Share

Remorse
Remorse
Author: ajengpttry

Perihal Obsesi

Ada rasa yang tak bisa diutarakan, ada benci yang tak bisa diungkapkan.

“Ayolah, kamu terlihat seperti wanita bodoh yang terobsesi dengan seorang pria,” celetuk salah seorang gadis yang tengah duduk melingkar.

“Bukan terobsesi tapi mencintai!” Jawab Nadya menyangkal.

“Berjuang sendiri itu bukan cinta namanya!” Balas Siska lagi, gadis yang sedari tadi duduk di samping kirinya.

Mendengar hal itu entah kenapa membuat perasaan Nadya berdenyut nyeri menerima fakta yang terjadi. Kata sederhana yang mampu mengukir sebuah luka. Dia tau betul bahwa temannya itu tidak berniat untuk menyakiti perasaannya. Namun yah, hati kecilnya tidak akan pernah bisa mengelak.

“Mengapa kisah cintaku harus berakhir seperti ini?” Batinnya tersenyum miris.

“Dan kenapa juga aku harus mencintainya saat itu?” Nadya tertawa hambar menikmati segala bentuk penyesalan. Pikirannya pun kembali berputar pada kisah yang amat sangat kentara jelas dalam ingatannya. Kisah dimana dia mulai berharap akan cinta dari seorang pria pujaannya. Hari pertama pembelajaran baru pun seolah menjadi saksi bisu kekagumannya.

Teeeng...

Bel berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah. Nadya berlari cepat melewati berbagai ruangan yang tampak sudah cukup ramai. Karena terlambat ia pun harus bersedia menduduki kursi yang masih tersisa.

“Untung belom mulai,” gumam Nadya pelan sembari mengontrol deru nafasnya.

Tiba-tiba seorang guru berkacamata tebal datang sambil membawa setumpuk buku dan duduk di kursi tunggal samping kanan papan tulis tak bernoda.

“Haaa kenapa harus fisika diawal pelajaran sih.” Nadya meremas pelan rambutnya sambil merutuki nasib malangnya.

“Aku benar benar tidak ahli dalam hal ini.” Tangan Nadya bergerak menghempas buku buku yang sudah beberapa saat lalu mendekap di tas ranselnya.

“Aku bahkan tidak mengerti kenapa sekolahku ini langsung menjalankan pembelajaran dihari pertama.” Tatapan tajam Marisa yang sedari tadi memperhatikan anak didiknya itu kini memandang sosok Nadya dengan kedua mata elangnya.

“Kamu!” Tunjuknya menggunakan spidol yang baru saja keluar dari tempat tinggalnya.

“Ah maaf bu,” ucap Nadya cepat sembari menundukkan kepalanya sopan.

****

Tanpa terasa waktu berjalan dengan amat sangat cepat. “Akhirnya selesai juga!” Nadya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dengan senyuman merekah diwajahnya. “Senangnya sudah berakhir,” lontarnya lagi dengan tangan yang terus saja bergerak membereskan buku-bukunya asal. Ia berniat pergi meninggalkan rungan yang penuh dengan rumus itu.

Nadya berjalan dengan bahagia sambil memikirkan apa yang ingin dimakannya hari ini. Tak lama sebuah suara terdengar nyaring memanggil nama indahnya.

“Nadya!”

Kaki yang sedari tadi melangkah itu pun seketika terhenti dan berbalik. Lengkungan indah kembali terbit dengan hangatnya. Ia berdiam diri menunggu kedatangan seorang gadis berambut hitam legam yang sedari tadi memanggil namanya.

“Lelet ih,” gerutu Nadya menarik pelan lengan kanan Frida, sahabatnya.

Dia dan Frida memang mulai berteman sejak pertama kali menginjakan kaki disekolah ini. Meski keduanya selalu mendapatkan kelas yang berbeda tetapi tak menjadi penghalang untuk hubungannya yang malah semakin akrab.

Sekarang Nadya sudah menginjakkan kakinya dikelas dua SMA. Tak usah ditanya, dirinya sendiri pun bahkan tidak menyangka sudah sebesar ini.

Setelah berjalan melewati beberapa ruangan, akhirnya kedua insan tersebut sampai ketempat tujuan. Mereka bergegas duduk di kursi yang tidak memiliki penghuni.

“Mau pesen apa?” Tawar Frida setelah mendaratkan bokongnya.

“Nasi goreng sama teh dingin aja,” jawab Nadya setelah menentukan pilihannya.

Dalam sekejap Frida pun menghilang, memesan makanan yang akan menjadi menu keduanya.

“Dia lama sekali!” Nadya bergumam pelan setelah menunggu beberapa saat. Yah tentu saja, sekolah ini merupakan salah satu dari beberapa sekolah ternama dan pastinya banyak siswa yang bersekolah disini. Mungkin itulah yang menjadi alasan utama mengapa dikantin mereka harus sabar mengantri.

Setelah lama menunggu, akhirnya Frida datang membawa nampan berisi makanan yang mereka pesan. Dari aromanya saja sudah membuat Nadya mabuk kepayang. Tanpa diperintah sekalipun, kini tangannya sudah bergerak menyendokkan nasi coklat itu kedalam mulutnya dengan lahap.

“Kamu belum makan?” Tanya Frida setelah berhasil menelan makanan yang baru saja dikunyahnya.

“Hm,” gumaman kecil keluar dari mulutnya sebagai jawaban. Tak ingin berbicara karena perutnya sudah sangat kelaparan.

“Pantes, lihat tuh piringmu tak ada sedikitpun noda.”

“Mubajir kalo disisain,” jawab Nadya santai menanggapi ledekan sahabatnya yang masih sibuk mengunyah itu.

“Bagaimana kelasmu? Menyenangkan?” Mulut Nadya kembali terbuka setelah pergi menjauh dari riuhnya suasana kantin.

“Ya gitu deh,” Frida berucap acuh tanpa ekspresi. Namun tak lama ia kembali bersuara dengan nada ketusnya. “Kamu tau gak sih, aku sekelas lagi sama si biangkerok itu.”

“Mira maksudnya?” Nadya mengangkat satu alisnya bingung.

“Iya, emangnya siapa lagi kalo bukan dia, aish benar-benar menyebalkan!" Rutuk Frida lagi sembari menendang udara disekitarnya.

“Yaudahlah, toh kisahnya aja udah berlalu.”

“Gak bisa! Dia itu udah rebut pacar aku”

“Pokoknya aku mau bales dia!” Ungkap Frida dengan sungguh-sungguh.

“Terserah kamu deh, yang penting aku udah ngasih tau ya,” malas Nadya memperpanjang permasalahan yang mungkin saja kembali meledak.

“Kamu gak akan bela Mira kan?” Mata tajam Frida pun melirik gadis yang masih setia melangkahkan kakinya.

“Ya enggalah!”

“Lagian aku juga gak mau masuk dilingkarkan itu lagi kali!” Entah kenapa Nadya merasa kesal sendiri mengingat hal yang baru saja ia maksudkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status