Share

Pilihan York
Pilihan York
Penulis: Calypso Kendra

Menit-Menit Terakhir

Hanya 45 menit lagi untuk menyelesaikan seluruh prosedur atau pesawat akan lepas landas meninggalkan Negara penuh kenangan ini. Akh, lebih tepatnya York dilanda dilema antara harus mengatakan yang sebenarnya pada wanita yang tampak antusias berbicara dengan seseorang di seberang sana melalui ponselnya.

Senyumnya yang mekar sempurna bak bunga sakura yang menjadi ciri khas penduduk jepang membuat York akhirnya membatalkan niatnya di detik-detik terakhir wanita itu mematikan ponselnya dan menoleh ke arahnya.

“Oh, York kurasa ibu akan merindukan sifat bodohmu itu.” Memeluk York Portland dengan erat dan penuh kasih sayang.

Hangat itu yang York rasakan. York ingin menjadi bayi kembali agar bisa bermanja ria pada ibunya setiap hari. Menjadi dewasa itu tidak menyenangkan, dulu saat kau kecil dan merasa kesulitan orangtuamu akan datang memeluk lalu menanggung kesulitan itu sendiri dan menyelesaikannya untukmu.

Kau hanya perlu menangis maka seluruh keinginanmu akan dikabulkan selama itu masuk akal tentunya. Dan saat kau dewasa, kau perlahan menyadari bahwa setiap orang memiliki beban masing-masing, kau hanya bisa menggertakkan gigi dan menanggung kesulitanmu sendiri. Setiap hari ada saja hal yang perlu dikerjakan, ada saja masalah yang perlu diselesaikan, ada begitu banyak hal yang diluar ekspektasi dan di luar kendali hingga rasanya ingin menyerah pada hidup.

Banyak malam yang di lewatkan tanpa tidur, tinggal memejamkan mata saja rasanya otak tidak bisa bersinkronisasi. Andai saja saat ini York masih bayi mungkin peristiwa itu… York menggelengkan kepalanya.

“Ayolah bu berhenti mengataiku bodoh. Apa kau menyogok atau menggunakan koneksi bibi Ellen untuk memasukkanku ke universitas ini?” York pura-pura memicingkan matanya ke arah ibunya. Tentu saja York sangat mempercayai kemampuannya sendiri bagaimanapun ia adalah pencetak nilai penuh dan peraih top scorer dalam ujian negara tahun ini.

“Bagaimana mungkin? awalnya ibu ingin menyogok dengan menyumbangkan labolatorium penelitian tapi di tolak pihak universitas. Katanya tanpa ibu menyumbangkan ruangan pun pihak universitas sudah menyediakan kursi di universitas ini untukmu.“Berly Madison tampak cemberut.

“See, berarti putrimu tidak bodoh kan bu?” York menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

“Tapi tetap saja, ibu juga ingin seperti ibu-ibu kaya lainnya yang menyogok anaknya supaya di terima di sebuah sekolah, menyogok biar anaknya dapat nilai yang bagus. Tapi kau tidak pernah memberi ibu kesempatan, selalu saja kau mendapat nilai sempurna dan masuk sekolah top tanpa sepeser uang pun. Lalu untuk apa ibu bekerja keras kalau uang yang ibu hasilkan tidak pernah digunakan untuk membiayai pendidikanmu. Rasanya aku ingin membunuh seluruh donator beasiswamu.”

York tertawa mendengar jawaban konyol ibunya “Oke bu, kalau begitu bagaimana jika saat kuliah nanti aku berpura-pura bodoh saja, tidak mengerjakan tugas kuliah, bolos kelas, dan menjawab ujian dengan asal-asalan. Lalu kau bisa menyogok dosenku untuk memberikanku nilai bagus. Apakah itu cukup bagus bu?” York sendiri merasa IQ nya dipermalukan saat mengucapkan pernyataan ini.

“Sangat bagus, lalu kau harus melakukan apa yang kamu katakana nak. Lalu ibu akan datang ke kampus dan menyogok dosenmu untuk membuat nilaimu cemerlang. Akh ibu sungguh tidak sabar.” Berly menggosok-gosok kedua telapak tangannya dengan semangat.

York tidak tahu harus tertawa atau menangis mendengar jawaban ibunya “Lalu bu, mereka akan menuduhku curang selama ujian negara dan mengira aku telah mendapat bocoran soal makanya bisa mendapat nilai penuh. IQ dan moralku akan dipertanyakan, beasiswaku di cabut, aku diusir dari kampus jadi pengangguran jadi menjadi ekor setiap hari dan merecokimu setiap saat. Apakah itu baik-baik saja?” York memiringkan kepalanya.

“Akh kedengarannya sangat tragis, sebenarnya tanpa beasiswa ibu bisa menyekolahkanmu di universitas top manapun tapi kalau IQ dan moralmu dipertanyakan… sepertinya ibu harus menunda cita-cita ibu untuk melakukan aksi penyogokan sementara waktu.” Berly menghembuskan napasnya sesaat.

“Menunda? sementara? bu apa itu berarti kau masih berniat mewujudkan cita-citamu yang sangat mulia itu?” York menaikkan sebelah alisnya sembari memandang ibunya.

“Tentu saja, kau nanti akan menikah dan memiliki anak lalu aku akan membantumu untuk menyogok guru cucuku nantinya.”

“Bu, tolong hilangkan pemikiran konyol itu aku tidak akan menikah oke!”

“Tidak menikah? kenapa?” Berly mengernyitkan alisnya.

“Aku tidak membutuhkan siapapun selain kamu bu. Pernikahan hanya akan menambah masalah dan menambah beban pikiran. Aku tidak bisa membayangkan hidupku nantinya tinggal di rumah menggunakan daster lalu mengerjakan pekerjaan rumah dan melayani pria asing atas embel-embel cinta dan pernikahan. Pria itu bahkan tidak ada bersamaku sejak aku lahir ke dunia, ia hanya muncul di pertengahan kisah hidupku dan kalau sedang sial bisa saja pria tersebut akan melakukan perselingkuhan yang berujung cerai. Itu sungguh menguras mental dan membuang-buang waktu bu.” York memijit keningnya yang sebenarnya tidak sakit.

“Ibu sebenarnya tidak masalah kamu menikah atau tidak, selama kamu bahagia York ibu oke-oke saja. Karena tujuan ibu melahirkanmu adalah untuk membuatmu bahagia, ibu akan selalu mendukung keputusanmu nak selama itu tidak keluar dari jalur-jalur yang telah kita sepakati sebelumnya.” Berly mengusap punggung York dengan lembut seolah berusaha mengatakan pada York bahwa ibunya akan selalu ada bersamanya apapun yang terjadi.

Inilah yang York sukai dari ibunya. Meski terkadang ibunya suka merancang ide-ide konyol dan nyeleneh, tapi ibunya adalah wanita yang open minded, independen, dan penuh dengan kasih sayang. Menjadi single parent bukan alasan bagi ibunya untuk menjadi orang yang keras meski hidup menempanya sangat keras.

Ketika ayahnya meninggalkan ia dan ibunya tanpa alasan yang jelas ibunya tidak pernah menyalahkan ayahnya bahkan mengajarkannya untuk membenci ayahnya. Mungkin ibunya bukan wanita yang sempurna, tapi dari ibunya York belajar bahwa wanita harus independen dan memiliki skill bertahan hidup.

Jika tidak, ketika pohon dimana tempat ia bisa menggantung tumbang maka ia juga akan turut tumbang. Lebih baik menanam pohon sendiri daripada harus bergantung pada pohon orang lain.

“Aku tau bu, kau sangat mencintaiku. Aku juga sangat menyayangimu bu jika nanti aku mendapatkan kesempatan untuk terlahir kembali aku hanya ingin terlahir melalui rahimmu bu. Kurasa aku tidak akan terbiasa lahir dari perut orang lain.” York tersenyum jenaka.

“Anak konyol, sejak kapan kita bisa memilih terlahir dimana dan dilahirkan oleh siapa. Baiklah sepertinya ibu harus check ini sekarang atau pesawat akan meninggalkan ibu.”

“Baiklah bu, jangan lupa bawakan aku Leonardo Da Vinci jika bertemu nanti dengannya di jalan aku harus bertanya padanya kenapa lukisan monalisa tidak memiliki alis berapa perkiraan berat badan monalisa saat ia di lukis.” York berbicara ngawur.

“Baiklah nak, tolong berhenti mempermalukan IQ 190 mu dengan melontarkan gagasan-gagasan  konyolmu.”

“Aku menirumu bu.” York mengendikkan bahunya santai.

“Baiklah kau memang putriku, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Ibu berangkat sayang, jaga dirimu, jangan lupa makan yang teratur, kemarin kau sudah makan junk food jadi 4 hari ke depan jangan makan junk food lagi, dan jangan lupa bersosialisasi dengan teman-teman kampusmu berhenti membenamkan diri dalam buku-buku dan perpustakaan kampusmu itu.” Begitulah seorang ibu, ketika akan bepergian bukannya mengkhawatirkan perjalanannya sendiri malah sibuk mengkhawatirkan anaknya sendiri.

“Aku tahu bu, percayalah bu aku bukan ansos. Cepatlah bu, lihat petugas disana sudah mempelototimu karena tidak kunjung bergegas ke sana.” York menunjuk petugas yang memasang raut datar tanpa ekspresi, York saja yang berlebihan mengatakan bahwa ia mempelototi ibunya biar drama ini selesai. Kalau tidak sampai besok sore pun ibunya tidak akan selesai menyampaikan wejangannya yang sialnya benar.

“Baiklah, ibu pergi dulu York sampai jumpa.” Berly mencium kedua pipi York begitu pun York lalu bergegas ke arah petugas pemeriksaan.

“Sampai jumpa bu.” York melambaikan tangannya sambil tersenyum hangat.

Perlahan senyuman York semakin menyusut yang menyisakan wajah datar, tak berekspresi yang penuh kehampaan. Tidak ada lagi York yang se-hangat musim panas Boston, ia memandangi pesawat yang membawa ibunya  lepas landas dan semakin jauh tak terlihat meninggalkan York dengan perasaan rumit dan kebenaran yang menggantung di depan matanya sejak sepekan yang lalu.

Ini baru permulaan tapi bongkahan kehampaan sudah menjalar ke nadinya, mengikatnya untuk menyadari kebohongan demi kebohongan. Ini adalah dunia yang sebenarnya bukan ilusi yang di mimpikannya ketika ia menunggu di bawah pohon natal ditemani salju yang menyelimuti malam natal di Jepang.

Three..two…one…

Duarrrrrrr…. Pesawat meledak!!!

York memejamkan matanya, lalu berbalik meninggalkan bandara tanpa berbalik tanpa menoleh ke belakang walau hanya sesaat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status