Share

BAB 2

Iris dan Eras duduk berhadapan di salah satu taman yang ada di istana itu. Di bagian barat istana, terdapat taman bunga di antara taman-taman lainnya. Bahkan Iris melihat ada istana kecil yang indah lengkap dihiasi tanaman mawar yang merambat. Untuk ukuran seorang petarung di medan perang, Duke Adorien mengurus istananya benar-benar apik dan sangat indah. Untuk mencapai taman bagian barat saja Iris harus melewati istana utama yang memiliki 102 ruang, tentu saja itu adalah penjelasan singkat sang Duke untuk memecah keheningan mereka selama dalam perjalanan ke taman. Kini duduk berhadapan dengan Eras, di kelilingi taman indah dan udara sore yang cukup hangat membuat Iris mengagumi sekitarnya. bahkan meja minum teh dan peralatan minumnya saja tak luput dari perhatian Iris yang merupakan seorang puteri. Ia memerhatikan dengan seksama dan bergumam dalam hati. Ini peralatan yang luar biasa mewah untuk ukuran minum teh dalam situasi santai. Tunggu! Apakah ini situasi yang santai? Perlahan, Iris melirik ke arah Duke yang ternyata sedang memehatikannya dengan lekat. Iris menegakkan punggungnya dan mencari alasan untuk membuka percakapan.

“Apakah kamarnya membuat anda nyaman? Apakah sesuai standar kamar seorang putri?”

Iris nyaris menyenggol cangkir tehnya saat mendengar Duke Adorien membuka percakapan. Ia menarik pelan tangannya, meletakkannya di atas pangkuannya dan duduk dengan anggun. Iris tak tahu apakah sikap seorang putri masih sanggup diterapkannya di sini mengingat ia adalah seorang tawanan kekaisaran.

“Kamarnya sangat indah dan nyaman. Terima kasih Yang Mulia.” Di bawah meja, Iris mengepalkan kedua tangannya. Duke Adorien masih menatapnya lekat, sama sekali tidak bergerak dari posisi awal sejak mereka duduk. Apakah itu karena ia adalah seorang prajurit? Sikap seorang panglima?

Eras merasa bahwa Iris merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Ia berdehem dan meraih cangkirnya. “Teh kamomil sangat harum dan bisa menenangkan perasaan.”

Iris tahu itu. Tetapi rasanya dia harus bertanya satu hal pada Duke Adorien. Dia tak bisa hanya duduk santai sambil minum teh tanpa bertanya apa yang akan terjadi terhadap dirinya. “Mengapa anda membiarkan saya tetap hidup?”

Eras meletakkan cangkirnya dan menatap Iris. Ia tersenyum tipis dan melipat tangan di dada sambil bersadar di kursinya. “Sepertinya putri bukan tipe yang sabaran ya?” ia melihat wajah yang putih itu memerah.

Iris menelan ludah. “Saya…saya harus tahu bagaimana nasib saya di tangan anda. Kaisar Agrynnor mengutus anda membasmi negara saya dan tak ada yang tersisa dari keturunan raja kecuali saya…” mati-matian Iris menahan airmatanya. Ia tak boleh menangis dan meratapi nasibnya di hadapan Duke Adorien. Sebaliknya dia menunggu apa yang akan terjadi pada dirinya. Apakah pria itu akan mengirim kepalanya kepada Kaisar?

Sudah jelas Iris dalam keadaan takut dan kebingungan. Eras menyadari itu. Keputusan membawa Iris ke istananya merupakan langkah nekatnya sebagai prajurit kaisar. Untunglah yang bersamanya saat membantai Raja Lovec dan keluarganya adalah para ksatria milik Adorien sehingga yang lainnya berpikir Duke Adorien membawa gadis bangsawan biasa sebagai tawanannya. Apa yang membuat Eras berubah pikiran?

“Anda menyerang saya dengan sihir.” Eras menemukan jawaban netral akan pertanyaan Iris. Ia memajukan tubuhnya ke tengah meja. “Setahu saya Lovec adalah negara yang tak diberkahi sihir. Bagaimana anda bisa menggunakan sihir, putri?”

Iris terdiam. Ia tahu hanya dengan sihirlah ia bisa melindungi dirinya. Bagaimana dia menjelaskan kepada Duke Adorien bahwa hanya dialah satu-satunya putri Raja yang memiliki sihir karena terlahir dari ibu yang seorang selir yang awalnya adalah seorang penyihir? Ibu Iris meninggal saat melahirkan Iris dan kemampuan sihir itu langsung berpindah kepada Iris. Ayahnya, Raja Lovec, menyembunyikan kekuatan sihir Iris selama ini karena tak ingin Iris dituduh sebagai penyihir.

Eras menyadari keengganan Iris menjelaskan tentang sihir yang dimiliki gadis itu. Dia tidak akan menekan Iris soal itu sekarang. Yang harus dilakukannya saat ini adalah membuat Iris yakin bahwa Eras takkan membunuh Iris.

“Lupakan pertanyaan saya.” Eras berkata tenang. Ia kembali menyeruput tehnya dan menatap Iris. “Jika Kaisar tahu saya membiarkan salah satu keturunan Raja Lovec masih hidup, apakah anda tahu bagaimana dengan nasib anda?”

Ini saatnya, pikir Iris kecut. Saat menyadari bahwa ia masih hidup, Iris bertekad bahwa dia harus tetap hidup. Itulah mengapa dia sudah bersiap dengan sihir untuk menyerang Duke Adorien. “Saya…” Iris membuka telapak tangannya, perlahan aura sihirnya mulai merangkak naik dan…

“Jangan menyerang saya dengan sihir.”

Iris terkejut saat tanpa disadari, Duke Adorien sudah bergerak dari duduknya dan menangkap tangan Iris yang berada di bawah meja. Tubuh besar pria itu tepat di depan Iris, setengah membungkuk dan sepasang mata merahnya menatap Iris dengan penasaran alih-alih beringas. “Yang Mulia…”

Eras tersenyum miring. Ia menggenggam pergelangan tangan Iris, tidak terlalu kuat tetapi Iris tahu ia tak memiliki kekuatan untuk menepis tangan yang besar dan kokoh itu. “Di sini tak ada yang ingin membunuh anda putri.” Pelan, Eras melepaskan pegangan tangannya pada Iris. Ia berdiri tegak dan menjulang. “Justru saya akan memberikan tawaran kepada anda.”

Jantung Iris berdebar. Duke Adorien kembali ke kursinya dan duduk kembali dengan tenang. Pergelangan tangan bekas dipegang pria itu terasa panas dan Iris mengusap itu dengan pelan. “Tawaran?”

“Pernikahan kontrak.” Eras mengucapkan itu dengan santai. Jelas-jelas ia melihat Iris melongo. “Menikahlah dengan saya dan saya akan menjamin keselamatan anda. Kita akan membuat kesepakatan.”  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status