Share

BAB 5

Setelah mendengar jawaban Iris, orang pertama yang bersuara adalah Eliath, kepala pengurus rumah tangga, yang sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan kegembiraannya. “Apakah berita bahagia ini akan diumumkan ke seluruh Adorien, Yang Mulia Duke?”

Eras dan Iris menoleh ke arah Eliath. Eras bersumpah bahwa di sekitar Eliath seperti ditumbuhi bunga-bunga mekar dan wajah tua itu tersenyum lebar dengan tatapan mata berbinar. Tak hanya reaksi Eliath yang luar biasa, ruang makan yang biasanya tak ada yang berani mengintip sekalipun terlihat pintunya terbuka lebar dan kepala kesatria Adorien berada paling depan, membentuk hormat dengan menekan sebelah tangan di dada, berkata dengan tegas.

“Ini berita yang menggembirakan Tuan Duke. Saya dan kesatria lainnya akan siap melindungi Duchess seluruh jiwa raga kami.”

Iris segera bangkit berdiri dan menggerakkan tangannya. Ia tidak menyangka bahwa jawabannya kepada Duke Adorien akan mendapatkan reaksi seperti ini. “Saya belum menjadi Duchess…”

Tiba-tiba bahunya direngkuh oleh Duke Adorien yang menjulang dan besar, yang berdiri tepat di sebelahnya. “Tentu saja seluruh isi istana ini akan melindungi dan melayani Nyonya.” Eras menyapu seluruh wajah yang berada di hadapannya. Semua menundukkan kepala dengan hormat.

Iris mendongak dan berkata cepat. “Anda tidak bisa menentukan secepat ini Yang Mulia.” Bukankah tadi hanya sekadar jawaban mengapa Duke terlihat begitu bersemangat? Apakah memang ada rencana ingin membunuhnya secepat ini?

Duke Adorien menunduk, menatap sepasang mata Iris. “Kau memberi jawaban bersedia, Iris.” Sudut bibir Eras terangkat, membentuk seringai kecil. Betapa sulitnya bagi Eras untuk tersenyum selama ini, tapi kini urat wajahnya seakan begitu sembrono bergerak sendiri membentuk senyuman jika di hadapan Iris.

Pemandangan itu tak luput dari mereka yang selama ini berada di sisi Duke Adorien. Melihat sang Duke berdarah dingin itu bisa tersenyum kecil bagaikan sebuah anugerah apalagi bagi Eliath yang sudah mengasuh Duke dari kecil. Bagaimanapun Nona Iris HARUS menjadi Duchess Adorien! Demikian tekad Eliath.

Ya, Iris sudah menjawab dengan senang hati atas lamaran sang Duke. Tapi itukan demi penyelamatan diri, keluh Iris. Ia balas menyeringai pada sang Duke yang tampak amat bersinar sampai rasanya silau mata Iris saat menatapnya.

Eras meraih pinggang Iris dan menuntun gadis itu agar mengikutinya. Kepada semuanya ia berkata datar. “Kami akan berbincang di ruang kerjaku. Selamat malam semuanya.” Dan tanpa mendengar jawaban mereka, Eras membimbing Iris keluar dari ruang makan dan berjalan bergandengan menuju ruang kerjanya yang berada satu tingkat di atas ruang makan.

Selama dalam perjalanan menuju ruang kerja, mereka hanya diam saja dan kesempatan itu dimanfaatkan Iris memperhatikan sekeliling. Istana Adorien sangat indah. Perabotannya kualitas terbaik, pilar-pilarnya kokoh dan berseni, setiap lorong dipasangi lampu lilin gantung yang terbuat dari kristal berkilau serta tata letak yang demikian mewah. Selagi memuji dalam hati atas keindahan istana Adorien, mata Iris melihat sebuah pajangan peri yang amat cantik di bagian sudut tangga melingkar. Bukan pahatannya yang membuat Iris berseru memuji melainkan bagaimana benda itu melayang di udara seakan berdiri di atas sesuatu yang tak tampak.

“Waah, cantik sekali!” Iris menutup mulutnya saat langkah Duke Adorien terhenti karena mendengar seruannya.

“Apanya yang cantik?” Eras menunduk dan mencari hal yang menarik perhatian Iris.

“Pahatan peri itu.” Iris menunjuk ke arah objek yang dimaksud. Ia mendongak dan bola matanya berbinar. “Bagaimana bisa benda itu melayang di udara?”

Eras mengikuti arah telunjuk Iris dan meraih pahatan yang dimaksud Iris. “Ini?” ia mengacungkan benda itu. “Ini berasal dari batu sihir yang dipahat menjadi bentuk peri. Benda ini berfungsi sebagai alat mata-mata jika ada hal buruk yang terjadi di istanaku.”

Iris menggosok kedua tangannya. “Oh, begitukah? Cantik sekali.” Dia kagum sekali dengan kediaman Duke semenjak ia menemukan pixie yang berkeliaran di taman istana.

Eras menyentuh bagian muka peri dan terlihat cahaya kuning keemasan memancar. Cahaya itu memancing cahaya lainnya untuk memancar dari segala penjuru. Pahatan serupa ternyata berada di tiap sudut istana di sepanjang lantai itu. Dari cahaya itu terlihat bayangan situasi keamanan istana Adorien dari segala penjuru. Ada beberapa orang dayang, pelayan dan kesatria yang tampak hilir mudik menjaga istana. Mereka bekerja dan berbincang, tanpa terlewat sedikitpun dari pengamatan Duke melalui pahatan peri.

“Waaah!” Iris berseru takjub. Itu adalah sihir yang hebat. “Bagaimana jika ada hal buruk?”

Eras melepaskan kembali pahatan itu dan menatap Iris. “Cahayanya akan berubah menjadi merah dan mengirim sinyal kepada batu sihir yang ada di setiap pedang milik para kesatria.”

“Termasuk pedang anda?” Iris tampak bersemangat.

Eras menatap Iris. “Ya.” Ia melihat mulut ternganga Iris. Ia membungkuk sedikit. “Kau menyukai benda ini?”

Iris mundur selangkah dari kedekatannya dengan sang Duke. “Ah, saya hanya…”

“Aku akan memberikan apa saja yang kamu sukai. Pahatan peri yang lebih baik dari ini akan kamu terima besok pagi sebagai hadiah.” Eras menyodorkan sikunya. “Ayo, ruang kerjaku di sana.”

“Ah, bukankah itu membutuhkan waktu lama untuk memahatnya.”

Eras melirik Iris. “Aku orang yang berkuasa dan sangat kaya raya.” Sinar matanya memancarkan kepercayaan diri yang luar biasa.

Jawaban singkat yang tak bisa dibantah itu membuat Iris bungkam. Ya, Duke Adorien tentu sangat kaya raya. Ia pemilik wilayah luas ini dan Iris hanya butuh diam saja, melihat dan menikmati cara Duke memanjakannya seperti yang dikatakannya saat mereka minum teh tadi sore.

Duke Adorien membuka pintu ruang kerjanya, menarik halus tangan Iris dan berkata ringan di atas kepala Iris. “Silakan masuk ke ruang kerjaku.” Ia menutup pintu dan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Nantinya kau bebas menemuiku di mana saja termasuk di ruangan ini.”

“Eh?” Iris menatap bingung.

“Istana dan isinya adalah milikmu. Kau juga bisa mengambil waktuku sebebas apapun yang kau inginkan.”

Astaga! Apakah ini benar-benar pria yang sama seperti malam itu? Iris berulang kali merasa terkejut akan apa yang terjadi pada dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status