Share

Bab 4. Bertemu

“Bunda, ayo cepat. Nanti Alden terlambat, ini kan hari pertama sekolah Alden,” ucapnya pada Mely yang saat ini tengah mengunci pintu rumahnya.

“Iya Alden, tunggu sebentar. Bunda kunci pintu rumah dulu ya.”

“Ayo cepet Bunda.” Alden menarik-narik tangan Mely agar cepat berangkat ke sekolahnya.

“Iya, ini sudah selesai. Ayo kita berangkat,” jawabnya. Mely pun menggenggam tangan Alden dan berjalan menuju sekolahnya.

Alden terlihat sangat senang saat tengah berjalan menuju sekolahnya, dia benar-benar bersemangat hari ini. Karena dia sudah berjanji kepada mamanya kalau dia akan belajar dengan giat dan menjadi anak yang cerdas dan menjadi kebanggaan mamanya yang sangat dia sayangi.

Setelah mereka berjalan kurang lebih 5 menit, mereka pun tiba di jalan raya dan menunggu taksi online untuk mereka naiki menuju sekolahan Alden yang memang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka.

Karena kendaraan seperti mobil tidak bisa masuk ke gang rumah mereka, mereka pun harus jalan terlebih dahulu sampai ke depan jalan raya. Hingga sekitar 2 menit menunggu, akhirnya taksi online yang Mely pesan pun datang dan mengantar mereka sampai ke sekolah Alden.

Di dalam mobil, Alden terus saja melihat ke arah jalanan untuk memastikan apakah dia sudah sampai atau belum di sekolahannya.

“Wahh Bunda, apakah itu sekolah Alden?” tanyanya kemudian, saat melihat bangunan sekolah yang tinggi dan terlihat dari dalam taksi.

“Iya sayang, itu sekolah Alden. Sebentar lagi kita akan sampai,” jawab Mely.

Dan benar saja, mobil pun berhenti. Mely turun terlebih dahulu dan mengangkat Alden untuk turun dari sana. “Alden tunggu di sini dulu ya, bunda mau beli camilan dan minum dulu oke,” ucapnya.

Alden mengangguk dan menuruti apa yang Mely katakan. Tampak Mely yang kemudian pergi ke sebuah warung kaki lima yang ada di jalan itu.

“Hah, bunda kebiasaan. Kalo ke mana-mana pasti beli camilan. Memang tukang makan,” gerutu Alden.

Alden menunggu di tempatnya dengan wajah kesal, karena Mely terlalu lama berada di warung itu, entah berapa banyak makanan yang dia beli hingga selama ini.

“Hmm, apa aku masuk duluan aja ya, biar nanti bunda nyusul. Iyalah, begitu saja.” Dengan semangatnya Alden pun berlari menuju sekolahnya, dia benar-benar tidak sabar untuk masuk ke sana dan memulai pelajarannya.

Namun, saat dia berlari dengan begitu senang. Dia tidak sengaja menabrak tubuh seseorang di depannya. Hingga membuatnya terjatuh ke trotoar jalan.

Terdengar ringisan dari Alden, karena rasa sakit pada bokongnya.

“Hei bocah, kau berlarian di pinggir jalan seperti ini. Ini berbahaya, kau tahu!” bentak seorang pria yang ditabrak oleh Alden.

Mendengar itu, Alden pun mendongak, melihat kepada seorang pria yang tadi berbicara. “Paman, bukankah kita sama-sama salah. Paman juga menabrak Alden, dan lihat! Alden bahkan sampai terjatuh,” ujarnya.

Tidak ada jawaban dari pria itu, dia hanya terus menatap pada Alden, tampak tatapannya itu tertuju pada bola mata Alden yang berwarna amber. Pria itu menyipitkan matanya yang juga berwarna amber, tampak keningnya juga berkerut. Dia seperti terkejut karena melihat seorang anak laki-laki yang memiliki manik mata yang sama dengannya, bahkan sangat sama. Terlebih, anak laki-laki itu mengingatkannya sewaktu dia kanak-kanak.

Alden yang masih tersungkur di trotoar itu juga hanya menatap pria itu dengan wajah bingungnya, dia tidak tahu kenapa pria ini hanya diam saja dan tidak menjawabnya.

Dari kejauhan, tampak Mely yang sudah selesai dengan belanjanya, dan sedang menuju ke tempat tadi Alden berdiri. Namun saat sampai di sana, Mely justru terkejut karena Alden sudah tidak ada. Sontak dia pun merasa panik dan mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Alden, hingga pandangannya itu tertuju pada Alden yang tersungkur di trotoar dengan seorang pria tinggi di depannya.

“Hah?” Mely sangat terkejut, dia berpikir mungkin itu adalah seorang penculik yang akan menculik Alden. Wajar saja jika orang itu tertarik menculiknya, karena Alden sangat menonjol dengan rambut coklat gelap dan juga manik mata ambernya. Siapa yang tidak mau memiliki anak setampan itu.

Tanpa banyak berpikir lagi, Mely pun langsung berlari ke arah Alden dan pria itu. Dia berlari dengan tergesa-gesa karena takut terlambat menyelamatkan Alden.

“Hei bocah, dimana ibumu?” tanya pria itu yang tak lain adalah Eric, tidak bisa dia ungkiri. Bahwa saat ini dia merasa terkejut dengan penampakan bocah di hadapannya ini. Baik dari warna rambut, warna mata dan juga wajahnya. Bagaimana bisa sangat mirip dengannya. Apakah dia ini putranya dari gadis yang tidur dengannya, apakah gadis itu hamil? Pikirnya.

“Mama ....”

“Aldennn!”

Baru saja Alden akan menjawab, namun teriakan dari Mely yang memanggilnya itu membuat Alden menghentikan ucapannya.

“Alden, apa yang terjadi?” tanya Mely dengan wajah paniknya. Dia berjongkok dan membersihkan bokong Alden yang kotor karena jalanan trotoar.

Kini tatapan Eric mengarah pada Mely. Sama seperti pada Alden, Eric juga menatap lekat pada Mely, matanya menyipit dan keningnya juga berkerut.

“Alden tidak papa Bunda,” jawabnya.

‘Bunda?’ Eric tampak kaget, matanya bahkan sampai membelalak saat mendengar Alden memanggil bunda pada wanita yang tiba-tiba menghampiri mereka ini. ‘Apa itu artinya, dia ibunya? Apa ... wanita ini yang tidur denganku?’ batinnya.

“Apa kau ibu dari bocah ini?” tanyanya kemudian.

Mely menatap tajam pada Eric, karena dia berpikir bahwa Eric adalah orang jahat yang akan menculik Alden. “Iya, saya ibunya. Jangan harap Anda bisa menculik anak saya!” jawabnya dengan suara kasar.

‘Menculik? Apa wanita ini menganggapku sebagai penculik? Aku? Eric Filbert Carlsson, dianggap penculik?’ batinnya tidak percaya. Namun, sepertinya dia tidak ingin memperpanjang masalah itu, dia ingin fokus menanyakan perihal anak ini pada wanita di depannya. “Siapa ayah dari bocah ini?” tanyanya lagi.

“Tentu saja suamiku, masa kau!” jawab Mely kembali dengan kasarnya.

'Suami? Jadi itu artinya bocah ini memiliki ayah. Dan itu sudah pasti, bahwa anak ini bukanlah anakku. Tapi ....’ Eric terus berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Dia tidak mengerti bagaimana anak ini sangat mirip dengannya. Apakah itu artinya suami dari wanita ini juga memiliki mata amber seperti dirinya. Tapi masalahnya, bukan hanya mata itu yang mirip. Tapi wajah dan warna rambut, semuanya sama.

Mely melihat Eric dari bawah sampai atas. Dia berpikir pria ini sepertinya bukan pria sembarangan, terlihat dari penampilannya yang berkelas, dia sepertinya dari keluarga yang terhormat dan berpengaruh. Tapi, kenapa dia bisa ada bersama Alden.

Pupil mata Mely langsung melebar, saat dia melihat wajah dari Eric dan menyadari sesuatu. ‘Astaga, pria ini. Dia, bagaimana dia bisa sangat mirip dengan Alden. Bola mata, dan warna rambutnya. Bagaimana bisa semirip ini? Apa mungkin?’ Mely menutup mulutnya dengan satu tangannya. Dia tidak percaya dengan apa yang dipikirkannya. ‘Apakah mungkin, dia ayahnya Alden?’ batinnya lagi.

“Permisi Tuan, kami harus masuk ke dalam gedung sekolah. Karena kami sudah terlambat.” Mely dengan cepat langsung menarik Alden untuk mengikutinya. Karena saat ini dia merasa tidak tenang. Jika benar pria itu adalah ayahnya Alden, apakah dia akan merebut Alden dari Alana? Ini tidak bisa dibiarkan, hidup Alana sudah sangat menderita, jika Alden diambil maka apalagi yang tersisa untuk wanita malang itu.

Eric menoleh ke belakangnya, menatap Alden yang berjalan semakin menjauhinya. ‘Benarkah dia anak dari perempuan itu dan juga suaminya? Entah kenapa aku merasa ragu?’ batinnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status