“Bantu aku untuk bujuk Marta, supaya Marta mau punya anak dariku,” ucap Aldi.
Riska tersenyum, tapi ia bingung sendiri dengan Suaminya itu. Dirinya saja dibayar Marta untuk dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Aldi. Sekarang Aldi malah meminta bantuan padanya untuk membujuk Marta?
Apakah wanita itu mau mendengarnya?“Bagaimana? Bisa, kan?” tanya Aldi lagi.“Gini nih, Pak. Saya ini kan dibayar Mbak Marta, dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Bapak, terus kalau saya membujuk Mbak Marta supaya mau hamil, jelas saya kena semprot Mbak Marta dong?” ucap Riska, "disangkanya, saya mau makin gaji buta aja."
“Jadi maunya kamu, aku hamilin kamu begitu?”
Deg!“Bu--bukan begitu! Tapi, saya tidak mau melanggar perjanjian saya dengan Mbak Marta, Pak. Apalagi Mbak Marta sudah membayar penuh uang kontraknya selama dua tahun,” jawab Marta.
Kini, Aldi menghela napasnya berat.
Di rumah, ia sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan Marta, meminta jatah ranjang saja Marta selalu menolaknya.
Istri pertamanya itu malah memilih memuaskan dirinya sendiri tanpa Aldi.
“Kalau kamu takut Marta akan mengambil kembali uang itu, saya akan membayar kamu tiga atau lima kali lipatnya dari yang Marta berikan padamu!” jelas Aldi.
Riska menghela napas panjang. “Haduh ... saya pusing, Pak. Sudah setengah tahun belum bisa memenuhi keinginan Mbak Marta, sekarang malah saya disuruh bantu Bapak untuk bujuk Mbak Marta supaya mau hamil."
"Untung saja, Mbak Marta tidak tahu keberadaanku sekarang di sini. Kalau tahu, pastinya sudah sering ke sini dan mengancam saya, Pak! Bayangkan saja setengah tahun saya belum hamil, pasti kalau Mbak Marta tahu saya dimarahi, Pak!”
“Saya lebih pusing, Ris!” tukas Aldi.
“Ya kalau pusing Bapak istirahat saja. Saya mau masak untuk makan siang nanti,” ucap Riska, lalu meninggalkan Aldi ke dapur.
Aldi hanya diam, tidak tahu mau berkata apa lagi. Memang lebih baik dia istirahat di kamar saja. Namun, Aldi mengurungkan niatnya untuk ke kamar. Aldi memilih rebahan di sofa depan TV lalu menonton acara TV lainnya. Ia memindah chanel untuk menonton acara selain acara gosip.
**
Lama Aldi rebahan sambil menonton TV, tiba-tiba indra penciumannya tergoda oleh bau harum masakan dari arah dapur. Baunya membuat perut Aldi keroncongan lagi. Padahal masih belum jam makan siang, tapi perutnya sudah lapar karena tergoda bau masakan Riska.
Merasa penasaran sang istri masak apa, sampai baunya seharum itu, dan membuat perutnya keroncongan, akhirnya Aldi ke dapur untuk melihat Riska sedang memasak apa. Aldi mendekati Riska yang sedang memasak, sambil mulutnya komat-kamit menyanyi. Entah lagu apa yang sedang Riska nyanyikan, Aldi melihat Riska begitu menikmati momen memasaknya.
“Kamu masak apa, Riska?” tanya Aldi yang sudah berdiri di sebelah Riska.
“Astagfirullah ... Bapak! Ngagetin saja sukanya! Untung nih ya gak saya lempar spatulanya!” pekik Riska dengan terjingkat.
“Habis kamu serius sekali masaknya, sambil nyanyi lagi?” ucap Aldi.
“Ya masak harus serius dong Pak? Biar hasilnya enak,” ucap Riska.
“Masak apa, Ris?” tanya Aldi.
“Sayur lodeh meriah, semeriah hati saya yang mungkin sebentar lagi mau selesai kontrak kerja saya dengan Mbak Marta,” jawabnya dengan gaya bar-barnya. Entah kenapa gadis pendiam itu berubah menjadi sebar-bar itu di mata Aldi.
Aldi tersenyum miring, berpikir kenapa Riska sama sekali tidak ada sedih-sedihnya di posisinya sekarang. Padahal dirinya sedang menjadi tawanan Marta untuk meminjamkan Rahim dan harga dirinya.
“Kenapa senyum?” tanya Riska.
“Kamu itu lucu. Kamu memang senang ya kerja begini? Gak ada rasa sedih atau apa gitu? Kayaknya bahagia banget lho kamu? Atau kamu memanfaatkan kami untuk mendapatkan uang?” tanya Aldi.
“Kerja itu harus dinikmati, Pak. Apa pun pekerjaannya, yang penting halal. Kan saya halal, sudah menjadi istri bapak? Bukan perempuan yang menjual diri pada Laki-laki hidung belang di luar sana? Saya gak memanfaatkan Bapak dan Mbak Marta, orang saya kerja jelas kok, ada perjanjian kerjanya, bukankah Bapak membaca sendiri perjanjiannya?” jelas Riska.
“Pekerjaanmu ini pekerjaan yang berat, Ris. Taruhannya nyawa. Kamu harus melayani suami orang yang gak mencintaimu, kamu juga harus melahirkan yang taruhannya nyawa. Kamu masih muda, apa kamu gak berpikir panjang untuk itu?” ucap Aldi.
“Ya mikir sih, Pak. Memang semua pekerjaan gak ada yang ringan, pasti ada tantangannya, ada cobaannya, dan taruhannya mungkin nyawa juga. Petani saja kerja taruhannya nyawa, Pak. Coba kalau tiba-tiba di sawah digigit ular berbisa, atau pas hujan petir kesamber petir? Iya, kan?” ucap Riska santai.
Aldi menggeleng, tidak mengerti jalan pikiran wanita muda itu yang sekarang sudah menjadi istrinya. Iya, pekerjaan Riska memang jelas, Aldi sendiri membaca perjanjian antar Marta dan Riska, akan tetapi Aldi masih berat menjalankan semua keinginan Marta itu.
“Saya gak tahu harus bilang apa lagi sama kamu. Kamu seperti menikmati sekali pekerjaan ini, Ris,” ucap Aldi menyerah.
“Karena saya butuh uang, dan Mbak Marta butuh bantuan saya. Jadi impas kan, Pak?” jawab Riska sambil mencicipi masakannya.
Aldi diam, sambil memerhatian Istri Mudanya memasak dengan cekatan. Seperti sudah terlatih sekali tangannya untuk memasak. Sepintas ia berpikir tentang Marta, dan sedikit membandingkan antara Riska dan Marta. Istri Pertamanya sama sekali tidak pernah menyentuh peralatan masak. Bahkan memasak air pun tidak pernah Marta lakukan, karena menggunakan dispenser, jadi butuh air panas tinggal pencet saja. Berbeda dengan Riska yang sangat lihai memasak.
“Jangan bengong, Pak! Geseran dikit napa, Pak? Jangan dekat-dekat, nanti kena cipratan minyak, saya mau goreng ayam soalnya,” ucap Riska yang berhasil membuat Aldi kaget.
Bukannya menjauh, tapi Aldi malah ingin tahu bagaimana Riska menggoreng ayam. Hatinya seketika menghangat memandangi istrinya begitu cekatan memasak, dan memasak sebanyak itu untuk menyiapkan makan siang untuk dirinya.
“Apa kamu selalu masak untuk sarapan, makan siang, dan makan malam?” tanya Aldi.
“Iya, saya selalu masak sendiri. Saya tidak suka makanan instan, Pak,” jawab Riska.
“Kamu yakin tidak mau membantu saya soal Marta, Ris? Gak mau memikirkan ulang?” tanya Aldi memastikan lagi.
“Saya malah sama sekali tidak memikirkan itu, Pak. Yang saya pikirkan saya ingin cepat-cepat selesai dari pekerjaan saya ini,” jawab Riska.
“Ya sudah kalau begitu,” ucap Aldi.
“Ya sudah bagaimana, Pak?” tanya Riska.
“Kapan mau aku sentuh? Kamu sudah ingin cepat-cepat selesai, bukan?” tanya Aldi basa-basi.
Padahal Aldi sendiri gak ada niatan untuk menyentuh Riska. Bagaimana mau menyentuhnya? Aldi tidak mencintai, Aldi baru kenal Riska, dan tidak mungkin Aldi menyentuh perempuan yang hanya dinikahi secara siri. Aldi ingin anak yang sah sesuai agama dan hukum yang berlaku.
“Ya terserah Bapak lah? Saya siap kapan saja, mau sekarang juga saya siap kok, Pak,” ucapnya, berusaha tenang.
“Sekarang?” tantang Aldi seraya mendekat, membuat jarak keduanya menipis
"Eh?"
“Ehh ... ja—jangan sekarang, Pak! Saya sedang masak, masa sambil masak?” Riska sudah panas dingin didekati Aldi, apalagi sampai Aldi memeluk dirinya dari belakang dan mengambil spatula di tangan Riska lalu menaruhnya di tempat tirisan minyak.“Kenapa kalau sambil masak? Biar ada sensasinya, Riska? Ayo, layani saya sekarang.” Aldi tambah membuat Riska makin panas dingin, padahal Aldi hanya ngerjain Riska saja, bagaimana reaksinya saat diperlakukan seperti itu oleh Aldi.“Aduh, Pak ... tubuh saya bau bumbu, nanti saja, ya? Mandi dulu, masa mau melayani suami bau begini, Pak? Ja—jangan deh, Pak?” ucapnya gugup dan wajahnya semakin merah merona, karena Riska bisa merasakan desah napas Aldi yang lembut dan hangat di tengkuknya.“Kenapa? Katanya sudah siap? Kok gugup gini? Jangan tegang dan takut dong wajahnya? Rileks, oke?” bisik Aldi di telinga Riska dengan lembut. Sesekali Aldi mencium tengkuk Riska. Entah ada dorongan apa Aldi bisa-bisanya menyesap aroma wangi tubuh Riska, dan tiba-tiba
Aldi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ternyata Riska tidak tahan karena ingin buang air, bukan karena ingin menuntaskan hasratnya sama seperti dirinya tadi, yang menuntaskannya sendiri.“Bapak kenapa sih? Aneh ih tanyanya? Masa orang lagi buang air suruh teriak-teriak?” ucap Riska.“Aku lapar, makan yuk? Sudah selesai masaknya, kan?”Aldi sengaja mengalihkan pembicaraan, karena ia malu dengan pikirkannya sendiri yang tiba-tiba jadi berpikiran negatif tentang Riska. Pasalnya, jika Marta ingin sekali, dia menuntaskan hasratnya sendiri di kamar mandi. Aldi kira Riska melakukan hal yang sama dengan Marta.“Hmmm ... pantas saja bicaranya ngelantur, ternyata Bapak lapar? Ya sudah yuk kita makan,” ajak Riska.Mereka duduk saling berhadapan di depan meja makan. Tangan Riska cekatan mengambilkan makanan untuk suaminya.“Silakan, Pak. Selamat makan,” ucapnya dengan senyum tipis di wajahnya.“Selamat makan juga, Riska,” jawab Aldi.Aldi menyendokkan makanannya, dan mulai mencicipi masakan
Riska menenangkan degup jantungnya yang tidak keruan karena perbuatan Aldi yang tiba-tiba saja berlaku manis di depannya. “Ya Allah ... apa yang terjadi pada diriku?” batin Riska sambil melongo mengingat apa yang Aldi lakukan tadi. Sementara Aldi yang baru sampai di kantornya, langsung disambut oleh Hasan. Asistennya itu merasa ada yang aneh dengan penampilan sang bos. Biasanya memakai baju rapi dan formal, sekarang hanya memakai kemeja lengan pendek, dan terlihat tampil lebih fresh, terlihat sangat muda menurut Hasan. “Kok bengong, San? Bagaimana, sekarang saja meetingnya? Saya belum terlambat, kan?” tanya Aldi yang melihat Hasan melongo memandang penampilannya dari atas sampai bawah. “Tuan gak salah ke kantor pakai pakaian seperti ini? Apa tidak terlalu santai? Atau saya siapkan baju Tuan yang lain?” tanya Hasan. “Apa saya salah pakai baju? Sepertinya tidak salah? Baju ini bersih, rapi, wangi, dan pantas untuk dipakai ngantor, ya meskipun terkesan santai,” jawabnya dengan me
“Ternyata, dia membelikan rumah mewah untuk Yani dan anak-anak mereka,” ucapnya dengan berderai air mata. “Rumah itu lebih mewah dari rumahku dan Rendi, dan hal yang paling mengejutkan, mereka sudah menikah SAH tanpa sepengetahuanku, sebelum anak pertama mereka lahir. Mereka menikah Sah dengan berdasarkan surat perjanjian yang aku buat, sehingga pihak Kantor Urusan Agama mengesahkannya, karena berdasarkan surat itu, aku telah menyetujuinya,” jelas Intan dengan sesegukkan.“Kok bisa sih? Kamu bilang Rendi sangat mencintaimu dan tidak akan berpaling darimua meski ada Yani?” tanya Selfi. “Iya dia mencintaiku, dan mencintai Yani. Dia tidak mau melepaskan Yani juga diriku. Terlebih Orang tua Rendi tahu pernikahan dia dengan Yani karena aku yang minta, karena aku yang tidak mau hamil. Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana, Rendi bilang semua yang ia kasih untuk Yani sudah di atas namakan anak-anak mereka, sudah tercatat dalam surat dari Notaris, itu semua sah,” ucapnya. Marta yang mende
“I—iya, Pak. Nanti Saya pakai baju itu,” balas Riska.Riska bergegas masuk, lalu mengunci pintu depan, dan langsung masuk ke kamarnya. Matanya tertuju langsung ke arah lemari pakaiannya, ia membuka lemari pakaiannya lalu mengambil baju yang dimaksud Aldi.“Hanya ini yang warna merah hati, masa iya aku pakai baju yang kurang bahan begini, nerawang, dan bolong-bolong?” ucapnya dengan tatapan ngeri pada baju di depannya.“Enggak mau!” Riska melempar baju itu ke atas tempat tidur. “Eh tapi ... bukannya lebih cepat lebih baik? Kan jadi cepat selesai tugasku?” ucapnya dengan mengambil baju dinas merah hatinya.Riska mencoba baju dinasnya itu, melihat penampilannya memakai baju dinasnya saja Riska risih, apalagi dilihat oleh lawan jenis? Meskipun suaminya, tetap saja Riska risih, apalagi baru pertama kalinya memakai baju model seperti itu,“Ya Allah ... ini baju apaan? Apa ini yang namanya baju dinas yang sering Yani katakan? Ling—lingerie? Ah iy benar sepertinya itu namanya,” ucap Riska.T
“Ah kelamaan kalau tahun depan, Pak. Sekarang yuk?” ajak Riska dengan genit.Aldi hanya menggeleng, melihat Riska yang menjadi agresif seperti itu. Istri mudanya malam ini seakan menantangnya untuk berduel di atas ranjang.“Yakin? Nanti kamu nangis?” ledek Aldi.“Ya kalau bapak ingin, tapi memang saya masih takut, Pak. Boleh jangan sekarang?” tawar Riska.“Ya sudah, tidak apa-apa. Aku paham itu. Kita saja baru sehari ini ketemu lagi setelah pernikahan kita itu. Jadi mulai sekarang anggap saja kita ini sedang PDKT,” ucap Aldi.“Hmm ... benar sekali,” jawab Riska.Aldi meregangkan otot tubuhnya yang kaku. Ia merasakan pegal di tubuhnya karena tadi memang sibuk di kantor, meski bekerja setengah hari saja, pekerjaan hari ini menguras tenaga Aldi.“Bapak kenapa? Capek, ya?” tanya Riska.“Iya, badannya pegel-pegel, Ris,” jawab Aldi.“Sebentar, ya?”Riska meninggalkan Aldi, entah dia mau apa. Riska terlihat berjalan ke arah dapur. Aldi hanya melihat Riska pergi ke dapur dari tempat duduknya,
“Kenapa, hmm ...? Katanya mau aku ajari? Apa tadi pagi masih belum paham saat aku ajari kamu?” ucap Aldi. “Pak, lepasin ih!” “Katanya mau sekarang? Jangan kelamaan?” ucap Aldi dengan mendekatkan wajahnya pada wajah Riska. “Ta—tap .... uhmpp ....” Tak tahan lagi melihat bibir ranum Istri mudanya, Aldi langsung menyambar bibir manis Riska yang menantang di depannya. Melumatnya dengan lembut tapi lahap, apalagi sudah lama bibirnya kering, tidak pernah ciuaman dengan Marta sampai basah seperti sekarang. “Uhmmpp ...,” lenguh Riska karena lidah Aldi berusaha membukan mulut Riska, dan langsung membelit lidah Riska tanpa ampun. Napas mereka makin memburu, bak genderang yang mau perang. Aldi benar-benar ingin menguasai permainannya dengan Riska sekarang juga, apalagi yang di dalam sana sudah mengeras karena Aldi merasakan bau harum tubuh Riska yang sangat menggoda. “Kita lanjutkan di kamar!” Aldi membopong tubuh Riska masuk ke dalam kamar. “Pak, jangan sekarang,” ucap Riska terengah. “
Tidak peduli Riska yang merintih kesakitan, Aldi tetap fokus pada penyatuannya malam ini. Riska benar-benar masih tersegel rapat. Ada rasa sesak di dalam dada Aldi, karena ia sudah merenggut kesucian Riska, yang mempertaruhkannya demi adik-adiknya supaya bisa bersekolah.Aldi masih dalam penyatuannya dengan Riska. Sesekali ia kecup kening Riska dengan rasa yang aneh. Rasa yang begitu dalam, hingga timbul rasa aneh di hatinya. Ia usap air mata Riska yang mulai merembes di sudut matanya.“Pak ...,” Rintih Riska.“Maafkan saya, sudah membuatmu seperti ini. Saya janji tidak akan meninggalkanmu,” ucap Aldi.“Apa masih sakit?” tanya Aldi.“Iya, sudah cukup, Pak. Rasanya aku mau pipis,” ucap Riska dengan terengah.Aldi tersenyum dengan gemas melihat Riska yang ingin meluapkan hasratnya. Mungkin pertama kalinya Riska mengalami puncak pencapaian kenikmatan.“Pipis saja, gak apa-apa,” bisik Aldi dengan terus menggerakkan tubuhnya semakin kencang.Mereka bermandi peluh kenimatan malam ini. Tubuh