Akibat mulutnya yang kadang membawa musibah, Resta Damara terpaksa pindah ke divisi keuangan atas perintah Gyan Elvaro Jagland, direktur keuangan dingin dan galak yang disegani para karyawan Blue Jagland. Dan juga demi untuk terbebas dari tuntutan pria itu karena mulutnya sudah membuat Gyan tersinggung. Dirinya yang tidak tahu seluk beluk keuangan itu habis kena omel karena terus melakukan kesalahan. Belum lagi dia harus sering lembur lantaran pekerjaannya tidak pernah beres tepat waktu. Hidupnya makin berantakan sejak bertemu Gyan. Pria menyebalkan itu benar-benar tidak punya peri kemanusiaan. Namun, siapa sangka di tengah kerja kerasnya itu dia malah makin terjerumus masuk ke dalam kehidupan Gyan. Dan entah bagaimana dia kian terbelit ke dalam masalah pria itu. ______ Ini adalah rangkain Pesona Series. Seri Pertama dengan judul Pesona Teman Papa bisa dibaca marathon sampe tamat di Goodnovel ya, Gaes.
Lihat lebih banyak"Oh My God, Papi datang di waktu yang tak tepat."Refleks Daniel menutup matanya dengan tangan, lantas segera berbalik dan berjalan cepat seraya berseru. "Papi tunggu kamu di ruangan papi!" Lalu suara pintu tertutup terdengar. "Shit," umpat Gyan, yang langsung menjauhkan diri dan membenarkan pakaian Resta. Sementara itu Resta yang masih berada di pangkuannya tampak membeku dengan wajah pucat pasi. Ditepuknya wajah wanita itu dengan pelan. "It's okay, Honey. Everything gonna be ok." Demi apa pun, tubuh Resta rasanya lemas. Seandainya Gyan tidak memegangnya erat mungkin dirinya sudah jatuh terperosot. Dia terbengong, tapi badannya gemetar. Andai saja dia masih bisa mempertahankan kewarasan dan tidak ikut terbuai dalam permainan Gyan, kejadian kepergok begini tidak akan ada. Resta merutuki kebodohannya dalam hati. Sialnya, orang memergokinya itu Daniel. Tidak ada yang lebih sial dari itu. Astaga, mau taruh di mana nih muka?! Mata Resta mulai berkaca-kaca, lalu secara otomatis bahuny
"Amanda Wiratama."Daniel menunjukkan sebuah potret cantik kepada istrinya. Potret wanita dengan rambut sebahu bergelombang bermata legam. Memiliki tulang pipi tinggi dan bentuk bibir yang sensual. "Anak bungsu dari Surya Wiratama. Pemilik Wiratama Abadi Grup. Cantik kan?" tanya Daniel tersenyum lebar. Namun tidak dengan Delotta, wanita itu memundurkan badan dan menunjukkan wajah tak sukanya. "Umur kamu bahkan sudah mau 75 tahun. Bisa-bisanya memamerkan foto wanita muda padaku. Nggak sadar diri banget sih." Daniel kontan memejamkan mata. "Astaga, Baby. Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya tak percaya. "Aku memang udah nggak menarik lagi. Umurku juga udah tua. Tapi aku nggak nyangka kamu punya pikiran mau menikah lagi." Delotta mengusap pipinya yang tanpa sadar sudah basah saja. Dia menepis tangan Daniel yang mencoba merangkulnya. "Baby, pikiranmu udah terlalu jauh." Daniel mendesah pasrah melihat istrinya yang malah sesenggukan. Dia lantas turun dari sofa dan duduk melantai di bawah
"Kenapa senyum-senyum?" Gyan menjulurkan leher, berusaha mengintip layar ponsel yang Resta bawa. Sejak terdengar notifikasi pesan masuk, wanita itu mengutak-atik ponsel sambil sesekali tersenyum. Mengabaikan eksistensi Gyan yang lagi cari perhatian. "Coba sini liat kamu lagi chat sama siapa?" Nyaris saja ponsel itu berpindah tangan, tapi Resta berhasil menghindar ketika lelaki itu berusaha merebutnya. "Jangan rese deh," ujar Resta pelan dan beranjak mencari tempat agak jauhan dari Gyan. "Aku kan cuma pengin tau kamu chat-an sama siapa." Gyan mendengus. Dan dengan wajah sebal dia beranjak berdiri membuka lemari yang berisi kulkas mini lalu mengambil minuman ringan di sana. "Ini cuma dari Ridge." Gyan menoleh cepat. "Ridge? Ngapain? Coba sini liat." Gyan berusaha merebut ponsel Resta kembali, tapi lagi-lagi gagal. "Dia cuma ngasih tau kalau sekarang lagi ada di Malioboro. Dia juga mengirim beberapa foto." Dengan jarak aman dari jangkuan Gyan, Resta menunjukkan foto Ridge yang ber
Ibu menyentuh dadanya. Terkejut dengan kata-kata yang Gyan sampaikan barusan. Perempuan paruh bayu itu menatap putrinya yang tampak pasrah saja. Resta sudah mewanti-wanti agar Gyan jangan sampai membuat ibunya syok. Tapi berita yang Gyan sampaikan memang terlalu tiba-tiba. Mau disampaikan sepelan apa pun tetap saja membuat ibu kaget. "Nak Gyan serius?" tanya Ibu masih terlihat tidak percaya. "Lebih dari serius, Bu," sahut Gyan tersenyum. Sama sekali tidak ada keraguan di wajah tampannya. Sepertinya Ibu tidak bisa berkata-kata lagi. Dia menarik napas panjang lalu menatap Resta lagi. "Kalau Ibu terserah Resta saja. Dia yang akan menjalani. Kalau itu membuat dia bahagia, tentu ibu akan merestui kalian." Ucapan Ibu langsung membuat wajah Gyan berseri-seri, tapi tidak dengan Resta. Dia hanya meringis menanggapi itu. "Nggak sia-sia aku nyusul kamu ke sini," ujar Gyan seraya melirik Resta. Dia kembali menatap ibu. "Dalam waktu dekat saya akan meminta orang tua saya melamar Resta ke sin
Gyan menyurukan wajahnya ke belakang leher Resta. Membaui aroma rambut wanita itu sambil memejamkan mata. Sementara lengannya memeluk perut wanita itu seraya sesekali bermain di area sekitar dada. Hanya itu yang bisa dia lakukan setelah penolakan Resta satu jam lalu. Dan Gyan masih tetap menghargai prinsip kekasihnya itu. Cium dan peluk juga cukup. Uhm, dan sedikit make out seperti sekarang. "Wangi banget rambut kamu, Sayang," bisiknya seraya terus menciumi rambut Resta. "Mau sampai kapan kamu begini terus? Memang kamu nggak lapar?" tanya Resta lantas menggigit bibir agar tidak mendesah saat Gyan memilin puncak dadanya dari dalam blouse. Tangan pria itu tidak mau diam. Modusnya hanya ingin peluk, tapi tangannya piknik ke mana-mana. Namun Resta tidak menolak lagi, asal tidak dengan melakukan seks. Meski sejujurnya Resta sendiri tergoda. Dia wanita normal dan sensitif. Disentuh dengan intim begini jelas sangat mempengaruhinya. "Nanti aku suruh staf hotel membawanya ke sini," sahut G
Tanpa sadar Resta mencengkeram kaus yang Gyan kenakan. Matanya yang terpejam terbuka saat Gyan menjauh. Pria itu lantas berbisik padanya. Bisikan yang membuat sekujur tubuhnya meremang seketika. "I want you now." Resta bisa merasakan hawa panas menjalari kulit tubuh ketika telapak tangan Gyan mengusap langsung area pinggangnya. Tatapan tajam pria di atasnya itu berubah sendu. Resta memejamkan mata menahan getar yang menggelitik di pusat gairahnya. "Gy." Suara Resta bergetar lirih. "Apa yang harus aku korbankan lagi buat mendapat maafmu?" Gerakan tangan Gyan yang tengah mengusap perut Resta terhenti. Dia tak suka mendengar itu. "Kenapa di sini seolah aku yang salah?" Alisnya menyatu. Tangannya lantas bergerak keluar dari dalam blouse. "Kamu jalan sama laki-laki lain tanpa aku tau. Dan laki-laki itu Ridge. Kamu sangat tau kalau aku nggak suka kamu dekat-dekat sama dia." Gyan menjauh, emosinya kembali naik. Resta menarik napas panjang, lalu beranjak bangun. Dia paham kekhawatiran ke
Kae menurunkan Resta tepat ketika roda duanya berada di depan gedung hotel. Dia sendiri langsung meluncur ke kampusnya lantaran ada praktikum pagi yang harus dia ikuti. Lelaki itu sempat pesan pada Resta agar wanita itu tidak banyak mendebat Gyan nanti. Bahkan dia yang menyarankan agar Resta membawa sesuatu. Alhasil sebelum sampai hotel dia sempatkan diri mampir ke minimarket. Resta segera melangkah mendekati gedung begitu Kae melanjutkan perjalanannya. Tangannya menggenggam tali tas dengan erat. Jujur dia agak jeri menemui Gyan meskipun di otaknya sudah tersusun kata-kata yang akan dia ucapkan nanti. Memasuki lobi hotel, dadanya mendadak berdebar. Resta sampai harus menarik napas panjang sebelum bergerak ke arah resepsionis. Beruntung aroma rempah yang menguar di area lobi membuat perasaannya sedikit tenang. "Pak Gyan Jagland? Sebentar ya, Bu." Resepsionis yang menyambutnya ramah lantas sibuk begitu Resta bertanya soal Gyan. Pilihannya cuma dua. Gyan mau menemuinya, atau malah men
Resta melenggang memasuki rumah setelah motor Ridge meninggalkan halaman. Pria itu tidak mampir karena ada urusan lain dan hanya menitipkan salam untuk ibu dan Kae. Wajah Kae yang mesam-mesem tak jelas terlihat pertama kali begitu Resta memasuki teras. Sepertinya ada tamu. Dia melihat ada sosok lain yang duduk di seberang Kae, membelakangi dirinya. "Lama banget sih, Mbak. Udah ditungguin Mas Gyan loh dari tadi." Teguran Kae membuat langkah Resta yang akan mencapai pintu terhenti seketika. Gyan? Matanya membulat dan memastikan tamu itu beneran Gyan dengan isyarat mata. Di tempatnya, Kae mengangguk pelan. Saat itu juga kaki Resta rasanya lemas mendadak. Bagaimana Gyan bisa di sini? Bukankah seharusnya lelaki itu di Eropa? Resta masih membeku ketika Gyan menoleh dan memberinya senyum. Bukan jenis senyum kebahagiaan, tapi senyum yang seolah bisa mengantarnya ke ambang maut. "Hai, seneng banget ya yang habis jalan-jalan," sapa Gyan sarat akan sindiran. Resta sangat hapal ekspresi itu
Motor yang Gyan tumpangi berhenti di depan sebuah rumah dengan dominan cat berwarna putih. Kusen pintu dan jendelanya sangat sederhana. Meski begitu tampilannya asri. Pemilik sengaja menanam pohon dan bunga hidup di depannya walaupun halaman rumah itu tak seberapa luas. . "Ini dia alamat yang Mas cari," ucap pemuda yang mengendarai motor. Gyan turun dari jok belakang motor. Memperhatikan rumah itu sesaat. Pintunya sedikit terbuka. Senyumnya tersimpul ketika membayangkan reaksi Resta jika melihatnya di sini. "Terima kasih banyak ya," ucap Gyan. "Sama-sama, Mas." Pemuda itu turun dari motor. "Kalau boleh tau Mas mau mencari siapa di rumah ini?" tanyanya penasaran. "Saya mencari pacar saya," ucap Gyan tersenyum tipis. Namun pemuda itu tampak syok. "Pacar?" Gyan mengangguk. "Namanya Resta. Semoga saya nggak salah alamat." Raut pemuda itu makin syok mendengar nama Resta disebut. "Mas pacar Mbak Resta?!" "Wah, rupanya kamu kenal juga? Berarti saya nggak salah alamat. Syukurlah." M
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.