terbakar perlahan, hangus menjadi abu.

“Ada info apalagi, Vir?” tanyaku sambil meluruskan kaki yang terasa nyeri.

“Saya ada informasi bagus tentang Siska, Mbak. Tapi sepertinya tidak mungkin kalau saya bicarakan lewat sambungan telepon!” jawab Virgo terdengar serius.

“Ya sudah. Kamu ke rumah saja, Vir. Saya tunggu!”

“Baik, Mbak.”

Lekas memanggil Bi Sarni untuk membawakan kursi roda ke kamar, berdiri dengan kedua tangan bertopang pada meja lalu duduk di atas kursi roda dan keluar dari kamar.

Tidak lama kemudian terdengar suara sepeda motor orang suruhanku masuk ke pekarangan rumah. Seraut wajah tampan dengan senyum khasnya muncul, memberi salam lalu menghampiri diriku dan segera duduk setelah kupersilakan.

“Ada info apa, Vir?” tanyaku penasaran.

“Ini, Mbak!” Dia menyodorkan beberapa lembar foto wanita yang terlihat tidak asing di mata, mirip seperti Siska tapi dia begitu berbeda. Hidungnya pesek dan kulitnya gelap serta kumal. Sementara yang aku lihat kemarin di pelaminan, Siska begitu putih juga cantik. Tubuhnya juga langsing bak gitar spanyol, hampir tidak ada cela dari fisiknya.

“Kenapa kamu ngasih foto ini sama saya? Siapa dia, Vir?”

“Siska sebelum operasi plastik. Dia itu cantiknya nggak alami, Mbak. Dia juga ternyata punya satu anak, tapi tidak diakui. Siska mengaku masih single dan Mas Arya tidak tau kalau cantiknya Siska hasil operasi plastik. Ini fotonya anaknya, dan saya juga punya alamat anak itu.”

Bagus. Akan kugunakan anak itu untuk menghancurkan Siska juga Mas Arya. Aku juga akan membongkar kedok Siska secara perlahan, menunjukkan seperti apa wajah asli istri baru suamiku itu.

Kasihan sekali kamu, Mas. Membuang berlian demi seonggok sampah buruk rupa. Tapi Laki-laki sampah memang pantas bersanding dengan perempuan sampah pula.

Sekarang kamu boleh senang dan menganggap istri kamu bidadari yang sempurna. Tapi aku pengen tau reaksi kamu setelah tau wajah Siska sebenarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status